Rabu, 20 Juli 2011

Mengenal Ketegaran Safa


 Dek 5 Kamar 521. Dari Pelabuhan laut Malundung kota Tarakan pukul 19.00 Wita, aku bergegas tenang mencari ruanganku sesuai dengan keterangan yang tertera di tiket kelas III kapal penumpang Pelni . Ini pertama kali aku melakukan perjalanan dengan menggunakan kapal laut antar propinsi. Banyak teman yang menanyakan ulang keputusanku menggunakan armada laut negeri tersebut memulai aktivitas backpackeranku kali ini. Alasanya cukup logis, menggunakan kapal laut memang terdengar lebih murah namun jika cermat mengkalkulasi sebenarnya menggunakan pesawat udara tidak terlalu mahal. Tetapi untuk trip ke Indonesia timur menggunakan kapal laut masih bisa menjadi pilihan bijak, karena jalur udara antar daerah yang tak padat lalu lintasnya, mengharuskan transit terlebih dahulu ke kota-kota besar, itu artinya, ada harga yang harus dibayar lebih. Pilihan menggunakan kapal laut untuk perjalanan kali ini adalah salah satu mauku, keingintahuanku tentang keadaan kapal dengan segala kondisinya.

Memang tak semudah berburu tiket pesawat via website ketika mengunjungi website resmi PT. Pelni, programnya tidak memberikan kemudahan netter membacanya dan tidak ada layanan penjualan tiket online, jadi musti ke kota pelabuhan untuk mendapatkan tiket. Itupun harus di H-2 tiket baru di buka penjualannya.
Terminal pelabuhan laut Malundung terlihat ramai. Dua jalur penumpang yang baru datang dan yang akan berlayar dipisahkan dengan jalan tersendiri. Pelabuhan Kota yang terlihat tertib meski sedang berada di season peak liburan panjang anak sekolahan.

“selamat tinggal”, aku mengucapkan salam perpisahan kepada saudaraku yang mengantarkanku di halaman pelabuhan. Meski ia berkeras untuk mengantarkanku hingga ke dalam kapal, aku tetap meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, karena hanya backpack  (ransel) yang menyertai kepergianku. Tak terlalu ribet, backpack berjenis carrier masih terasa nyaman di punggungku.

Kupastikan langkahku menaiki tangga kapal, mencari ruanganku. Terasa membingungkan dengan luasnya dek kapal yang bertingkat-tingkat. Namun, tak terlalu sulit jika kita tetap berjalan tenang dan bertanya tepat sasaran. Ini adalah kunci ketika berada di lokasi keramaian, baik itu di terminal bus kota, pelabuhan laut dan lain sebagainya, dimana rawan terdapat orang-orang yang memanfaatkan kebingungan kita untuk hal-hal yang merugikan. Yang harus kita punyai adalah ketenangan dan kepercayaan diri. Bertanya pada petugas berseragam dengan tidak terlalu menampakkan wajah yang kebingungan. Petugas akan memberikan informasi yang benar dan tak segan-segan mengantarkan kita ke tempat yang kita maksud.

Berkeliling menuju dek lima, alamat yang tertera di buku tiketku, mengantarkanku melewati ruangan luas dengan hamparan dipan yang bersusun lengkap dengan barang dan penumpang yang beranega ragam. Sesekali aku ditawarkan kasur dengan harga variatif. Oh, ternyata aku sedang berada di kelas ekonomi. Penuh sesak, pengap dengan wajah letih penumpang menjadikan ciri khas ruangan ini. Aku kembali melanjutkan langkahku mencari ruanganku.

Kadang,
Manusia dan kardus adalah sama
Terhempas, terdesak, terabaikan

Tiba di dek lima, aku disapa oleh seorang pria berusia setengah abad berseragam batik hitam merah menanyakan identitasku. Segera kuperlihatkan buku tiketku kepadanya. Beliau dengan ramah, menuntunku untuk segera melaporkan i.d.ku ke bagian informasi. Ternyata beliau adalah anak buah kapal yang siap membantu penumpang. Kalau di pesawat kita akan bertemu pramugari, sementara di sini sepertinya semua awak kapal adalah kaum adam. Termasuk ketika saatnya makan di ruangan makan kapal, kita juga dilayani awak kapal dengan ramahnya. Bapak berkumis tebal nan santun ini, mengantarkanku ke kamar penumpang setelah aku mendapatkan kunci kamar dan juga kunci lemari dari ruangan informasi. Kamar berkapasitas 6 (enam) orang penumpang dewasa dilengkapi masing-masing locker dan air conditioner. Kasur dengan bantal yang telah dibungkus dengan sprei putih bersih. Ruangan yang terlihat rapi, menyambut kedatanganku sebagai penumpang pertama kamar ini.

Tidak lama beberapa saat satu persatu penumpang penghuni kamar bernomor ruangan 521 ini berdatangan. Pertama seorang anak muda yang datang bersama gitar bututnya. Seorang pelajar SMP yang tengah mengisi liburan panjangnya. Ia dipisahkan dari rombongan keluarganya yang kesemuanya adalah wanita dewasa. Ruangan penumpang memang dipisahkan berdasarkan gender. Dua penumpang selanjutnya adalah seorang bapak dan putera kecilnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Pak Aming, ia mengenalkan dirinya, seorang warga keturunan yang ramah dan selalu membuka pembicaraan. Semua property yang ia lihat selalu menjadi topik pembicaraan. Aku menatap lekat sambil menyertakan ekspresi air wajah merespon setiap pembicaraannya. Masing-masing kita masih menyibukkan diri dengan barang bawaan masing-masing, dan menempati dipan sesuai dengan nomor dipan yang tertera di tiket. Satu penumpang terakhir seorang pemuda berkulit bersih, tampilannya fashionable, khas bergaya anak muda sekarang. Matanya sayu namun terlihat tajam. Ia menanyakan dimana dipan yang musti ia tempati, aku membantunya untuk menunjukan dipan dan lockernya sesuai dengan keterangan yang ada di tiketnya. Hingga kapal mulai berlayar, satu dipan tak terisi, kita berlima di ruangan ini.

Pukul 21.00 kapal bergerak meninggalkan kota paguntaka Tarakan. Terdengar suara informan awak kapal dengan jelas menerangkan setiap detil kondisi dan rute kapal. Kami berlima, masih berada di ruangan kamar. Saling menenalkan diri. Pak aming, yang memang berusia paling tua diantara kami semua selalu membuka pembicaraan dan mendominasi kami semua. Kami meletakkan hormat kepadanya karena kepiawaiannya menjaga keberagaman diantara kami.

Suhu udara di kamar kapal tak terlalu menyejukkan. Entah apakah karena AC yang memang dibatasi pengaturan suhunya, ataukah memang karbon yang dihasilkan tak seimbang di ruangan ini. aku belum bisa tertidur di jam-jam segini. Sementara anak muda sipenumpang bergitar telah lelap, demikian juga pak Aming dan puteranya telah ‘berlayar’ entar kemana. Sementara pria muda dimana dipannya berada di bagian bawah dipanku telah keluar ruangan. Aku meraih buku karangan Raja Shehadeh, pemenang orwell prize 2008 bertajuk ‘jalan-jalan di palestina’, tas kecil eiger berisi camdig, ponsel dan cokelat silverqueen. Aku mengisi sebagian malam di beranda ruangan informasi yang terlihat sepi dan asri. Dua lonjor sofa empuk berada di dua sudut ruangan persegi empat ini. Aku memilih duduk memulai bacaan yang baru kudapatkan di toko buku gramedia Tarakan.

Buku yang diangkat dari kisah nyata yang juga mendapat petikkan sambutan dari New York Times tersebut menemani istirahat malamku. Laut sepertinya tenang. Para penumpang tak henti-hentinya silih berganti melewati lobi ruang informasi ini. Meski jam telah mulai menuju waktu dini hari, para penumpang dewasa masih saja berseliweran entah kemana. Sesekali para penjaja makanan ringan dan juga kopi panas datang menawarkan kesendirianku. Begitu juga informan dari mini theatre yang menawarkan film-film hiburan untuk dewasa yang berulang kali mengiklankan jualannya. Aku masih tetap concern pada buku yang mulai kupahami alur ceritanya.

Diantara banyak penumpang yang masih ‘beredar’ menaik-turuni anak tangga dek kapal silih berganti. Terdapat pria yang tak asing lagi wajahnya di pelupuk mataku. Pria berjaket kaos hitam terlihat bergegas menuruni tangga. Kadang ia terlihat menuju kamar penumpang, terkadang ia terlihat menuju dek atas. Aku hanya bisa melemparkan senyum ketika mata kami saling beradu.
Hari semakin larut, kantuk belum menyapaku. Duduk di lobi ruang informasi kapal ini terasa berada di lobi hotel, sofa yang empuk, karpet merah yang bersih, juga dengan suhu pendingin ruangan yang sejuk. Penumpang ‘liar’pun tak dijumpai dilokasi ini. karena area ini disterilkan untuk aktivitas yang mengganggu kenyamanan penumpang lain.

Pria tampan berkulit bersih teman sekamarku tiba-tiba menghampiriku. Aku menghentikan bacaanku. Ia duduk menyandarkan tubuh kekarnya. Ia tak banyak bicara, hanya mengangkat telapak tangan berisi dua bungkus permen cokelat menawarkanku. Aku mengambil sebungkus dan mengucapkan terimakasih padanya.
“belum tidur?”, tanyanya membuka percakapan.
ntar lagi”, jawabku sekenanya.
“teman sekamar lain sudah pada lelap tuh”, lanjutnya menerangkan.

Aku hanya tersenyum merespon kalimatnya. Tiga penumpang lain di kamar kami memang telah tidur lelap diantara bisingnya suara informan dari corong speaker kapal. Aku dan si pemuda ini yang masih beraktivitas di luar kamar. Aku membetulkan posisi dudukku. Lebih menghadapnya. Terlihat lelah di garis wajahnya. Kamipun lebih intens mengenalkan diri satu sama lain. Yang akhirnya aku tahu bahwa pemuda tampan ini masih duduk di bangku SMK jurusan otomatif di kelas III. Ia selanjutnya kupanggil Safa. Nama yang terdengar tegar, sangat padan dengan ketegaran yang membuncah di matanya.
“kamu, kenapa belum tidur?”, tanyaku seraya melihat posisi duduknya yang tersandar di sofa.
Ia tak menjawab langsung, hanya menarik nafas panjang dan membetulkan posisi duduknya.
“panas mas di dalam”, jawabnya beralasan.
“turun dimana?”,  lanjutku ingin tahu kemana tujuan pelayarannya.
“Palu”.
“sendirian?”.
“bertiga mas, dengan ibu dan adik sepupu perempuan”.
“mereka di dek atas”, tebakku karena ia terlihat sering menaik-turuni tangga dek atas.
“ia, di klinik kapal”, jawabnya datar.
“tadinya ibu dan adik saya di kelas tiga juga, tapi karena kondisi ibu yang masih sakit, ibu dipindahkan di ruang klinik kapal”.
Aku hanya menatap lekat bola matanya. Sebagai bentuk ekspresi keseriusanku mendengar ceritanya.
“kondisi ibu bagaimana?”, tanyaku. Sebenarnya aku ragu menanyakan detil kondisi ibunya, khawatir tidak tepat dengan kondisi psikisnya. Aku tahu, tak mudah merawat orang tua yang sakit dalam perjalanan seperti ini. selain lelah karena perjalanan, juga musti beradaptasi dengan lingkungan kapal yang luas dengan aturan yang tentunya harus dipelajari. Apalagi sekarang sudah sangat larut. Aku tak mau terlalu membebani pikirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mulai ke arah privacynya.
“Ibu baik saja, masih terbaring di ruang klinik”,
“ibu menderita sakit kanker tulang, dan sekarang sedang mengupayakan kesembuhan di kota Palu”, jelasnya memulai kisahnya.

Sedikit penjelasannya malah membuka keingintahuanku tentang banyak hal lagi tentangnya. Tentangnya juga tentang keluarganya. Bagaimana bisa seorang pemuda yang umumnya hidup dalam pencarian jati diri dengan mencoba banyak hal dilluar kewajaran malah berteman dengan keseriusan pengabdian terhadap seorang ibu yang harus ia rawat. Kemana sanak saudara yang lain, sendirikah ia?. Banyaknya tanya dalam benakku membuatku semakin menyukai ketegaran pemuda ini. ia menjelaskan sedikit kebingunannya ketika ia diharuskan menandatangani surat perjanjian dari tim dokter kapal bahwa jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau si pasien meninggal dunia di dalam pelayaran maka jenazah akan di buang ke laut. Ia bingung ketika akan menandatangani perjanjian tersebut. Namun apa daya, ia satu-satunya kerabat tertua dalam rombongan kecilnya. Adik sepupu perempuannya tentu tak bisa memberikan input terhadap putusannya. Aku, dan tentunya ia sangat terkejut dengan berita tersebut. Benarkah?, seperti itukah aturannya?. Aku tak bisa membantu menjelaskan. Aku hanya mengajak arah pikirnya untuk tak terjadi akan hal-hal demikian. Yakinkan saja dalam hati bahwa ibu akan baik-baik saja.

Aku masih terdiam termangu dengan sedikit ceritanya. Jika benar hal terburuk itu terjadi, sungguh suatu yang masih tak dapat  diterima dengan akal sehat. Namun, sekali lagi, aku membelokkan imajinasiku untuk hanya memikirkan hal-hal baik lainnya.
Pria muda ini adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang kesemuanya adalah pria. Abang pertamanya sedang menderita depresi, saat masih menempuh studi di kota Jogjakarta. Saat itu ia belum paham benar dengan kondisi abangnya, namun beranjak dewasa iapun mulai sadar dengan apa yang tengah dialami saudara pertamanya. Saudara keduanya telah menikah dan bermukim di kota Balikpapan. Sedangkan adiknya yang terakhir, pun tidak bisa diharapkan perannya membantu orang tua karena juga dalam kondisi sakit atau idiot. Ayahnya kini bekerja di kota palu, dan keluarga disana yang akan merawat ibunya kelak, sementara ia akan kembali ke kota Tarakan untuk melanjutkan sekolahnya.

Aku menarik nafas dalam
Diam
Hening
Siapakah pemuda ini
Kisahnya laksana petuah seorang pemangku
Tentang ketegaran, pengabdian, keikhlasan

Entah bahasa apa yang pantas aku ucapkan mendengar caritanya barusan. Ia terlihat tegar dengan senyum manisnya. Berbeda denganku, yang kini menjadi buram seakan-akan akulah subjek dari semua cerita ini. Jelas bukan waktu yang sebentar ia berada dalam kondisi demikian, siapa yang berperan sebagai ibu dalam rumahnya. Sementara sang peneduh itu tengah berjuang dalam sakitnya. Saudaranya, dengan kondisi demikian bukanlah hal yang mudah untuk seorang pemuda sepertinya. Tentu harus punyai jiwa yang teguh dan tegar berada dalam kondisi keluarga seperti itu. Namun, apakah ia terlihat lemah?. Tidak, sekali-kali tidak. Ia terlihat sangat biasa. Sangat natural seperti layaknya pemuda lainnya. Ia malah tak terlihat berada dalam lingkaran ujian seperti itu. Ia tak sepertiku. Ia begitu tangguh dalam usia yang begitu belia.

Aku mematung
Tak ada aksara tersumbar
Hanya lekat menatap
Ia ………………….
Tak sanggup kutulis dalam untai kata

Ia kembali tersenyum merangkai ceritanya. Aku, masih termangu menterjemahkan air wajahnya. Keindahan bola matanya, tak seindah cerita hidupnya. Ah, mungkin aku salah, ia mungkin telah mendapatkan kepercayaan dari sang Kuasa akan ujian ini. itu artinya ia makhluk yang memiliki kekuatan memikul beban ini. Tak sepertiku, yang terkadang cengeng dengan sedikit masalah.
“pamit dulu mas, mau istirahat”, ucapnya menghentikan tegunku terhadapnya.
“oh, ia. Silakan”. Aku menjawab menutup kejutku akan keteguhannya.
Safa beranjak dari sisiku. Ia berjalan menuju lambung kiri dek kapal tempat dimana ruangan penumpang berada. Aku masih di sofa berwarna cream ini. mencari hikmah dari sebuah cerita perjalanan kali ini. dalam lirih aku berucap, inilah awal dari perjalananku kali ini. aku sangat beruntung telah bertemu dengan orang sepertinya. Perjalanan yang tak hanya mengedepankan destinasi wisata masyhur ke kota-kota terkenal. Tetapi pelajaran dari sebuah proses perjalanan, dimana lensa mata bertemu dan bersua dengan banyak nilai kedewasaan. Dan Safa, adalah salah satu nilai kedewasaan itu.

Waktu hampir menunjukkan pukul dua dini hari, aku membereskan buku dan tas kecilku. Beranjak ke peraduan yang tak beradu. Perjalanan baru melewati lima jam perjalanan. Sesaat lagi, kapal akan merapat di pelabuhan kota kabupaten nunukan kalimantan timur. aku yang baru tertidur harus terjaga lagi karena suara informan kapal yang menerangkan tentang kedatangan kapal di kabupaten paling utara kalimantan timur tersebut. Pukul 03.00 dini hari. Aku yang baru tertidur satu jam harus terbangun kembali. Aku beranjak ke luar kamar untuk menikmati kota nunukan di kegelapan dini hari. Sementara tiga penumpang lain di kamarku tetap terlelap dalam buaian mimpinya.Safa, ia tak terlihat di kasurnya. Ia mungkin sedang berada di klinik menjaga ibunya.

Proses turun dan naik penumpang di pelabuhan hampir menyita waktu sembilan puluh menit lamanya. Artinya, waktu subuh tak lama lagi menyapa. Beberapa penumpang muslim telah bersiap menuju dek paling atas untuk melaksanakan ibadah shalat subuh berjamaah. Akupun bergegas kesana. Tiba di ruang mushola kapal, aku melihat seorang pemuda tengah khusyuk menunaikan ibadah sunnah. Kaifiyat shalatnya terlihat syar’i. Rukun shalatnya terlihat tumakni’nah. Takzim. Dan khidmat. Ia adalah pemuda penuh ilmu yang satu ruangan denganku. Safa. Rangkaian ibadahnya, jelas tak bisa menyembunyikan terapan kajian fiqhnya yang hanif. Ia, kembali memukau khasanah ilmuku yang begitu dangkalnya.

Ba’da shalat subuh berjamaah di ruang mushala kapal nan bersih ini, aku tak lagi melihat sosok pemuda tadi. Ia berkelebat begitu saja diantara ramai jamaah yang baru datang. Di tempat suci ini, aku bertemu dengan penumpang yang akan menuju kota Palu. Seorang bapak paruh baya asal palewa sulawesi tengah, yang memperisteri seorang wanita asal bulungan kalimantan timur. singkatnya, ia mengundangku untuk bermalam di kediamannya. Karena kapal akan tiba di pelabuhan Pantoloan sulawesi tengah pukul dua dini hari. Karena sulitnya transportasi dan rawannya pelaku calo pelabuhan, ia berkeras menawarkan kediamannya untuk menjadi tempat persinggahanku di kota kelahirannya, Palu. Aku menolak halus tawarannya, meski akhirnya aku terima karena luluh akan kesungguhan niat baiknya.

Akhirnya di kapal ini, aku tak hanya bertemu dengan pak Aming dan puteranya yang cerdas dengan cerita bisnisnya yang mengispirasi, Safa dengan khasanah ilmu yang tak bertangga. Tapi kini dengan Ami Dar seorang bapak paruh baya yang menawarkan rumahnya sebagai tempat persinggahanku di kota Palu.

ooOoo

Pukul dua belas malam, kembali informan kapal menerangkan bahwa kapal akan segera merapat di pelabuhan pantoloan sulawesi tengah. Aku terjaga dari tidurku. Terlihat penumpang lain tengah berkemas menyambut hentinya. Pak Aming dan puteranya telah siap dengan barang bawaannya. Begitu juga dengan penumpang yang tak ku tahu namanya itu, seorang pelajar SMP yang lebih sering ke ruangan keluarganya di kamar seberang. Sementara Safa, ia lagi-lagi tak terlihat olehku. Dipannya telah rapi. Ternyata ia telah lebih dulu berkemas meninggalkan kamar penumpang dan menuju klinik kapal. Akupun bergegas merapikan backpack yang kusimpan dilemari kamar. Kapal berhenti, akupun bergegas menuruni tangga kapal menuju pelabuhan dengan air yang terlihat jernih meski di kegelapan malam. ‘Selamat datang backpacker borneo’, aku mengucapkan sendiri ucapan itu di tanah selebes ini. selamat berpisah sahabat-sahabat perjalanan. Tentu akan kugores pena tentang cerita ini. Tentang perjuangan hidup pak aming dalam merintis usahanya, tentang petuah Ami Dar hingga cerita kematian isteri tercintanya, tentang kehidupan malam di atas kapal, tentang kehidupan cafeteria kapal dengan romansanya, tentang pernik penumpang dengan segala kemasannya. Juga tak lupa tentang pemuda bersahaja yang kini masih melanjutkan juangnya untuk kesembuhan ibunda tercintanya.

Safa, lama aku menikmati siang bersamanya di beranda kapal. Setelah melaksanakan shalat jumat berjamaah di kapal, kami menghabiskan waktu bersama. Semilir angin laut dengan ombak yang terlihat bersahabat seolah menatap persahabatan baruku dengannya. Tak terlihat daratan di sekeliling kapal. Hanya garis batas laut karena keterbatasan lensa mencapai jarak. Safa bercengkerama dengan santun, aku mendengar dengan tekun. Ia sekali lagi tak terlihat sebagai seorang yang terbebani dengan segala romantika kehidupannya. Ia masih terlihat biasa, tegar dan sabar. Masih becanda melihat gaya dan tingkah penumpang yang sedang berlenggak-lenggok bak peragawati di catwalk. Hingga akhirnya pelabuhan ini, memisahkan aku dengannya. Dengan segala ketegarannya. Semoga, Tuhan yang maha kasih. Memberikan kekuatan pada hatimu. Semoga kesembuhan menghampiri bundamu. Semoga, kebahagiaan kan kau raih sepanjang usiamu.

Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni'matan yang besar (surga), (QS. al-muthaffifiin ; 22)

ooOoo

Artikel Terkait
Comments
3 Comments

3 komentar:

  1. hmm...karya yg sangat bagus mas...alur crita nya membuat yg baca "emosi"...knp terlalu cepat terpotong sampai dsitu saja?he...

    BalasHapus
  2. Terimakasih. baru belajar nulis neh Lae, jadi masih rada berantakkan, apalagi kalo ceritanya dibuat lebih panjang...hehe.

    BalasHapus
  3. nice story..
    hemmm banyak istilah2 arab.. aku bingung :(
    hohohohoho :)


    sekali lagi .. kamu menghidupkan nyawa dari sbuah cerita yang kamu tulis

    BalasHapus