Minggu, 24 Agustus 2014

Jakarta


Pertamax, wiskul Soto Betawi dengan stiker Samarinda Backpacker


Kali ini penyanyi bis kota itu tidak aku berikan receh, aku masih ingat benar wajah dan suaranya. Penyanyi ini, adalah penyanyi yang sama ketika aku menumpang di bis kota menuju Blok M Jakarta. Temanku tertawa kecil saja mengiyakan ceritaku saat aku bercerita di dalam tenda pada pendakian sebuah gunung di Jawa Timur. Dua temanku itu, memang berasal dari ibukota, mereka sesekali tertawa geli mendengar ceritaku tentang kehidupan ibukota saat aku memampiri kota tersebut dalam backpackeranku selama tiga puluh hari di awal tahun ini. Tigapuluh hari aku meninggalkan kediamanku di kalimantan untuk mendaki gunung dan menuju beberapa spot keindahan yang ada di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, dan diantara perjalanan itu, aku menyinggahi Kota Jakarta beberapa kali untuk beristirahat dan menjalani kehidupan ‘normal’ untuk mempersiapkan rute selanjutnya. Beruntung, aku telah mengenal seorang teman yang terhubung dari komunitas backpacker regional samarinda, yang menyediakan kediamannya selama aku berada di Jakarta.


Mas Fakh, -harus aku tulis namanya meski ia sepertinya tidak suka- tetap berakitvitas kantoran seperti biasa selama aku menumpang di kontrakannya di daerah Cilandak. Bukan aku saja, di situ juga ada Therry, -yang juga dikenal dari komunitas yang sama- dengan aktivitasnya. Dari awal, aku dijemput Therry di perempatan RS Fatmawati untuk selanjutnya menuju kontrakan Mas Fakh. Untuk orang daerah sepertiku, berada di tengah riuhnya ibukota, memang pengalaman tersendiri. Seperti halnya warga ibukota yang terkadang lebay saat berkunjung ke daerah, mungkin begitu juga dengan orang daerah yang sedang berada di ibukota. Tetapi, aku mungkin biasa-biasa saja.

Lihatlah orang kota saat sedang berada di sebuah desa, mereka seperti aneh melihat ada seorang wanita tua sedang memikul kayu atau rumput. Mereka seperti terkena api neraka ketika kulitnya tersengat matahari saat berjalan di pematang sawah, mereka seperti baru melihat sebuah mukjizat ketika ada seorang bapak tua yang telah renta masih bisa memanjat pohon buah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, atau mereka seperti akan bertemu kematian ketika harus mencoba masuk ke dalam pantai berlumpur untuk mencari binatang laut sebagai lauk.

Begitupun sebaliknya, aku tidak men-generalisir semua subjek menjadi suatu hal yang sama. Akan tetapi, memang demikianlah yang tertangkap olehku. Sebagai orang daerah, aku belum terbiasa dibentak-bentak kernet bis untuk segera turun sementara untuk berjalan saja sangat sulit karena padatnya para penumpang dan juga para pedagang. Aku juga belum terbiasa menyeberangi jalan raya yang tiada hentinya kendaraan berlalu lalang. Dan aku juga belum terbiasa berjalan di bawah jemuran sepanjang jalan ketika harus keluar kontrakan menuju keramaian mall ibukota. Tetapi itulah ibukota, saat kau duduk manis di sebuah bis kota, penumpang di depanmu tanpa rasa bersalah memberikan bagian belakangnya tepat di bagian wajahmu.

Kontrakan di Cilandak

Mas Fakh, pulang kantor seperti biasa. Kantornya tidak jauh dari kontrakannya. Cukup berjalan kaki, kami setiap malamnya berkumpul bersama. Tidak ada trip malam saat kami berkumpul bersama. Selain waktu yang memang tak banyak, kelelahan setelah bekerja juga menjadikan alasan untuk sebaiknya kami bercengkerama saja di setiap malam.

Cilandak, adalah daerah kontrakan yang padat. Rumah-rumah petak yang tak tertata dengan rapi ini, begitu banyak manusia yang berdiam di sana. Aku cukup menikmati kehidupan ala Kota Jakarta selama berada di sana, bukan kenapa-kenapa, daerah padat seperti itu, segala kebutuhan dengan mudah aku temukan. Banyak sekali jajanan yang di jajakan di daerah itu, mulai pagi hingga malam para pedagang tak henti-hentinya berjualanan. Warung Kopi salah satu warung kecil yang unik untuk orang daerah sepertiku. Warung yang menjual makanan mie instant bisa dengan mudah ditemukan di pinggiran kota besar seperti Jakarta. Aku, merasa heran saja, mengapa bisa ada yang berjualan mie instant, padahal untuk membuatnya aku kira siapa saja bisa. Mengapa mereka tidak membeli saja lalu memasaknya di rumah masing-masing.

Saat pagi, ketika mas Fakh ke kantor, aku menjalani kehidupan ala kota sedianya. Mencuci pakaian di laundry lalu berjalan ke tempat pusat belanja yang bisa dijangkau dengan mudah. Ada hal yang membingungkan dari kontrakan mas Fakh di Cilandak ini. Tempat ini memang bukan tempat yang elite, tetapi berjalan kearah mana saja dari kontrakan ini, kita akan menemui kemegehan kota dan terlupa kalau kita sebenarnya baru saja keluar dari gang sempit diantara dinding-dinding rumah yang pengap.

Bersama Thery, yang juga belum begitu hapal dengan ibukota, tetapi karena sudah lebih dahulu berada di kota itu, kami berdua hanya bisa menuju Blok M setiap ingin berbelanja. Blok M begitu luasnya, dua kali ke pasar itu dua kali juga kebingungan mencari pintu keluarnya.

Cukup berjalan kaki dari kontrakan, gedung tinggi tersaji

Hari terakhir di Jakarta, mas Fakh ikut serta untuk trip malam bersama. Kali ini pilihannya adalah bioskop di Blok M Plaza di jam terakhir. Mas Fakh terlihat mengantuk, sementara aku lebih terkonsentrasi melihat perilaku anak-anak kota di dalam bioskop.

Pagi di Cilandak, serasa dalam sinetron suami-suami takut isteri. Suasana di rumah kontrakan yang padat, membuat suasana pagi sangat ramai oleh rumpian para tetangga. Aku tentu saja mengisi pagi dengan berbelanja makanan lagi seperti biasa, makan, makan dan makan lagi. Sambil menunggu Thery yang belum juga bangun pagi meski mentari semakin meninggi.

Kebersamaan selama di Jakarta memang bukanlah waktu yang lama. Namun pertemuan dan kebersamaan dengan teman baru tak akan butuh waktu yang singkat untuk bisa terlupa kenangannya. Jakarta, aku mungkin hanya bisa sedikit mengenal kehidupan transportasinya. Bagaimana mungkin, kota terbesar dari negara kepualauan ini belum memiliki sarana transportasi yang memadai. Satu bis kota diisi oleh puluhan penumpangnya. Semua bangku telah terisi, penumpang tetap saja memasuki bis dan hanya berdiri. Tidak itu saja, selama masih ada ruang tersisa penumpang tetap saja memadat. Wajah dan pundak terasa dekat, buah dada ikut terdesak, hijab muslimah seakan tak lagi memiliki sekat.

Nun jauh di sana, masih juga berlabel Indonesia, sarana transportasi memang tak semegah ibukota. Hanya beberapa lembar papan yang dibentuk sedemikian sederhana, menampung beberapa manusia, tetapi tak pernah sampai berdesak dan memaksa. Dengan sebilah kayu sebagai pendorongnya, atau mesin kecil dengan kipas berputar pelan yang memicunya. Perahu ketinting salah satu sarana transportasi antar desa yang biasa aku gunakan, memang tak menampung banyak penumpang. Akan tetapi, duduk tenang sambil menikmati keindahan pepohonan dan binatang bergelayutan setidaknya bisa membuat rileks pikiran sebelum si penumpang tiba di tempat tujuan. Ya, rileks pikiran sebelum tiba di tempat tujuan, ini mungkin yang belum diperhatikan para penyedia sarana transportasi kepada para penumpangnya, sehingga aktivitas yang akan dijalani delapan jam kemudiannya menjadi tak nyaman.


ooOoo















Artikel Terkait
Comments
1 Comments

1 komentar: