Sabtu, 21 Oktober 2017

Kehilangan



Kehilangan



Aku mendapatkan kabar itu saat bangun pagi. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Bergeming sesaat. Mengingat kembali garis usia di setiap lekuk wajahnya. Aku beranjak ke kamar mandi, lalu bersiap untuk satu qunut di dua rakaat menjelang pagi.


Aku memutuskan untuk meninggalkan basecamp. Jadwal keberangkatan speedboat hanya ada di jam-jam pagi. Semoga saja aku masih bisa hadir di pemakamannya nanti.


Ijin kantor diperoleh, aku menuju lanting perhentian perahu di tepi sungai. Tak banyak yang harus aku lakukan, selain berharap kedatanganku dapat membuat sahabatku tak terlalu larut dalam kedukaan.


Lebih dari pukul sepuluh pagi aku sampai di kota itu. Segera bergegas menuju rumah duka. Deretan kursi plastik telah penuh terisi di halaman rumahnya. Tak ada lagi aktivitas persiapan pengetaman kayu untuk liang lahat. Semua sudah selesai. Aku belum melihat La, sahabatku itu. Kupikir ia berada di dalam rumah.


Sesaat kulihat jenazah telah selesai dimandikan. Aku bergegas membantu memindahkan beliau ke dalam rumah untuk disembahyangkan. Sebelumnya, proses yang harus dilakukan adalah mengkafani jenazah. Aku menanti sesaat, hingga ajakan untuk tiga shaft segera dilakukan.


Saat ini ia yang di depan
Suatu saat kitalah yang di depan
Di depan sang imam
Disembahyangkan orang-orang beriman


Tak beberapa lama, jenazah diletakkan di keranda. Diusung lalu diantar menuju merahnya tanah. Diiringi lantunan tahlil hingga shalawat kepada sang baginda. Para pelayat dengan sigap memanggul keranda. Sebagian membawa lembaran papan, sebagian membawa untaian kembang.


Hingga di pemakaman, terlihat sebuah tenda di tengah ribuan pusara. Dimanakah kelak kita disemayamkan. Terlintaskah di benak kita jika suatu saat kitalah yang disemayamkan. Aku bersegera menuju lubang yang dipersiapkan. Bersama anak bungsunya, aku kini berada di dalam lubang untuk menyambut jenazah di tanah terakhirnya. Tertutup kain putih, ia kami semayamkan menghadap kibat. Ikatan putih kami lepaskan. Lembaran papan kami susun berdampingan. Satu persatu, gundukkan tanah diturunkan. Perlahan. Pelan-pelan. Hingga tak terlihat lagi tubuhnya dari pandangan.


Selesai sudah prosesi pemakaman. Lunaslah sudah kewajiban sebagian orang-orang beriman. Satu persatu pengantar meninggalkan pemakaman. Memanjatkan doa kemudian pulang. Hanya pusara dan taburan kembang yang tak pulang.

Apa setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan


Membiarkan Tuhan membaca isi hati ini. Meminta Tuhan untuk meringankan kedatangannya. Memohon Tuhan untuk mengikhlaskan kepergiannya.


Aku melihat La begitu berairmata. Aku berusaha menghentikan deras dukanya. Aku sudah pernah seperti apa yang ia alami saat ini. Kehilangan satu persatu orang yang kita cintai.


Apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan


Aku tau benar apa itu kehilangan. Saat pagi bertandang. Kulihat ia masih di kasur busa. Sesekali aku yang menggodanya, terkadang ia yang menyapa. Sebungkus roti untuknya, segelas kopi darinya. Pagi yang seperti itu bukan sudah tak ada. Ia selalu ada. Meski tak nyata.


Apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan


Aku ingat betul apa itu kehilangan. Jika siang menghadang. Kulihat ia duduk di bangku. Kuhampiri ia sambil menunggu. Menunggu ia bercerita. Menunggu ia berkeluh atas kisahnya. Nada suaranya tak pernah hilang di telinga. Apa lagi senyumannya. Ia memang telah tiada. Tapi ia selalu ada. Meski tak nyata.


Lantas apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan


Aku suka ia ketika sore. Keringat lelahnya. Debu di baju kerjanya. Aku selalu datang untuknya. Seakan semua bukanlah keletihan. Tapi hidup memang selayaknya demikian. Asal kita bersama, semua bisa terasa bahagia. Mimpinya. Cita-citanya. Namun apa semua itu masih ada. Semua memang masih ada. Masih begitu dekat wajahnya di ingatanku. Masih begitu terasa asanya di benakku. Masih begitu lekat napasnya di telingaku. Ia masih ada. Ia akan selalu ada. Meski kini tak nyata.


Lantas apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan


Bahkan ketika malam kan menjelang. Saat semua tertidur terlentang. Aku tak mungkin nyenyak jika masih melihatnya. Melihatnya ada di sampingku. Melihat bibirnya bergetar menahan panas di tubuhnya. Melihat semua yang pernah ia rasakan di tempat ini. Aku benar-benar masih melihatnya, meski tak nyata.


Ini bukan sekadar mengenang. Ini juga bukan tentang lemahnya hati lalu hanya bisa mengusap airmata yang tergenang. Bukan. Ini hanyalah sebuah rindu, sebulir penghibur ketika semua harus kusadari, bahwa hidup hanya tentang dua hal. Meninggalkan ataukah ditinggalkan.


Ini memang hanya sebait tulisan. Tulisan rindu untuk yang tersayang. Tak akan lekang, tak akan mungkin hilang. Telah terukir begitu dalam.


Namun takdir bagaikan suratan yang tak akan salah alamat pengiriman. Sudah tertera kapan waktunya sampai di tangan. Meninggalkan ataukah ditinggalkan. Dua hal yang berbeda namun tak akan luput dari kenyataan.


Biarlah rindu mengukir kesedihan. Biarkan doa bertarung bersama pedihnya kenyataan. Tak akan sendiri meski telah tiada. Tak akan berhenti meski harus hidup sendiri. Semua karena satu keyakinan. Dia tak akan menguji diluar batas kemampuan.


***


Aku pamit pada La di hari ke dua. Aku harus kembali ke tempat kerja esok harinya. Aku hanya bisa berbagi cerita agar ia bisa tertawa. Tertawa untuk luka yang disembunyikannya.

Sepertimu
Sepertiku juga
Kehilangan
Seakan menjadi menu yang berulang



ooOoo


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar