Hening.
Diam.
Entah apa yang ada dalam benak
mereka. Apakah sama dengan yang aku rasakan. Saat gelombang menghempas dengan
keras, saat sang surya menyengat tanpa sekat, saat tangis itu memecah,
sementara bercak darah di pipinya membuatku terhenyak, memaksaku terpaku, ada
manusia baru terlahir di sini, di tengah lautan menderu, di terpa angin yang beradu.
Dia terlahir, aku terdiam. Aku seakan seorang ayah yang melihat buah hatinya terlahir, atau seorang anak yang sedang melihat perjuangan seorang ibu
menjemputnya ke dunia, atau seorang pecundang yang hanya bisa terdiam dan
bungkam.
Aku menarik dalam nafas ini,
hanya untuk menyelesaikan satu alinea pembuka cerita perjalananku kali
ini. Entah apakah makna dari semua. Begitu
beratkah tulisanku, sehingga seolah ada beban ketika satu persatu aksara aku
rajut menjadi sebuah cerita. Cerita tentang perjuangan seorang manusia yang
melakukan persalinan dalam kondisi yang tak seharusnya.
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Al Ankabuut 20)
Aku bukan seorang mufassir. Aku
bukan Ibnu Katsir. Namun salahkah bila 'tanda' kusibak menjadi tafsir. Memaksaku
menahan rahang, membendung linang yang akan mengalir.
Ayat suci tersebut seakan
meninjuku, bahwa perjalanan ini bukanlah tanpa arti. Berjalanlah di (muka)
bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya,. Ya. Sekali lagi saya berjalan, membuat jejak mencari ibrah,
hingga proses ‘penciptaan’ manusia itu aku temui, aku saksikan, aku lihat, aku
dengar, meski aku hanya bisa berdiam, bungkam, dan menjadikannya sebuah
tulisan. Aku memang pecundang, yang tak berarti apa-apa.
***
Sungai Sekatak |
Sungai Sekatak. Kalimantan Timur.
Dalam tiga puluh hari, sepertinya hanya lima hari sungai ini terlihat indah.
Sungai ini akan menjadi tenang, berair jernih, jika tak turun hujan. Namun
kesehariannya, air sungai ini tak ubahnya air susu yang berpadu air kopi,
berwarna kecokelatan. Tak usah menyalahkan eksploitasi alam sebagai
penyebabnya, karena hanya akan menambah jumlah manusia pencela pada akhirnya.
Sungai ini masih berdampak pada pasang surut air laut, hingga di waktu-waktu
tertentu, air sungai terkadang terasa payau. Di tepi sungai inilah, aku
menghabiskan lima tahun terakhirku. Sungai ini juga yang mengantarkanku menuju
kota terdekat, Tarakan, dengan menggunakan kapal cepat (speed boat) berukuran
kecil berkapasitas lima hingga tujuh orang penumpang.
Aku menuju Kota Tarakan,
menggunakan speed boat yang telah penuh oleh penumpang. Di bangku depan,
sejajar dengar motoris, aku duduk menerobos angin, membelah air sungai
perlahan. Di sebelahku, seorang pekerja perusahaan perkayuan berperawakan
besar. Hanya menggunakan tas ransel butut, dan berjaket dari bahan jeans.
Penumpang pria ini, berambut keriting dan berwarna kulit gelap.
Sementara di bangku belakang,
terdapat dua orang penumpang pria dewasa, dan dua orang penumpang wanita
dewasa. Satu wanita telah berusia lanjut, sedang satu wanita lagi adalah wanita
berusia dua puluh lima tahunan yang sedang mengandung. Wajahnya terlihat tanpa
bedak apalagi pewarna bibir, rambutnya dibiarkan diikat seadanya. Wanita itu
duduk sambil memegang sebuah tas berukuran sedang.
Langit tampak cerah, air sungai
terlihat kotor dengan batang-batang kayu yang terbawa dari hulu, tampak
pohon-pohon nipah di setiap tepi sungai laksana pagar yang membentang. Sesekali
terlihat gubuk-gubuk reyot yang entah apakah masih berpenghuni ataukah tidak.
Setengah jam perjalanan terlihat perkampungan nelayan yang tak ramai.
Perkampungan dengan rumah seadanya, beratapkan daun nipah, dengan pelataran
yang tak tersusun rapi. Perkampungan yang memang menggantungkan peruntungan
dari hasil laut dan juga sungai.
Beberapa meter ke hilir, tampak perusahaan pertambangan batu besi yang berdiri gagah. Beberapa kapal tongkang yang telah berisi maupun yang antre, menjadi pemandangan tersendiri di tepi sungai. Terlihat beberapa dumptruck dan excavator tengah beroperasi, dermaga perusahaan yang terlihat rapi dan terjaga, serta beberapa pekerja lengkap dengan topi safety-nya .
Sungai ini mulai melebar,
sepertinya telah bercampur dengan air laut. Di sisi kiriku, tampak sebuah delta
menyerupai bukit. Orang menyebutnya sebagai Pulau Srilaki. Pulau tak
berpenghuni yang menjadi batas bahwa setelahnya kita akan mulai memasuki
perairan yang terkadang tak ramah, seperti pada perjalananku kali ini.
Boat yang aku tumpangi melaju
mengikuti irama riak air laut yang menghentak. Suara mesin boat memekakkan
telinga. Perut terguncang, seakan berada dalam kendaraan roda empat yang
melintas di jalan berlubang. Kondisi seperti ini, adalah kondisi yang biasa
dijumpai oleh penduduk pedalaman yang ingin ke perkotaan. Melewati riak
gelombang, dalam sampan yang bergoyang.
Ada sedikit kegaduhan dari bangku
belakang. Suara mesin boat yang ribut membuat aku tak terlalu peka dengan
sekitar. Aku menoleh ke belakang. Ternyata penumpang wanita yang sedang
mengandung tersebut telah berbaring di lantai speed boat yang sempit dan kotor.
Lantai yang seluas permukaan meja kerjaku itu, ia merebahkan diri sambil
menekuk kedua kakinya. Sementara dua penumpang pria lagi berpindah tempat di
bibir speed boat, duduk mengarah ke buritan boat. Sedang penumpang wanita
berusia lanjut, terlihat mendampingi si wanita yang terkulai dengan daya yang
tersisa.
Apa yang terjadi. Aku bertanya
sendiri, sekaligus menjawab sendiri. Hentakan air laut sepertinya berpengaruh
pada kondisi si ibu yang sedang mengandung tersebut. Memang, dalam kondisi
normal saja, hentakan gelombang laut sudah cukup menyiksa tubuh penumpang
dengan terhempas-hempas. Apalagi untuk wanita yang tengah mengandung tersebut.
Perjalanan masih satu jam lagi
untuk dapat merapat ke kota. Tak mungkin berbalik arah, karena jarak yang
relatif sama. Aku hanya bisa berdiam, sama seperti penumpang pria yang lainnya.
Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat perkembangan yang berlaku. Wanita itu
terbaring sambil mengangkat kedua lututnya. Tampak selembar handuk yang telah
pudar warnanya menjadi alas di bagian
pahanya. Sedang penumpang wanita paruh baya itu, terus berada di sampingnya.
Saya tak tahu pasti, apakah wanita paruh baya tersebut memang keluarga yang
mendampinginya ataukah penumpang lain yang satu keberangkatan dengannya.
Tak ada yang bisa dilakukan
dengan maksimal, selain menunggu kapan boat ini akan sampai. Sungguh, aku tak
tahu harus melakukan apa, harus membantu apa. Hanya terdengar suara rintih
mengaduh dengan jelas. Sungguh suara yang mengiba dan membutuhkan pertolongan.
Kami hanya menunggu, menunggu dan terus menunggu. Menunggu nyatanya keajaiban
doa, agar diberi keselamatan untuknya dan buah hatinya.
Pesisir kota paguntaka terlihat,
sinyal ponsel mulai tertangkap. Sang motoris menghubungi ambulance agar dapat
menjemput di Dermaga Tengkayu Tarakan. Sang ibu paruh baya terus memberikan
semangat bahwa sebentar lagi boat akan merapat. Bertahanlah. Bertahanlah.
Aku memalingkan wajah
Siapa aku sebenarnya
Apa yang Kau mau Tuhan
Kau perlihatkan sebuah penciptaan
Kau pertontonkan opera kehidupan
Riak terus mengguncang
Rintihnya memillukan
Sementara Kau mempersaksikan
Saat ini akulah sang pecundang
Kita telah sampai di perairan
kota Tarakan. Telah tampak keramaian dengan aktivitas kapal di tepi pelabuhan. Namun
tali kapal ini belum bisa ditambatkan. Gelombang laut yang mengguncang, akan
berpengaruh dengan dinding dermaga untuk boat yang beruran kecil ini. pelabuhan
ini memang hanya untuk boat yang berukuran besar. Sementara boat-boat kecil
dari pedalaman kalimantan biasanya ditambatkan di Pelabuhan Beringin dengan
didesain untuk boat-boat tersebut. Namun kali ini, karena di dalam boat
terdapat penumpang yang akan dipindahkan ke mobil ambulance, pelabuhan Tengkayu-lah
yang menjadi pilihan.
Boat ini belum bisa merapat.
Belum terlihat mobil ambulance datang menjemput. Boat hanya terombang-ambing di
lautan di tepi dermaga. Sementara air laut tak juga menenangkan gelombangnya. Terdengar
suara yang beradu. Seperti lagu yang tak merdu. Ritmenya semakin laju. Dua
suara wanita terdengar tegar, menghujam, mengharap perlindungan dari Tuhan.
Sebuah perjuangan, motivasi, dan tentu saja doa.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdo`a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. Al
Ahqaaf 15)
Dua suara wanita itu kini menjadi
tiga. Ya! satu suara hadir diantaranya. Suara yang lebih kecil namun terdengar
sangat indah telah sampai di gendang telinga. Aku kembali menoleh ke bangku
belakang. Ada penumpang baru di boat ini. penumpang cantik yang paling suci
diantara semua penumpang yang ada. Penumpang yang terus menangis kecil. Ah,
mungkin bukan tangis, tapi doa, doa untuk kebaikan ibunya yang telah mempertaruhkan
nyawanya untuk kelahirannya.
Sang ibu muda tersebut masih terbaring terkulai. Bayi mungil itu berada dalam pelukan sang ibu paruh baya. Sementara di atas dermaga telah tampak mobil ambulance yang baru saja datang. Drama ini berakhir. Sang ibu dan buah hatinya dipindahkan ke mobil ambulance untuk perawatan medis selanjutnya. Aku, kembali melangkahkan kaki untuk ribuan tanya akan maksud Tuhan melibatkanku dalam perjalanan hati kali ini.
Aku bukan seorang mufassir
Aku bukan ibnu katsir
Namun salahkah bila tanda kusibak menjadi tafsir
Memaksaku menahan rahang, membendung linang yang akan mengalir
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. Al Ankabuut 20)
***
indah... *terharu sampe meneteskan air mata
BalasHapusTerimakasih Norma,,,
Hapusjujur saya belum baca semua kita singgah di taman ini, dan langsung saya baca bagian akhir.. membuat saya ingin blog roll ke atas mengulang cerita..
BalasHapusCatatan yang indah :) salam dari Surabaya
ericka
Salam juga dari Kalimantan... Surabaya, saya punya beberapa sahabat di sana. Terimakasih telah berkunjung.
HapusIndah sekali. Blog Anda saya bookmark untuk kemudian saya baca di waktu senggang. Sayang untuk dilewatkan setiap kisah perjalanan Anda :)
BalasHapus-Gozali
Terimakasih atas kesediannya menandai blog saya, salam kenal mas Gozali. Mohon maaf agak telat responnya, maklum, signal sangat terbatas di sini, hehe.
HapusSubhanallah...
BalasHapusIndahnya cara Allah untuk membuat kita belajar...
Jazakallahu khair...
Hapusmerinding membaca ceritanya, saya sendiri pernah melalui rute malinau-tarakan ataupun nunukan-pembeliangan tapi kalau melihat ceritanya rutenya tidak separah yang ini memang butuh perjuangan transportasi yang berat untuk menjangkau daerah pedalaman di kaltim saLAm (fakhruddin)
BalasHapusSalam juga sobat, terimakasih.
Hapusmassa allah kata-kata nya sungguh indah........... sumpah aku terhru
BalasHapusTerimakasih...
HapusSebagai orang yang pernah mendampingi persalinan buah hati, saya terenyuh, takjub sekaligus ngeri membayangkan pengalaman kamu sahabat...beruntung, Engkau dapat secara lgsg merasakan betapa perjuangan Perempuan saat melahirkan plus kondisi di speedboat dengan ombak2 yang keras (tapi kamu bukan pecundang hanya karena tak dapat berbuat, tapi kamu diberi kesempatan indah dan berharga menjadi saksi keteguhan si Ibu dan detik2 menyambut manusia baru), saya suka kalimat "AKU KEMBALI MELANGKAHKAN KAKI UNTUK RIBUAN TANYA AKAN MAKSUD TUHAN MELIBATKANKU DALAM PERJALANAN HATI KALI INI"...sulit dibayangkan betapa tegar dan kuatnya fisik si Ibu dalam kondisi seperti itu dapat melahirkan dengan selamat tanpa pendampingan Bidan,Dokter dan peralatan medis memadai...Kuasa Allah, Subhanallah!
BalasHapusNICE STORY
Itulah sebabnya (mungkin) mereka yang gagal melakukan persalinan (baca ; meninggal dunia) akan diganjar pahala syahid.
HapusTerimakasih sobat...
mas iman, subhanallah euy...
BalasHapusiseng2 baca-baca tulisan mas iman yg lain nya... ternyata cocok nich jadi penulis, andrea hirata kalah mas.. dasyaaattt :P
terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya, semoga alurnya bisa membuat Silva teringat kembali bahwa rute tersebut pernah Silva dan teman-teman lalui.
Hapusga ada apa-apanya saya dibanding penulis betulan, hehe.
iya mas, jadi ingat pas perjalanan PKL ke sekatak. pertama kali naik speed boat itu rasanyaa , sereem tp pas udah ditengah lautan mulai menikmati perjalanan hehhe...
BalasHapusah mas iman ini bersifat seperti padi, beneran lho tulisan nya keren2...
sangat menginspirasi,
kapan2 wajib berguru nich masalah pengalam ke mas iman hehehe
(yang tepatnya sich mencari dan mencuri ilmu nya hehhe
Terimakasih, semoga bisa bertemu lagi di lain kesempatan.
Hapusmas,catatan anda benar2 luar biasa menyentuh,minimal buat saya... (y).
BalasHapusTerimakasih, ditulis dengan sangat sederhana dan apa adanya. Terimakasih telah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya. Salam kenal.
Hapus