2016 segera berlalu. Di tahun
ini tak ada agenda mendaki gunung, tepatnya lebih satu setengah tahun. Tapi
tahun ini menjadi ‘pendakian’ yang melelahkan sepanjang karirku sebagai seorang
pendaki. Mendaki takdir Tuhan yang entah apakah aku mampu meraih puncaknya atau
hanya terkapar di lereng hukuman kelemahanku.
Tahun ini segera berakhir. Di tahun
ini tak ada awan yang kulihat di sela-sela jari kakiku. Tak ada tetes embun di orange tendaku. Dan tak ada kabut di
samar penglihatanku. Tapi tahukah engkau wahai diri. Tahun ini hanya ada
kesalahan masa lalu yang terlihat jelas di sela jejak kakiku. Hanya ada tetes
airmata menangisi rasa rendah hatiku yang begitu angkuh, rasa kesederhanaanku
yang ternyata hina, dan rasa menjadi baikku yang hanya fatamorgana. Dan taukah
engkau wahai diri, hanya ada kabut pekat masa depanku yang selalu menghantui
kediamanku berikutnya tanpa lentera. Hanya sepetak liat dan lembaran papan tak
bercat. Kesanalah aku menuju kelak.
Pernahkah kau mengambil
pelajaran wahai Keril. Bukankah engkau berusaha menampung semua peralatan
selengkap dan seefisien mungkin. Bahan makanan, tempat berteduh, tempat tidur
mahal dan hangat, hingga pakaian khusus untuk mengusir rasa dingin menusuk.
Tapi pernahkah terpikir olehmu ya Keril, apa semua itu sudah kau persiapkan
untuk perjalanan yang lebih panjang dan pasti waktunya. Perjalanan dimana kau
tak mungkin menyalakan spirtus untuk merebus air, tak mungkin menggelar matras
untuk merebahkan diri, dan tak mungkin lagi memanjangkan tongsis untuk
mengabadikan pencapaianmu. Cobalah untuk sedikit lelah. Lelah untuk sebuah
lelah yang tak berfaedah.
Aku tak menyuruhmu berhenti
berpijak wahai Kaki. Meski betismu membatu, teruslah mendaki hingga kau temui
aroma belerang yang kau dambakan. Tapi sesekali cobalah kau tanyakan pada
ibumu, iakah yang membuat kakimu menjadi kokoh dan tersusun lengkap dengan
tungkai dan kulit arinya. Bukan, bukan ibumu dan juga bukan ayahmu. Atau kau
tanya juga pada treadmill dan sepatu running beserta joggingtrackmu, merekakah yang membuat betismu menjadi
tangguh?. Berpikirlah dengan melihat
daun-daun kecil itu berjatuhan, karena Dia yang menghitung berapa helai daun
jatuh ke bumi maka Dia pulalah yang memberimu kaki yang sempurna yang selalu
lupa kau syukuri dan hanya engkau keluhkan. Kapan terakhir kali kau gunakan
kuatnya kakimu untuk menghadiri majelis-majelis ilmu. Kapan kedua kakimu hadir
di pemakaman saudara seimanmu. Atau pernahkah kedua kakimu engkau saksikan di
sebuah ruang rawat inap sekadar memberi kekuatan buat mereka yang sedang tak
berdaya.
Pernahkah?
Kakimu memang kuat, tapi jiwamu
lemah!
Bukankah setiap kita akan
dimintai pertanggungjawaban. Termasuk engkau wahai Tulisan. Entah dimana rasa
ujub itu merangkai kata demi kata agar kau terlihat saleh dan berilmu agama.
Nistanya engkau wahai penulis cerita perjalanan. Lebih nista dari yang mereka
hujatkan karena memelintir sebaris firman Tuhan. Namun jika kau memilih berhenti
menulis, itupun tak membuatmu lebih baik dari kenistaan. Engkau tetaplah
seorang nista, karena tulisanmu hanya gambaran kehebatanmu yang kau ramu
sendiri lalu kau nikmati sendiri. Tulisanmu hanyalah umpan agar menghasilkan kata-kata sanjungan.
Akhir-akhir ini kau begitu suka
dengan kalimat-kalimat bijak. Mengutipnya lalu menyebarkannya. Seakan-akan
engkaulah yang dimaksud oleh para bijak bestari. Seolah-olah apa yang kau
hadapi memang bentuk ujian menaikkan derajat diri. Sesumbarmu engkau menjadi seorang sabar yang
pantas diapresiasi. Menyedihkan sekali sangkaanmu wahai hati. Miskin sekali
pengetahuanmu. Jangan ke-GR-an sedang diuji Tuhan, jangan salah sangka bahwa
engkau sudah dekat denganNya, jangan sok manis dalam berdoa. Engkau tak pernah
pantas untuk mendapat perhatianNya.
Jangan menatapku penuh
kecurigaan Kawan. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang belajar bagaimana caramu
bisa begitu disukai banyak orang. Tak sepertiku. Meski aku hanya menyukaimu
saat tersaji panas dan tanpa mocca, tapi kau tetap membuat semua kepenatan
hidup menjadi lebih santai. Meski hitam tapi kau tak suram. Meski pahit kau
selipkan kesan manis. Panas, kau kunikmati perlahan. Saat dingin, kau bisa
cairkan kebuntuan. Apa kau juga berdoa wahai Secangkir Kopi? Apa kau juga mahklukNya
sepertiku? Apa kau bisa marah dan membenci dirimu sendiri?
Sudahlah.
Kau tak bisa bicara kawan, tapi
menjawab tanpa berkata sepertinya meredakan sedikit kegundahan.
Bolehkah aku berpesan padamu wahai
Secangkir Kopi?, jika kelak di surga engkau tak menemukanku, tolong katakan
pada Tuhanmu, bahwa aku begitu menyukaimu. Kalau kau tak risih, bilang saja aku
kekasihmu. Ini bentuk kamuflase kita untuk bisa berada di surga. Tak apalah
kita begitu, karena kalau hanya mengandalkan shalat atau infaq sepuluh ribuan,
rasanya tak cukup harga buat punya tiket ke surga. Bukan aku tak percaya ibadah
itu, tapi kau taulah kesalahanku saatku bersendiri dengan hapeku. Dosa itu saja
sudah bak banjir bandang menyapu rakaat sembahyang.
Tahun ini segera berlalu. Di tahun
ini tak ada agenda mendaki gunung, tepatnya lebih satu setengah tahun. Tapi
tahun ini menjadi ‘pendakian’ yang melelahkan sepanjang karirku sebagai seorang
pendaki. Mendaki tanpa tanjakan, tapi lelahnya menyesakkan. Memikul beban tanpa
keril di belakang, tapi sakitnya seakan aku tak punya lagi kekuatan.
‘Pendakian’ tahun ini, sangat melelahkan. Membuatku hanya ingin terus sendiri.
Sendiri yang ditemani.
ooOoo
Tanpa negtrip pun bang iman masih bisa menuang pena, pengewejantahkan dalam rangkaian kata-kata, Ketidakberdayaan wisata diangkat menjadi tema. ungkapan rindu melanglang buana diibaratkan dalam secangkir kopi tanpa makna, kembali hadir dalam susunan konotasi kaya aksara, bias arti menjadi daya tariknya, selamat membaca dengan bahasa penuh rasa # fakh
BalasHapusAkhirnya nulis lagi. Kemaren blog nya di nonaktifkan yaa bang iman. Saya salah satu penggemar catatan ilalangmu
BalasHapusTulisan yg hebat dan penuh makna di tggu tulisan berikut nya sahabat ku...
BalasHapusTerima kasih sahabat
Hapus