Sehari di Cileungsi
-pendakian gunung ceremai bagian 1-
“Mas Iman, ayok ke Binaiya, buka WA ya”. Begitulah SMS yang
tertulis di hapeku.
Aku membalas pesan singkat itu dengan singkat, ‘siap mas’.
Lalu mengaktifkan kembali aplikasi whatsapp-ku.
Butuh sedikit perjuangan untuk mengkonekkan ke jaringan internet, namun tak
menjadi masalah. Setelah wasap aktif,
barulah pesan dari mas Rudy yang berisi itinerary
pendakian aku terima.
Pada saat yang bersamaan, masuk juga chat dari teman lain yang ‘nagih’ untuk trip ke Bali. Benar-benar
saat yang bersamaan. Setelah dipertimbangkan, akhirnya aku memutuskan untuk ke
Bali, dan menolak ajakan mas Rudy ke Binaiya di Maluku. Sebetulnya kalau dari passion, aku memang lebih suka ke
gunung. Apalagi kali ini mas Rudy yang inisiatif mengajak. Biasa-biasanya aku
yang mengajak mas Rudy untuk mendaki. Akan tetapi, karena kali ini sudah pernah
janji juga dengan teman lain untuk ngajak ke Bali, akhirnya aku utamakan lebih
dulu ke Bali, dengan niat, someday
kami akan mendaki lagi bersama.
Kejadian itu di bulan ferbruari untuk trip di bulan maret
2018. Yang akhirnya aku dan dua teman dari Tarakan, trip ke Bali. Sementara mas
Rudy, karena satu hal meng-cancel pendakiannya
ke Binaiya bulan maret itu.
Selang beberapa saat, awal bulan mei tepatnya, aku yang
berinisiatif mengajak mas Rudy untuk mendaki. Seperti biasa, kami memang tidak
terlalu intens di aplikasi percakapan. Sekenanya saja, ajakan mendaki, dealkan
ajakan, janjian di tanggal berapa, done.
Kami sudah tau harus membawa apa saja dan hal-hal lainnya dalam sebuah
pendakian. Sudah tidak ribet lagi, dan tinggal bertemu saja di mepo yang sudah disepakati. Gunung yang
akan kami tuju adalah Ceremai di Jawa Barat.
Hari ditentukan, tim kali ini berjumlah enam orang. Empat
orang diantaranya adalah yang bersama saat pendakian gunung Slamet sebelumnya,
dua orang dari Bandung, satu orang dari Jakarta. Dan dua orang lagi yang belum
aku kenal, adalah teman mas Rudy dari Bandung dan satu mahasiswi dari Jepang
yang sedang kuliah di Indonesia.
Semua persiapan sudah diperiksa, aku terbang menuju Jakarta.
Di Jakarta aku langsung ke Cileungsi Bogor terlebih dahulu.
Main-main sebentar, silaturahmi di tempat teman, karena jadwal berangkatnya
masih besoknya. Dari bandara internasional Soekarno Hatta, sudah ada bus Sinar
Jaya yang langsung tujuan Cileungsi, jadi sangat mudah dan tidak pakai ribet.
Dari terminal bus di Cileungsi, aku sudah ditunggu teman yang menjemputku untuk
mampir semalam di rumahnya. Cileungsi, daerah ini baru untukku. Aku suka sekali
menuju daerah manapun di negeri ini. Selalu ada cerita di setiap perjalanan
kita. Memang, secara umum view tiap
kota atau daerah di Indonesia tak jauh berbeda, tapi tentu saja ada yang
menjadi catatan di setiap perjalanan. Cileungsi, masuk di kabupaten Bogor. Dari
bus Sinar Jaya pada perjalanannya melewati daerah Cibubur, daerah yang sudah
lama aku dengar karena di daerah itu ada bumi perkemahan. Aku melewati plang
petunjuk arah yang menunjukkan daerah Cibubur, juga bumi perkemahannya.
Teringat beberapa waktu lalu, di tempat aku bekerja juga punya agenda rutin
untuk kegiatan persami saka wanabakti. Tapi tentu saja lokasi perkemahannya
benar-benar di lokasi hutan alam.
Melintasi daerah Cibubur hingga sampai di terminal
Cileungsi, beberapa lokasi masih terlihat cukup ramai oleh pusat bisnis dan
perdagangan. Bangunan-bangunan lokasi pasar modern dan juga kawasan perumahan
elite berderet-deret sepanjang perjalanan. Membuatku semakin celingak celinguk
dengan ramainya kota ini.
Tibalah aku di terminal Cileungsi tak beberapa lama.
Bertemulah aku dengan kawan yang pernah aku singgahi juga kediamannya saat
masih di Cilandak, Jakarta. Dengan mengendarai sepeda motor, kami melaju pelan
di jalanan menuju kediamannya di komplek perumahan Citra Indah City. Jalan yang
tak lebar, harus berbagi juga dengan deretan truk-truk yang besar. Matahari
tepat di atas kepala, debu-debu jalanan, suara deru kendaraan, atau keril yang
di pundakku menjadi bagian dari cerita kali ini. Aku mungkin sudah terlalu
berat, sampai-sampai ban belakang jadi kempis, kekurangan angin.
Dari terminal Cileungsi menuju komplek perumahan, kami
melewati Taman Buah Mekar Sari. Aku, sebelum sampai di kota ini, sudah memang
tau bahwa di sini ada Taman Buah Mekar Sari, satu taman yang digagas pada masa
ibu Tien Soeharto. Beberapa spot wisata lainnya di daerah ini adalah beberapa
curug atau air terjun. Tapi aku tak terlalu tertarik. Sudah tak begitu tertarik
lagi memang untuk ke tempat-tempat demikian, aku lebih senang saja bisa
bertandang di kediaman teman, lalu menyelami kehidupan di sekelilingnya sebagai
pelajaran.
Memasuki komplek perumahan Citra Indah City, melewati
terlebih dahulu bundaran patung kuda dan komplek perbelanjaan. Setelah itu
gerbang besar dengan pilar-pilar berdiri tegak dan juga besar. Ada trotoar dan
juga median jalan. Pohon-pohon jenis palm juga menghiasi sepanjang jalan. Dan
tepat di atas gerbang, ada delapan patung kuda yang sedang mengangkat ke dua
kaki depannya memperlihatkan kegagahannya.
Di dalam komplek besar ini, terdapat lagi blok perumahan
dengan nama-nama jenis bunga. Berada di komplek perumahan Ciputra ini membuatku
merasa berada di sebuah pemukiman warga yang berbeda dari kebanyakan pemukiman
di negeri ini. Kebanyakkan komplek perumahan yang pernah aku temui, terkesan
memanfaatkan sebanyak-banyaknya sejengkal tanah yang ada. Akhirnya
komplek-komplek tersebut terkesan rapat dan padat. Sangat kurang adanya ruang
terbuka hijau. Tetapi di komplek ini, jalan masuknya saja dua lajur. Dan satu
lajurnya untuk dua jalur. Bingung ya, bahasanya? Iya sama, saya juga. Intinya
jalannya besar, sementara kendaraan yang melintas hanya warga perumahan yang
tak terlalu padat. Sungguh suatu tatanan tempat tinggal yang sangat ideal.
Mirip komplek perumahan yang sering aku lihat di film-film barat, yang setiap
satu rumah ada halaman yang indah.
Sampai di kediaman teman saya di Blok AR.06-15, saya
disuguhkan makan siang spesial. Ada sup sayur, sambal goreng tempe dan ayam
masak kecap –cmiiw-, pokoknya mantap,
dan asli buatan sendiri. Setelah makan, istirahat sejenak dan menunaikan
shalat.
Sorenya kami mutar-mutar di sekitaran komplek. Ditawarkan
untuk ke curug, tetapi saya lebih memilih untuk jalan-jalan seputaran saja.
Yang ternyata, komplek ini masih terus dalam proses pembangunan, masih terus
meluaskan areal. Sempat bahas sedikit juga tentang Taman Buah Mekar Sari, yang
ternyata lebih pas untuk wisata keluarga. Ada juga fresh market untuk
memenuhi kebutuhan warganya, bisa nongkrong juga di sana. Tapi kami tidak
sempat untuk sekedar ngopi di tempat itu. Karena waktu cukup lama tersita untuk
berlama-lama ke bagian belakang komplek, yang ternyata berbatasan dengan sungai
dan petakkan sawah yang hijau. Sungguh indah.
Malamnya, kami hanya di rumah saja sambil nonton sinetron.
Baru keesokkan pagi, aku jalan-jalan lagi ke arah yang berbeda tapi masih di
seputaran komplek. Jalan kaki saja, sambil beli bubur ayam untuk sarapan. Di
satu tempat, aku menghabiskan sedikit waktu untuk melihat-lihat satu toko buku
bekas. Tapi ada juga buku baru. Lihat toko buku di negeri ini memang seperti
lihat satu keajaiban. Hanya ada beberapa saja toko buku yang masih bertahan,
meski di kota-kota besar sekalipun. Di kota kecilku saja, belasan tahun lalu,
aku masih bisa menjumpai setidaknya ada
lima toko buku, tidak termasuk toko-toko buku yang lebih fokus menjual alat
tulis kantor. Namun kini, setidaknya hanya Gramedia saja yang bisa dikunjungi,
dan satu toko buku di pasar lama yang jumlah barangnya itu-itu saja. Di
gramedia saja, jika masuk di lantai dasar, bukan buku yang di etalase, tapi
peralatan olahraga, barang-barang outdoor,
alat musik, atau printer. Sementara buku-buku ada di lantai dua, dan tiga. Yang
kalau ke toko buku, jumlah pengunjungnya hanya satu atau dua saja.
Miris memang kalau membahas jejak literasi di negeri ini.
Kita memang tidak terbiasa dengan membaca. Padahal kalau di negara-negara maju,
mereka setidaknya menghabiskan satu atau dua buku dalam satu bulan.
Sekolah-sekolah di negara maju juga mewajibkan siswanya untuk menyelesaikan
bacaannya, sebagai tugas wajib. Apa alasannya, apa karena sudah ada internet?,
saya pikir tidak juga, karena di negara maju juga lebih dulu dapat
mengaksesnya. Lebih mahal? Mungkin iya, tapi kalau banyak peminatnya, harganya
bisa saja dapat menekan ongkos produksinya. Atau kita memang tidak terlalu suka
membaca? Ah, itu juga mungkin alasan, buktinya kita bisa berjam-jam mainan
sosmed, sambil baca-baca status dan komentar orang lain. Tapi ya sudahlah,
memang kita harus terima kenyataan, bahwa kita masih jauh tertinggal dari
negara-negara maju itu, dan masih harus lebih giat agar tak tertinggal jauh dari
negara-negara tetangga semisal malaysia atau singapura dalam hal minat membaca.
Kenapa jadi bahas tentang minta baca ya?. Jadi saat aku di
toko buku tadi, ketemulah dengan si bapak penjual yang akhirnya ngobrol banyak
tentang nasionalisme, tentang perbatasan, tentang bangsa ini. Aku mengiyakan
saja. Semua memang mengalir begitu saja ketika ia tau aku memilih satu buku
karya Pramodya Ananta Toer untuk aku beli.
Kita singkat saja ceritanya. Siangnya aku pamit untuk
kembali ke Jakarta. Paling tidak jam dua siang aku sudah harus sampai di Halte
Cawang untuk ketemu dengan bang Togi. Paling tidak aku sudah harus sampai di
terminal bayangan sebelum dzuhur supaya tidak telat. Karena untuk sampai ke
Cawang, aku menumpang kendaraan jenis elf yang kadang tidak jelas berapa lama
si elf ngetem untuk menunggu penumpang. Agar gamang juga saat itu, karena waktu
sholat dzuhur akan bentur. Aku tidak tau apakah nanti di dekat halte Cawang ada
mushola atau masjid. Apakah sempat menunaikan kewajiban shalat. Tunggu kisah
selanjutnya yak.
Makasih bang iman, sudah mau singgah ke gubukku, hehe dan sudi menulis kesan2nya di blog, ditunggu kunjungan berikutnya #fakh
BalasHapusSami2 mas. Mohon maaf sudah bikin repot terus hehe.
HapusApa kabar mas iman?masih bertualang tnyta...lewat jalur mana?ditunggu ceritanya :)
BalasHapusHehe, alhamdulillah kabar baik. Iya mbak, sudah bukan tualang hehe, cuma jalan-jalan.
Hapus