Laman

Jumat, 08 November 2024

LATIMOJONG



 LATIMOJONG

 

Ayok kita berangkat. Sesimpel itu dialog kalau ingin mendaki. Kali ini bersama Mas Obi. Kami sepakat di roomchat, silakan arrange semua itinerarynya. Aku memesan tiket penerbangan dan hotel, lalu buat janji bertemu di Sultan Hasanuddin Airport Makassar. Ada beberapa opsi tipe pendakian yang ditawarkan. Sharing cost dengan beberapa teman via media sosial, open trip dengan operator pendakian, atau private trip dengan independent tour guide lokal. Aku hanya mengingatkan kalau kita sudah tak lagi muda, semangat masih menyala, tapi pertimbangkan bobot dan kemampuan stamina. Pilihan jatuh ke opsi ke tiga. Kita jalan santai, kulineran, sebat di perhentian. Kita sudah Babe-babe tapi masih ingin menggendong Osprey.

 

Hari pertama meet up di ruang tunggu bagasi Bandara. Yey… ketemu. Belasan tahun baru bersua. Kemudian heading to Arbor Biz Hotel di Jalan Perintis Kemerdekaan Makassar. Lokasinya strategis, berjarak tujuh kilometer dari airport, dekat dengan Indomaret, gerai ATM, Alexis, seafoood pinggir jalan. Lobi dan restaurant hotel juga nyaman, masih menyempatkan nobar Indonesia vs China di pelataran hotel.

 

Hari kedua kami sudah dijemput oleh Aldi, driver yang akan mengantarkan kami ke Kabupaten Enrekang. Perjalanan terasa nyaman, melintasi Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Parepare, lalu Pinrang. Makan siang di rumah makan persis di depan Masjid Nurul Iman Keppe Enrekang dengan salah satu menunya Nasu Cemba. Kemudian kami ngopi sejenak di Dante Pine dengan view Bukit Nona, hutan pinus dan gerimis khas jalan poros Enrekang Toraja yang berkelok dan berdindingkan Buttu Macca hingga Bambapuang. Aku bukan penikmat kopi, tetapi Arabica Kalosi dengan tambahan aren seakan menjadi alasan untuk kembali ke tempat ini di lain kesempatan.

 

Kabupaten Enrekang begitu menggoda, berkelok-kelok, berbukit cadas, berhampar hijau kebun bawang dan suara air sungai di tepi jalan. Kami menepi kembali, kali ini menikmati tingginya Tebing Mandu di tepi Sungai Mata Allo. Kemudian melanjutkan perjalanan. Kali ini mulai menanjak, melintasi pepohonan cengkeh, kopi dan kebun salak. Sore, tiba di kediaman Bang Nardi, yang selanjutnya menuju Base camp Desa Angin-angin dengan mengganti moda transportasi roda dua. Yah, karena medan sudah berbeda. Menanjak, gelap, memanjatkan doa. That’s it.

 

Kami bermalam di base camp. Hening, sepi. Makan malam. Ishoma kalau kata anak training pemerintahan. Mengeluarkan sleeping bag mengucapkan Bismika Allahumma Ahya wa Bismika Amuut. Jam 12 atau jam 2 entahlah pastinya, base camp riuh. Tim sharing cost FB tiba. Aku baru berkenalan dengan mereka setelah subuhan. Mereka berjumlah 11 orang.

 

Day three, jam delapan pagi, kami berempat beranjak. Target hari ini adalah Pos 3. Melewati kebun milik masyarakat, pintu rimba hingga hutan bertipe Montana. Jalur Merah Angin-angin tidak memiliki space jalan yang lebar, mungkin karena tidak seramai Jalur Karangan.

 

Pendakian itu punya kekhasan tersendiri, selama hiking dan trekking kita bisa seperjalanan dengan personel tim lain. Seperti perjalanan kali ini. Kami akhirnya berjumlah delapan orang. Well, it’s not about destination, it’s a journey.

 

Hari keempat, kami menikmati sunrise dari Pos 3 Jalur Merah. Melihat awan putih membentuk formasi di bawah kaki. Yap. Awan itu di bawah kakiku. Menikmati secangkir air hangat, lapis legit dan Deppa Tettekang. Perjalanan dilanjutkan kembali. Tak ingin kuceritakan kisahnya, intinya capek, melelahkan, dan aku sudah lupa itu semua.

 

Hari kelima kami memulai pendakian menuju puncak. Hutan lumut yang terluas se-Asia Tenggara itupun kini membersama. Entah berapa kali dipertemukan berbagai jenis Aves di dahan Cantigi, jamur kayu berwarna hitam dengan line putih, atau jenis bunga yang merekah seperti KSM Mandiri. Cuaca bersahabat, akhirnya aku tiba di puncak. Menyentuh tugu triangulasi, memilih plakat Puncak Rante Mario, 3.478 mdpl. Aku menangis sejenak, supaya terkesan perjuangan ini berat. Sejatinya aku hanya sedang menertawakan diri sendiri, apa harus sejauh ini hanya ingin berdiskusi dengan isi kepala sendiri.

 

Perjalanan dilanjutkan. Turun dari puncak. Segini aja kalau di puncak. Nafsi-nafsi. Masing-masing memiliki definisi. Kali ini perjalanan berbeda rute, karena kami memilih lintas jalur. Mendaki dari Jalur Merah Angin-angin lalu menuruni puncak melalui Jalur Karangan. Perjalanan setelah puncak terasa berbeda, entah karena medan yang lebih terbuka atau karena sedang bersuka cita. Hingga akhirnya tiba di Pos 7 untuk istirahat makan dengan menikmati aliran sungai indah di ketinggian. Mana fotonya? Tidak ada.

 

Hari keenam. Kali ini kami bermalam di Pos 5 Jalur Karangan. Juga dengan fasilitas sumber air yang melimpah. Kali ini pertemanan semakin erat. Ada cerita, ada tawa dan rencana berikutnya. Selepas sarapan bersama perjalanan dilanjutkan menuju akhir pendakian. Menuju Pos 1 dan base camp Desa Karangan. Kali ini trek semakin menggila, setelah didera hujan separuh siang. Licin, terjal dan akar tak beraturan. Aku tak ingin ceritakan detailingnya. POV-nya perjalanan ini indah. Bahkan di akhir cerita, di Pos 2 kami menghabiskan banyak waktu untuk mendokumentasikan kebersamaan, menyeduh kopi panas dan berenang di riam sungai.

 

Perjalanan hampir usai. Aku lebih dulu tiba di Pos 1 yang berada di tengah kebun kopi. Aku mengeluarkan hape endriot andreot android. Lalu merekam satu persatu mereka yang menyelesaikan pendakiannya. Ini kali ke dua aku merekam perjalanan ini, sebelumnya aku menggunakan kamera saat di puncak saja.

Saat pulang, aku ditanya seseorang,

“Mana foto-foto di sana?”.

Tidak ada.

“Katanya pecinta alam, kenapa tidak ada alam yang didokumentasikan?”.

Iya juga.

Entah, aku lebih tertarik dengan manusianya.

“Bukannya ga suka keramaian? mode introvert?”.

Benar.

 

Entah sulit mendefinisikan. Sepanjang perjalanan aku tak tertarik merekam dengan menggunakan alat bantu. Keindahan alam, varietas pepohonan, kabut tebal, embun di hutan lumut, dan begitu banyak landscape yang tak bisa dijelaskan. Aku lebih tertarik kepada perilaku manusia-manusia yang hadir di megahnya alam. Bagaimana Bang Nardi lebih memilih bermalam menggunakan flysheet dan berbungkus emergency blanket, Mbak Finda meminjamkan sleepingbagnya lalu beralaskan matras dan memakai mukena, Juandi yang memelankan langkahnya hanya untuk memastikan aku tak memilih jalur Nenemori ketika di persimpangan telaga, Dimas Setiawan yang selalu membackup pendaki lainnya hingga aman di tempat tujuan, atau Ucen yang menjadi pendakian pertamanya lalu bertekad untuk memperbaiki gaya hidupnya untuk bisa lebih sehat dan eksis di dunia pendakian. Aku juga tak akan bisa lupakan bagaimana gestur Elu saat akan berpamitan, begitu santun dan takzim mempertontonkan kerendahan hatinya.

Bersama Mas Obi (Haryo Bimo Suryaningprang), tentu begitu banyak quality time yang kami manfaatkan. Mendengarkan semua pencapaian, kehidupan keluarga, cita-cita, perjuangan. Aku mendengar banyak cerita tentang putri kecintaanya, meski aku lebih merekam nama Bilal yang sering diucapnya. Begitulah keindahan pendakian, studies show that spending time in a green spaces, like montane forest can significantly boost your mood. Aku sulit jelaskan alasannya.

 

Pendakian selesai, kembali menuju peradaban sesuai kepentingan. Kami berpisah untuk tetap terhubung sesudahnya. Ucen dan Finda memilih stay satu malam di Villa Karangan, Dimas dan Elu lebih awal menuju Enrekang dan Sinjai Selatan, aku dan Mas Obi melanjutkan ke Kota Makassar. Aku tidur sepanjang perjalanan. Baru terjaga ketika masuk Kabupaten Barru. Jalan poros dan lampu kota menyapa, mengajak hati melakukan recollecting thought dengan penuh kesadaran. Tentang sebait ayat pernah mengingatkan, “Sesungguhnya setelah kesukaran akan ada kemudahan”. Allah yang membawa ke titik saat ini. Allah juga yang akan memberi kekuatan untuk melaluinya hingga akhir.

 

 

Terima kasih kawan-kawan, we met as a friends, now we are brothers. Sampai jumpa di lain kesempatan.

 

 

 

1 komentar: