Rinjani, sebutan untuk gunung yang dipredikatkan sebagai
gunung tercantik di Indonesia, berada di pulau cantik Lombok, provinsi Nusa
Tenggara Barat. Kesanalah aku, Edgar Handoko (20,malang) dan Faris
(23,Banjarmasin) menujunya. Pendakian kali ini, tidak lagi bercerita tentang
apa yang kami saksikan dan yang mereka sebut sebagai keindahan paripurna,
tetapi pendakian ini kami maknai sebagai sebuah pertemanan lintas daerah yang
harus kami bina sehingga perjalanan ini bisa kami lalui dengan kesepakatan
bersama, dengan keceriaan bersama, dengan keselamatan hingga kembali ke daerah
masing-masing. pendakian ini bukan tentang siapa yang lebih dulu menggapai
puncak, bukan tentang siapa yang lebih kuat menahan berat, juga bukan tentang
siapa yang lebih dewasa dalam mengambil keputusan, tetapi, pendakian ini tentang
siapa yang lebih dulu menawarkan energi berlebih kepada yang membutuhkan,
tentang siapa yang lebih ringan mengulurkan tangan, dan tentang siapa yang
lebih mandiri untuk menjalankan kata sepakat dari sebuah keputusan.
19 April 2013, meeting point yang kami sepakati adalah
bandara internasional Juanda, Surabaya. Kita akan satu penerbangan menggunakan
pesawat udara Citilink jurusan Lombok Praya. Rencana, tinggal rencana, pesawat
Lion Air yang mengantarkan aku rute Tarakan – Surabaya reschedule, sehingga jadwal
kedatangan di Juanda bentrok dengan jadwal keberangkatan selanjutnya menuju
Lombok Praya. Pihak maskapai bertanggungjawab dengan mengganti tiket citilink
saya, dengan pesawat lain meski harus datang lebih akhir satu jam dari jadwal
yang telah kami buat.
Bandara Internasional Lombok, atau lebih disebut BIL.
Bandara baru yang megah, saya menemui dua sahabat pendaki yang telah lebih dulu
tiba. Ada beberapa opsi untuk menuju desa Sembalun Lawang, sebagai desa
terakhir untuk memulai pendakian menuju puncak Rinjani. Opsi regular adalah
dengan menggunakan Bus Damri rute Bandara menuju terminal Mandalika, kemudian
menggunakan minibus hingga sampai ke desa Sembalun. Atau langsung menggunakan
rental kendaraan sejenis APV atau Xenia, yang banyak dijumpai di Bandara
Internasional Lombok. Dengan kesepatakan bersama, kita memilih menggunakan
rentcar dengan tariff IDR 400k.
20 April 2013, pukul 5.30, kami tiba di Rinjani Information
Centre berada di desa Sembalun Lawang. Registrasi dan Donasi Kebersihan
sejumlah IDR 10k, kami lanjutkan dengan sarapan pagi hingga memesan nasi
bungkus untuk makan siang di perjalanan kelak. Dari desa Sembalun Lawang ke
batas pendakian, kami menggunakan jasa Ojek seharga IDR 15k, dengan badan jalan
yang tidak lebar dan kondisi jalan yang telah rusak berbatu, menggunakan jasa
Ojek menuju batas pendakian, cukup menghemat waktu dan tenaga. Pukul 08.00
pagi, kami berdoa, memulai pendakian ini, bersama, bersama dan harus terus bersama.
Pemandangan yang disajikan benar-benar membuat kami seperti
petualang yang sedang mencari sesuatu, entah apakah itu. Pagi yang cerah, matahari
menyinari savanna yang luas, terlihat desa Sembalun diantara bukit-bukit hijau
tak rindang, hingga lautan di sisi barat, kami berjalan beriringan, dengan
keril di bagian belakang, tak terlalu banyak cerita disela perjalanan kami,
hanya sesekali aku menengok ke belakang memastikan kerapatan jarak diantara
kami tak terlalu berjauhan. Hingga waktu makan siang tiba, kami beristirahat di
Pos III. Pukul 01.00 siang, kami lanjutkan perjalanan menuju Plawangan Sembalun
melalui apa yang mereka sebut sebagai Bukit Penderitaan.
Kepayahan melanda kami, stamina mulai menurun, jadwal tiba
di Plawangan Sembalun mundur dari yang kami buat, dan baru tiba ketika hari
telah gelap. Kami mendirikan tenda, mengambil air dan membuat makanan. Sumber
air bisa ditemukan di Pos II, Pos III dan di Plawangan Sembalun. Saat penghuni
tenda lain telah berisitrahat, kami bertiga masih menyibukan diri dengan
membuat makan malam. Aku berusaha menikmati. Hari pertama team sudah dihadapkan
dengan persoalan diluar perkiraan. Tenda yang dibawa meski bisa menampung kami
bertiga, tetapi ukurannya sudah tidak ideal, sehingga ketika tidur, harus
melipatkan kaki. Bahan bakar spirtus yang dibawa juga ternyata tidak mencukupi.
Begitupun jadwan summit yang seharusnya dini hari esoknya harus kami lakoni,
kami sepakati untuk ditunda dihari berikutnya untuk memulihkan stamina.
Plawangan Sembalun |
21 April 2013, Plawangan Sembalun tempat kami mendirikan
tenda tampak sepi. Memang banyak tenda yang berdiri di sisi tenda kami, tetapi,
penghuninya sedang berada di puncak. Hanya ada beberapa porter yang menjaga
logistic dan juga menyiapkan menu makan pagi. Aku berdiri melihat sekeliling, pagi
yang cerah, terlihat danau Segara Anak dari Plawangan Sembalun tempatku
berpijak, terlihat dinding puncak Anjani yang kokoh, tebing terjal diantara
lautan awan, hingga punggung-punggung bukit dengan sedikit pepohonan. Aku
menatap lama ke arah puncak. Seharusnya aku sudah berada di atas sana, tetapi sekali
lagi kalimat itu menghampiri, untuk membuyarkan egoismeku. Ini bukan tentang
siapa yang lebih dulu sampai ke puncak. Ini bukan tentang perlombaan seberapa
cepat engkau bisa taklukan perjalananmu. Ini bukan tentang cita-citamu. Ini
tentang kebersamaan. Ini tentang toleran. Ini tentang saling memahami, tentang
saling berbagi kebahagian, tentang komitmen, bahwa ada yang lebih utama dari
sebuah perjalanan, bahwa ada yang lebih berat dari sebuah target perjuangan, dan
ada yang lebih indah dari sebuah impian, dan itu adalah kesetiakawanan.
Kesetiakawan dalam sebuah pendakian adalah harga mati yang tak boleh kau tukar
dengan cita-cita tunggalmu seorang.
Satu hari penuh, kami hanya mengisi hari dengan berbagi
cerita satu sama lain. Duduk di atas bebetuan, membiarkan kaki menjuntai di
sisi jurang, dan menatap gumpalan awan di bawah sana. Yah, awan-awan itu berada
di bawah sana!.
21 April 2013, dini hari, pukul 02.30 kami bersiap untuk
melakukan summit attack. Suara angin
terdengar begitu kerasnya. Menerbangkan benda-benda yang tak terpasak dengan
erat. Kami, bertiga memulai pendakian ini. gelap, pekat dan angin yang bertiup
demikian kencangnya. Tekstur trek menuju puncak sesungguhnya tak terlalu
merepotkan. Tetapi angin yang menghantam dari sisi timur, membuatmu mencari perlindungan
diantara bebatuan. Tubuh bergetak menggigil kedinginan. Kabut tebal membuat
sinar lampu kepala tak berfungsi maksimal. Perlahan, sedikit demi sedikit kami
bergerak maju. Saling menguatkan, saling memberikan motivasi. Kondisi seperti
ini sebenarnya telah kuketahui dari beberapa referensi yang kubaca sebelum
pendakian, namun apa yang kami alami sungguh diluar perkiraan. Pukul 07.00
pagi, kami bertiga sampai di puncak. Tak banyak yang kami lakukan selain
mengabadikan setiap moment dan kesempatan. Langit terlihat sangat indah. Biru cerah, dan
kabutpun berlalu sementara. Sementara angina kencang, tetap saja bertiup
seperti sedang berlomba menuju suatu tempat.
Kami beristirahat di balik batu, tak jauh dari puncak
Anjani. Membiarkan tubuh yang kelelahan mengumpulkan kembali energinya. Tak
beberapa lama kamipun beranjak meninggalkan puncak dan perlahan menuruni trek
yang sama. perjalanan kali ini tentu dengan kondisi yang berbeda. Trek menurun,
yang memang tak membutuhkan tenaga seperti saat mendaki. Dan juga kondisi
psikis yang lebih enjoy karena telah mencapai puncak. Yang kami lakukan saat
itu adalah memperbanyak pengambilan gambar. Ini berbeda dengan dua hari
sebelumnya. Meski dari awal pendakian, gunung rinjani telah menawarkan begitu
banyak spot mengagumkan, tetapi, baru saat setelah kami berada di trek turunan
dari puncak ini, kami benar-benar menikmati keindahan yang sangat sayang untuk
kami lewatkan. Dari sisi timur, gumpalan awan kinton perlahan bersusun seperti
busa di dalam bak mandi. Sementara tebing di sisi barat seperti bukan tofografi
khas daerah tropis. Ada cekungan besar dengan air hijau di dasarnya, ada
punggungan hijau dengan sedikit warna warni tenda di sana, dan ada hamparan air
membiru ketika kau melempar jauh pandangmu. Aahh, rinjani, sungguh indahnya.
Sesampainya di Plawangan Sembalun, kami bergegas untuk
melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak. Cerita selanjutnya akan saya
tulis di lain kesempatan.
ooOoo
Thanks to mas Obi yang sudah banyak berikan panduan.
Edgar (kiri) Faris (kanan) |
Tulisan ini, saya dedikasikan untuk travelmate saya
kali ini : Mohon maaf yang sebesarnya, atas ketidaksempurnaan manajerial pendakian
kita. Bahan bakar yang kurang, tenda yang tidak maksimal, ngga jadi camping di pantai, ngga
sempat discuss ambil keputusan tentang sewa kendaraan saat di senaru, dan
hal-hal lainnya. Semoga di lain pendakian bisa bertemu kembali dan memperbaiki
segala kekurangannya. Salam.
Artikel Terkait
Wah,, keren mas,.. Pengen bgt naik ke Rinjani, tp blm kesampaian,.. :)
BalasHapusrinjani memang keren, silakan buat rencana perjalanannya dengan baik, dan buktikan bahwa gunung ini memang pantas dikunjungi.
Hapusterimakasih.
congrat mas iman...sicantik rinjani,mauuuu,tamboraaaaaaaaaa,mimpi.com
BalasHapusTerimaaksih Dilis
Hapuspingin buanget ku samperin si Anjani,
BalasHapustp sampai saat ini masih sebatas pingin.
but,kereenn banget mas iman...top markotop, congrat...
hehe makasih, ajak mas machegonya dong ke sana...
Hapuswahh udah duluan aja mas iman :o
BalasHapus*pura2 gak tau*
wah udah keduluan aja mas fitra
Hapus*pura2 di perahu
mantep banget
BalasHapus