Laman

Rabu, 04 September 2013

Danau Segara Anak, Gunung Rinjani


Bisa dibilang tak ada sesiapa di gunung ini, prediksi saya meleset. Gunung tercantik ini tak begitu ramai. Ini lanjutan ceritaku tentang pendakian gunung Rinjani, Lombok beberapa bulan silam yang baru bisa aku tuntaskan di kesempatan kali ini. Kami bertiga, berbeda asal dan juga karakter, tetapi kami punya satu impian yang sama, menggapai puncak Rinjani. Bersama!. Dan untuk itulah kami menunda waktu untuk summit sehari dari jadwal yang seharusnya. Buat kami, kebersamaan adalah keharusan, apapun yang kami hadapi di pendakian.


Memang ada beberapa pendaki lain ketika summit, tapi sepertinya kami tak menemukan mereka lagi ketika kami turun setelah dari puncak, mungkin mereka memutuskan untuk tak sampai ke puncak karena memang saat itu cuaca sedang tak bersahabat. Angin sangat kencang bertiup, membuat kami berjalan terhuyung dan kedinginan. Di atas puncak, hanya ada satu pendaki lokal dan satu pendaki bule. Begitupun ketika kami telah sampai di Plawangan Sembalun, hanya ada satu kelompok pendaki yang berasal dari desa kaki gunung Rinjani yang tentunya sudah hapal dengan trek dan kondisi gunung. Ada juga beberapa pendaki asal Malaysia yang memilih untuk turun gunung melalui jalur Sembalun.

Siang, kami membereskan tenda. Kabut menutupi plawangan saat itu. Kami bertiga bersiap untuk menuruni gunung menuju danau Segara Anak. Sempat kebingungan kemana trek yang harus kami pilih. Tetapi karena masih ada pendaki lokal, kami manfaatkan untuk bertanya. Yup, kami bertiga memang belum pernah mendaki gunung ini, tanpa guide dan porter, kami hanya mengandalkan peta yang ternyata tak bisa kami baca (wkwkwk).

Sepi, hening. Kami menuruni lereng curam berbatu. Beberapa saat kami bertemu rombongan pendaki lain yang sedang menuju plawangan sembalun. Dan itu menghilangkan kecemasan , kuatir jalur yang kami lalui bukanlah jalur yang benar. Kami berjalan pelan dan sepi. Dua sahabat pendaki saya kali ini ternyata cowok-cowok yang super cool, berbeda dengan teman pendaki yang biasanya saya ikuti yang super rempong dan emberrrr (seperti bu Anink, bu Fara, Om Rudy, bu Uni, bu Mayos, pak SSP, pak Andi Rahman, bu Indah wkwkwkwkw ibu2 dan bapak2 PKK itu kalo naik gunung rame, jadi kangennnnnn). Nah, kalo dua teman saya kali itu, orangnya kaleeemm, sedikit bicara, mungkin pengaruh ganteng kali yak (ganteng = kalem, ga ganteng = ember ??). sampai-sampai, saya mengaktifkan music mp3 di ponsel saya. Ini baru pertama kali saya menyetel music, soalnya hening bangetttt. Ane puter lagu-lagunya Iwan Fals, yang mereka tebak lagunya Panbers atau grup tahun jadul, lupa ane. Hadohhh, berbeda usia terasa juga yak masalah selera musiknya….hehehe.

Sepi, sepi, sepi…. Sepi dari kami sendiri begitupun sepinya pendaki. aku terus menikmati perjalanan karena memang sepanjang jalan view terhampar luas, kita berada di lereng dengan rerumputan dan beberapa pohon yang tak rindang. Terlihat ke bawah tebing indah yang tertutup kabut tipis. Dan sore hari, kami telah sampai di danau yang sangat indah. Danau Segara Anak. Rinjani !

Tampak beberapa tenda telah berdiri. Ada pendaki dari Sulawesi Selatan yang menawarkan untuk mendirikan tenda berdampingan, agar ramai katanya. Karena ada juga satu tenda pendaki asal Jakarta ikut bergabung. Di sisi lain berdiri tenda pendaki lokal yang sepertinya memang menuju danau ini untuk memancing. Tampak di sisi danau yang lain, beberapa tenda dari turis manca, dan ada juga tenda dari stasiun televisi swasta yang sedang melakukan aktivitas shooting.

Hari sebentar lagi gelap. Kami mendirikan tenda. Tenda kecil untuk bertiga (kesalahan manajemen pendakian kali ini *hmmm..maksudnya sih biar ga berat bawanya). Dua teman saya Faris dan Edgar mencari kayu bakar (karena persediaan spirtus kurang, kesalahan manajemen pendakian yang kedua *maaf teman-teman *sungkem), sementara saya pergi mencari air minum.

Indahnya Tempat Air Minum di Segara Anak

Kali ini saya buat sub judul yang berbeda, karena memang membuat saya terpana membahana saat melihatnya. Dua teman saya sedang mencari kayu bakar (ranting bakar lebih tepatnya), sementara saya membawa botol kosong untuk mencari air minum. Saat itu ada dua pendaki lokal yang hendak mengambil air, dan saya ikut dengan mereka. Katanya sih dekat, ternyata memang dekat (dekat di hati jauh di jarak maksudnya). Menuju air minum ini, saya melewati sungai jernih. Sungai ini adalah air danau yang meluap, dan membentuk sungai kecil yang mengalir deras, lengkap dengan ikan-ikannya yang tampak. Setelah itu, saya melewati rumput setinggi satu meter yang lebat. Tak berapa lama, terdengar suara riuh air. Air terjun? Yup, air terjun sodara-sodara. Air sungai tadi, menjadi air terjun yang alami dan indah. Air sungai yang menjadi air terjun, dan di bagian bawahnya terdapat juga sumber air panas. Komplit indahnya alam ini. ini Indonesia gan. Bukan Malaysia !

Lantas, dimana sumber air minumnya? Masih jalan lagi, masuk semak-semak. Dan akhirnya sumber air minum itu saya jumpai. Air minum gratis yang bersih dan sehat. Sama seperti sumber air di plawangan sembalun. Indahnya menikmati sajian alam.

***
Saya kembali ke tenda, hari semakin gelap. Ranting hanya dapat sedikit, karena memang tak banyak pohon di tempat itu.  Dan perjuangan menyalakan api untuk memasak dimulai. Hari mulai gelap, gerimis turun, Faris dan Edgar bergantian meniup tungku. Terlihat menyedihkan, mengenaskan dan juga mengesankan. Lucu, haha. Sampai memperihatinkannya kami dibantu oleh pendaki tetangga, dengan memberikan minyak tanah dan juga ikan segar. Tentang ikan juga punya cerita menggelikan. Kita sih, maksudnya memancing sendiri di danau, tapi ga dapat-dapat ikannya, wkwk.

Hari semakin gelap, tetangga sudah menyantap makan malam dengan lahap dan aroma yang keciuman sampai ke tenda kami. Gerimis tak juga berhenti. Api tentu semakin sulit dinyalakan. Akhirnya, kami memasak di dalam tenda dengan persediaan spirtus terakhir kalinya. Kami memasak nasi, lalu memasak ikan segar yang entah apa nama masakannya.

Sungguh, pendakian kali ini, punya cerita yang berkesan buat saya. Sangat.

Malam, kami menikmati indahnya danau dari cahaya bulan. Di dalam tenda, kami kembali beradu kaki dan suara tenggorokan. Untuk menyambut esok pagi yang tentunya berbeda dari bangun pagi yang biasanya kami lalui setiap harinya.

Pagi yang indah.
Danau yang indah.
Gunung yang indah.
Dan ada persahaban yang indah

Jadwal hari ini, kami berbegas untuk menuju plawangan Senaru. Berat rasanya untuk packing ulang. Saya menyarankan untuk pendaki yang ingin ke tempat ini, sebaiknya meluangkan waktu lebih lama di tempat ini. sungguh indah.

Ada beberapa waktu yang tersisa, sebelum pukul 10 pagi yang kami sepakati untuk beranjak dari sini. menikmati danau dengan airnya yang sangat alami. Aku bertanya pada pendaki lain, kemana jalur yang akan kami lalui nantinya untuk ke plawangan senaru. Pendaki asal Jakarta yang sudah berulang kali mendaki Rinjani menunjuk ke arah puncak plawangan. Aku mengiyakan saja, meski aku tak melihat jelas yang mana yang ia maksud. Kita hanya bermodalkan mengikuti jalur yang sudah ada, dan berharap ada pendaki lain yang melalui jalur tersebut.

Kami meninggalkan danau, jalan perlahan seakan berat meninggalkan indahnya tempat ini. kami menyempatkan sejenak ke air terjun untuk bernarsis ria. Lalu kami mulai mendaki kembali menuju plawangan Senaru. Dan inilah anehnya mendaki Rinjani. Sepengalaman saya mendaki, jika sudah dari puncak gunung, turun gunung yah turun saja, tetapi berbeda dengan Rinjani, setelah naik gunung melalui jalur Sembalun, kami turun gunung melalui jalur Senaru. Dari danau, kami kembali harus mendaki. Ya, mendaki. Siapa suruh naik gunung, capek kan ??

Kami berjalan perlahan, yang di depan menunggu yang di belakang sampai. Lalu berjalan lagi bersama, hingga yang belakang kembali tertinggal. Tetapi jarak tak sampai berjauhan. Lelah rasanya menggapai plawangan senaru. Tak ada tempat bertanya, seberapa lagikah perjalanan ini.

Hari telah siang. Kami tidak membawa bekal nasi, hanya ada beberapa roti, kurma, cokelat dan snack lainnya. Kami tiba di plawangan senaru. Plawangan semacam puncak dari lereng gunung. Dari plawangan kami memulai untuk menuruni gunung. Target kami harus sampai di desa senaru sebelum malam. Turun gunung kali ini lebih seru, kami berlari kencang seperti banci dikejar pol pepe (seperti atau memang??). Edgar, tak memakai sandal, dan juga ogah memakai sepatunya. Kami terus berlari di lereng gunung yang lapang dan hanya ditumbuhi rerumputan. Hingga ketika kami sampai di pos (lupa pos berapa), hujan turun dengan derasnya. Hujan tak juga berhenti. Kami memutuskan tetap lanjutkan perjalanan karena pertimbangan waktu. Kami mengeluarkan jas hujan dan memulai perjalanan. Kali ini, treknya adalah hutan lebat. Kami berjalan dengan hujan yang terus mengguyur. Hari semakin gelap, kami tak juga bertemu akhir jalur pendakian ini. kami mulai menyalakan headlamp. Terus berjalan, dengan hutan tropis yang sangat lebat. Ada beberapa sumber air di jalur ini.  Tak usah kuatir, karena papan petunjuk sumber air cukup informatif. Kami terus berjalan, hujan telah reda, tetapi hitam malam semakin pekat.

Sekitar pukul tujuh malam, kami telah sampai di batas pendakian. Kami telah sampai di desa Senaru. Desa senaru bukanlah desa yang ramai, juga tak seperti desa kaki gunung seperti umumnya desa di tanah jawa. Memasuki desa, yang kami temui hanyalah penginapan yang sepertinya bertarif mahal. Penginapan yang tak rapat antara satu dengan penginapan lainnya. Kami terus berjalan, setidaknya bisa bertemu warung makan. Tetapi, kami rasa cukup jauh berjalan, rasanya pemukiman penduduk belum juga kami temukan. Sekali lagi, kami hanya melalui beberapa penginapan, atau cottage yang dilengkapi dengan restaurant.

Hingga tiba di suatu penginapan, seorang pelayan penginapan menyapaku, dan menawarkan kamar hotel. Harga yang ditawarkan tak terlalu mahal dengan fasilitas kamar mandi dalam, dan ruang kamar yang luas. Penginapan juga terdapat restaurant, jadi tak perlu susah-susah mencari makan. Meski sebenarnya aku lebih berharap ada warung makan penduduk lokal.

Aku mengiyakan, tanpa persetujuan Edgar dan Faris terlebih dahulu. Aku memang berjalan lebih cepat dari mereka, karena aku ingin cepat-cepat mendapatkan tempat untuk kami beristirahat. Di lain cerita, ternyata Faris dan Edgar mendapat tawaran travel untuk ke Mataram atau ke kota. Dari awal kami memang meniatkan untuk bermalam di pantai Kuta, selatan pulau Lombok. Dari pantai Kuta, kami tinggal melanjutkan perjalanan esoknya ke bandara internasional Lombok. Sebenarnya, ide tersebut, aku juga yang memunculkannya, tetapi saat itu perhitungannya adalah, jika kita sampai di desa Senaru sebelum gelap, sehingga masih ada jeda waktu untuk istirahat. Tetapi, saat itu kondisinya, kita kemalaman sampai di desa Senaru, dan aku melihat kita sudah sangat kelelahan, sehingga aku langsung mengambil kamar penginapan saat itu juga. (maaf ya Faris, maaf ya Edgar, insyaAllah, kita bisa ketemu lagi di lain kesempatan, saya akan ajak kalian ke pantai bersama, mendirikan tenda di pasir yang bersih, menghitung bintang sambil tidur-tiduran di pasir pantai dan berenang pake celana dalam bersama xixixixi)

Kita check in, pesan nasi goreng dan teh manis. Rasanya, kami seperti baru kembali dari peradaban antah berantah, seperti baru melihat piring dan sendok garpu, seperti baru melihat seperti inilah layaknya makan untuk makhluk yang bernama manusia, (halah lebaynya kumat). Setelah makan malam (rapelan makan pagi dan siang), kami beristirahat di kamar yang bersih. Mulailah satu persatu mengeluarkan koyo cabe yang ditempel di telapak kaki wkwkwkwwk. Mari tidur saudara-saudara mudaku, mari kita latihan vocal dalam lelap tidur kita. zzZZzzzzrokkkkroookkkkkkrookkzzzz…

Pagi di Senaru, kami melanjutan perjalanan menuju Bandara. Cukup jauh ternyata, dari desa Senaru, kami menggunakan transport ojek untuk ke pangkalan minibus, setelah itu menuju kota Mataram, dari Mataram lanjut menggunakan Bus Damri. Siang hari, kami sampai di Bandara. Jadwal keberangkatan adalah sore hari, masih ada waktu beberapa menit. Edgar dan Faris menyempatkan untuk ke pasar seni desa Sade untuk membeli oleh-oleh, sementara aku bertugas menjaga keril di Bandara. Tak beberapa lama, mereka datang dengan membawa nasi bungkus kuliner khas pulau Lombok (senangnya dibawakan makanan…..). jadwal keberangkatan sudah tiba, Edgar berangkat terlebih dahulu, sementara aku dan Faris satu penerbangan menuju Surabaya. Sesampainya di Surabaya, Faris kedatangan teman dan aku tentu saja bertemu kembali dengan teman yang selalu kujumpai ketika singgah di kota pahlawan ini. rasanya, saya punya saudara banyak sekali dan tercecer di seluruh nusantara, saudara beda suku dan beda agama, inilah Indonesia…

Faris berangkat lebih dulu, sementara aku masih menunggu jadwal keberangkatan menuju kota Tarakan. Kita berpisah, untuk terus mengukir indahnya pertemanan lintas daerah ini. mungkin semua tak tertulis disini, mungkin semua tak tergambar disini, tetapi di ingatan kita, semua kenangan itu tak akan mungkin terlupa. Kita pernah berjalan bersama, lelah bersama, makan bersama, dan melihat indahnya negeri ini bersama pula. Selamat berpisah kawan, selamat berpisah saudara, semoga kita akan berjumpa pula. 

Air Terjun di Danau Segara Anak Rinjani

 
Trek Meninggalkan Danau

Lewat Sungai Ini untuk ke Air Terjun dan Sumber Air Minum

Semangat Memancing

 
Plawangan Senaru

Iman - Faris - Edgar di Danau Segara Anak

 ooOoo


8 komentar:

  1. smga saya bsa smpai disana jga..ngikut jejak mas imam..Aamiin..hehe

    BalasHapus
  2. wiw, keren beud....

    jgn lupa blogwalking ke http://travellingaddict.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. Wahh kalo ngedaki gunung Rinjani emang harus wajib ngecamp di tempat ini nih, keren banget bro!

    BalasHapus
  4. Pemandangan Danau Segara luar biasa,subhanallah bagus banget, pengen banget kesana.

    BalasHapus