Pertamax, wiskul Soto Betawi dengan stiker Samarinda Backpacker |
Kali ini penyanyi bis
kota itu tidak aku berikan receh, aku masih ingat benar wajah dan suaranya.
Penyanyi ini, adalah penyanyi yang sama ketika aku menumpang di bis kota menuju
Blok M Jakarta. Temanku tertawa kecil saja mengiyakan ceritaku saat aku bercerita
di dalam tenda pada pendakian sebuah gunung di Jawa Timur. Dua temanku itu,
memang berasal dari ibukota, mereka sesekali tertawa geli mendengar ceritaku
tentang kehidupan ibukota saat aku memampiri kota tersebut dalam backpackeranku selama tiga puluh hari di
awal tahun ini. Tigapuluh hari aku meninggalkan kediamanku di kalimantan untuk
mendaki gunung dan menuju beberapa spot keindahan yang ada di Pulau Sumatera
dan Pulau Jawa, dan diantara perjalanan itu, aku menyinggahi Kota Jakarta beberapa
kali untuk beristirahat dan menjalani kehidupan ‘normal’ untuk mempersiapkan
rute selanjutnya. Beruntung, aku telah mengenal seorang teman yang terhubung
dari komunitas backpacker regional samarinda, yang menyediakan kediamannya
selama aku berada di Jakarta.
Mas Fakh, -harus aku tulis namanya meski ia
sepertinya tidak suka- tetap berakitvitas kantoran seperti biasa selama aku
menumpang di kontrakannya di daerah Cilandak. Bukan aku saja, di situ juga ada
Therry, -yang juga dikenal dari komunitas yang sama- dengan aktivitasnya. Dari
awal, aku dijemput Therry di perempatan RS Fatmawati untuk selanjutnya menuju
kontrakan Mas Fakh. Untuk orang daerah sepertiku, berada di tengah riuhnya
ibukota, memang pengalaman tersendiri. Seperti halnya warga ibukota yang
terkadang lebay saat berkunjung ke daerah, mungkin begitu juga dengan orang
daerah yang sedang berada di ibukota. Tetapi, aku mungkin biasa-biasa saja.
Lihatlah orang kota saat sedang berada di
sebuah desa, mereka seperti aneh melihat ada seorang wanita tua sedang memikul
kayu atau rumput. Mereka seperti terkena api neraka ketika kulitnya tersengat
matahari saat berjalan di pematang sawah, mereka seperti baru melihat sebuah
mukjizat ketika ada seorang bapak tua yang telah renta masih bisa memanjat
pohon buah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, atau mereka seperti akan bertemu
kematian ketika harus mencoba masuk ke dalam pantai berlumpur untuk mencari
binatang laut sebagai lauk.
Begitupun sebaliknya, aku tidak
men-generalisir semua subjek menjadi suatu hal yang sama. Akan tetapi, memang
demikianlah yang tertangkap olehku. Sebagai orang daerah, aku belum terbiasa
dibentak-bentak kernet bis untuk segera turun sementara untuk berjalan saja
sangat sulit karena padatnya para penumpang dan juga para pedagang. Aku juga belum
terbiasa menyeberangi jalan raya yang tiada hentinya kendaraan berlalu lalang.
Dan aku juga belum terbiasa berjalan di bawah jemuran sepanjang jalan ketika
harus keluar kontrakan menuju keramaian mall ibukota. Tetapi itulah ibukota,
saat kau duduk manis di sebuah bis kota, penumpang di depanmu tanpa rasa
bersalah memberikan bagian belakangnya tepat di bagian wajahmu.
Kontrakan di Cilandak |
Mas Fakh, pulang kantor seperti biasa.
Kantornya tidak jauh dari kontrakannya. Cukup berjalan kaki, kami setiap
malamnya berkumpul bersama. Tidak ada trip malam saat kami berkumpul bersama.
Selain waktu yang memang tak banyak, kelelahan setelah bekerja juga menjadikan
alasan untuk sebaiknya kami bercengkerama saja di setiap malam.
Cilandak, adalah daerah kontrakan yang
padat. Rumah-rumah petak yang tak tertata dengan rapi ini, begitu banyak
manusia yang berdiam di sana. Aku cukup menikmati kehidupan ala Kota Jakarta
selama berada di sana, bukan kenapa-kenapa, daerah padat seperti itu, segala
kebutuhan dengan mudah aku temukan. Banyak sekali jajanan yang di jajakan di
daerah itu, mulai pagi hingga malam para pedagang tak henti-hentinya
berjualanan. Warung Kopi salah satu warung kecil yang unik untuk orang daerah
sepertiku. Warung yang menjual makanan mie instant bisa dengan mudah ditemukan di
pinggiran kota besar seperti Jakarta. Aku, merasa heran saja, mengapa bisa ada
yang berjualan mie instant, padahal untuk membuatnya aku kira siapa saja bisa.
Mengapa mereka tidak membeli saja lalu memasaknya di rumah masing-masing.
Saat pagi, ketika mas Fakh ke kantor, aku
menjalani kehidupan ala kota sedianya. Mencuci pakaian di laundry lalu berjalan
ke tempat pusat belanja yang bisa dijangkau dengan mudah. Ada hal yang
membingungkan dari kontrakan mas Fakh di Cilandak ini. Tempat ini memang bukan
tempat yang elite, tetapi berjalan kearah mana saja dari kontrakan ini, kita
akan menemui kemegehan kota dan terlupa kalau kita sebenarnya baru saja keluar
dari gang sempit diantara dinding-dinding rumah yang pengap.
Bersama Thery, yang juga belum begitu hapal
dengan ibukota, tetapi karena sudah lebih dahulu berada di kota itu, kami
berdua hanya bisa menuju Blok M setiap ingin berbelanja. Blok M begitu luasnya,
dua kali ke pasar itu dua kali juga kebingungan mencari pintu keluarnya.
Cukup berjalan kaki dari kontrakan, gedung tinggi tersaji |
Hari terakhir di Jakarta, mas Fakh ikut
serta untuk trip malam bersama. Kali ini pilihannya adalah bioskop di Blok M
Plaza di jam terakhir. Mas Fakh terlihat mengantuk, sementara aku lebih
terkonsentrasi melihat perilaku anak-anak kota di dalam bioskop.
Pagi di Cilandak, serasa dalam sinetron
suami-suami takut isteri. Suasana di rumah kontrakan yang padat, membuat
suasana pagi sangat ramai oleh rumpian para tetangga. Aku tentu saja mengisi
pagi dengan berbelanja makanan lagi seperti biasa, makan, makan dan makan lagi.
Sambil menunggu Thery yang belum juga bangun pagi meski mentari semakin
meninggi.
Kebersamaan selama di Jakarta memang
bukanlah waktu yang lama. Namun pertemuan dan kebersamaan dengan teman baru tak
akan butuh waktu yang singkat untuk bisa terlupa kenangannya. Jakarta, aku
mungkin hanya bisa sedikit mengenal kehidupan transportasinya. Bagaimana
mungkin, kota terbesar dari negara kepualauan ini belum memiliki sarana
transportasi yang memadai. Satu bis kota diisi oleh puluhan penumpangnya. Semua
bangku telah terisi, penumpang tetap saja memasuki bis dan hanya berdiri. Tidak
itu saja, selama masih ada ruang tersisa penumpang tetap saja memadat. Wajah
dan pundak terasa dekat, buah dada ikut terdesak, hijab muslimah seakan tak
lagi memiliki sekat.
Nun jauh di sana, masih juga berlabel
Indonesia, sarana transportasi memang tak semegah ibukota. Hanya beberapa
lembar papan yang dibentuk sedemikian sederhana, menampung beberapa manusia,
tetapi tak pernah sampai berdesak dan memaksa. Dengan sebilah kayu sebagai
pendorongnya, atau mesin kecil dengan kipas berputar pelan yang memicunya.
Perahu ketinting salah satu sarana transportasi antar desa yang biasa aku
gunakan, memang tak menampung banyak penumpang. Akan tetapi, duduk tenang
sambil menikmati keindahan pepohonan dan binatang bergelayutan setidaknya bisa
membuat rileks pikiran sebelum si penumpang tiba di tempat tujuan. Ya, rileks
pikiran sebelum tiba di tempat tujuan, ini mungkin yang belum diperhatikan para
penyedia sarana transportasi kepada para penumpangnya, sehingga aktivitas yang
akan dijalani delapan jam kemudiannya menjadi tak nyaman.
ooOoo
salam kenal dari Samarinda...
BalasHapus