Laman

Jumat, 18 April 2014

Meminjam Catatan Ilalang

Hanya atas Kasih-Nya
Hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari

Kepada rumpun ilalang
Kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba
Meminjam catatannya





Syair-syair lawas Ebit G. Ade, seakan terus mempertanyakan arti perjalanan yang saat itu aku tempuh. Di beberapa kesempatan, dalam sebuah moda perjalanan, tembang-tembang balada tersebut aku jadikan teman setia sambil menyusun rangkai narasi yang nantinya aku tuliskan. Dulu, aku tak terlalu tertarik dengan lagu-lagu penyanyi asal Banjarnegara tersebut, namun belakangan, kata demi kata yang ia nyanyikan, seakan menanti terjemahan yang tak akan pernah ada habis kata mengulasnya.


Dalam sebuah kereta, ketika para penumpang menghempaskan badannya melepaskan lelah, tembang ini kembali mengganggu ruang dengarku. Sesaat aku melempar pandang ke arah kaca jendela, tampaklah ilalang yang luas seakan menjadi bingkai perjalanan.


Dalam sebuah sampan, ketika para rombongan berlomba menangkap objek photo dari banyaknya satwa di Kerumutan, ketika para kuli hardisk berbincang dengan para nelayan, tembang ini seakan kembali mengusik saat di hadapanku terlihat sebangun rumah sederhana dengan pancaran matahari di belakangnya. Rumah dengan halaman air sungai yang jernih dan rumpun ilalang di sisi-sisinya.


Hingga dalam sebuah kesendirian di puncak gunung, aku selalu menatap ilalang seakan ia selalu ada dalam tiga puluh hari perjalanan kali ini.


Tetapi di satu kesempatan, si roda empat berwarna hitam ini, harus berhenti sejenak. Aku turun lalu menatap luasnya ilalang yang telah terbakar di tanah riau.


Ilalang, memang ‘hanya’ sebuah tananam. Jenis rerumputan yang berdaun tajam dan sering menjadi gulma bagi pertanian. Ilalang, tanaman khas negeri ini yang dengan mudah kau temui dan menjadi teman saat kau sendiri. Ilalang seakan mempertanyakan maksud kaki terus melangkah meninggalkan kampung halaman. Ilalang, juga terkadang memberikan jawaban dari apa yang kau cari selama di perjalanan.


Mana yang akan dijalani
Arah mana yang akan dituju
Pilihan salah, terkadang membawa kita ke arah yang benar
Pilihan yang  benar, bukan jalan menuju pengalaman
Saat dihadapkan pilihan
Pilih untuk menjalani

Narasi di atas, adalah kutipan dari sebuah iklan produk yang hanya ditayangkan di malam hari. Audio visualnya, mampu membuat aku memiliki alasan untuk terus memanggul ransel ini dan berjalan menemui setiap inchi negeri ini. Sesekali, kadang aku ingin hidup seribu tahun lamanya di negeri ini, lalu menemui keindahan serta kemajemukannya.


Bertemu dengan seorang Rosma, nenek bersahaja di dalam rumah apungnya. Bersua dengan para mahot yang merawat para satwa-satwa berbelalai dengan kasih sayangnya. Hingga berjumpa dengan beragam sahabat, teman baru hingga komunitas baru lalu berjalan bersama tanpa memperbincangkan warna kulit dan kepercayaan yang dianutnya.


Tiga puluh hari memang waktu yang singkat untuk mengumpulkan puing-puing makna kehidupan. Tetapi waktu nan singkat itu cukuplah sekadar mengingat romantisme perjalanan di dalamnya. Berada di dalam kendaraan bak terbuka saat menuju Kota Wonosobo, secangkir kopi untuk bersama di pendakian Sindoro, hanya berdua mendaki Lawu, sulitnya menemukan pintu keluar Blok M Square, hanya boleh menumpang tidur satu jam di teras satpam di keheningan malam Gunung Salak, atau membantu seorang nenek yang tak berani naik tangga escalator di Bandara Sepinggan Balikpapan.


Tentu sangat banyak lagi keramahan, dedikasi dari mereka yang biasanya keberatan saya tuliskan namanya di laman ini. Tak ingin riya katanya. Tetapi, hal inilah yang membuat aku  semakin sepakat bahwa negeri ini memiliki keindahan penduduknya terletak pada baik budinya.


Di lain kesempatan, menikmati gedung-gedung tinggi di sela-sela jemuran pakaian dalam, kebingungan seorang Lastri, ibu yang mendapat banyaknya ‘hadiah’ para caleg berupa sembako dan uang, menyusuri lekukan jalan menanjak Gunung Tangkuban, atau menikmati sate kelinci Tawangmangu dalam rintik hujan. Selain itu, cerita masa lalu, perjuangan hingga harapan terus membuncah dari seorang Dahlan, tokoh masyarakat Desa Dosan yang bertutur di antara ilalang.


Iya, ilalang, Pak Dahlan bercerita penuh semangat saat mengantarkan kami menuju sebuah danau yang menjadi oase bagi satwa karena hutannya telah berubah menjadi ladang perkebunan.


Ilalang, kembali menjadi bagian dalam bingkai perjalanan. Ilalang, mungkin buat kalian hanya sebagai ‘pemanis’ dari gersangnya lahan. Tetapi tahukah kalian, kalau sesungguhnya, ilalang sebenarnya bersuara dan bertasbih kepada Tuhan.


“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS: Israa’: 44).


Dari majalah sains terkenal, Journal of Plant Molecular Biologist, memberitakan bahwa kurang lebih tiga tahun para ilmuan, meneliti dan menemukan suara halus yang berasal dari beberapa tumbuhan. Suara halus ini, hanya bisa didengar oleh alat canggih bernama Osciloscope.


"Kebanyakan orang berasumsi bahwa tanaman menjalani hidup bukan pasif, kenyataannya mereka bergerak, punya rasa, dan berkomunikasi, hampir bisa disebut mereka punya sejenis kecerdasan," (Prof Ian Stewart – How to Grow a Planet 2012)


Ilalang, jika ia memang bersuara maka tak mustahil ia memiliki catatan. Catatan Ilalang, apakah ini yang dimaksud oleh seorang Ebit G. Ade? Jika benar demikian maka aku, tentu akan meminjam catatannya, membaca lalu menuliskannya.


Hanya atas Kasih-Nya
Hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang
Kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba
Meminjam catatannya



Ilalang, memang ‘hanya’ sebuah tananam. Jenis rerumputan yang berdaun tajam dan sering menjadi gulma bagi pertanian. Tetapi di balik itu, ilalang juga berikan andil buat seorang pejalan untuk terus menginstrospeksi diri, ke relung yang paling dalam, kemana langkah akan ia hentikan.


Ilalang. Apakah sang penyair hanya terhenti untuk mengajakmu meminjam catatannya? Bukan!, syair itu mengajarkan pesan moralnya, tentu saja pelajaran moral yang hanya engkau dapatkan dari sebuah perjalanan.


Bila masih mungkin, kita menorehkan bakti
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi



Ya, ini mungkin esensi utamanya. Meminjam catatan ilalang, untuk mengumpulkan bekal perjalanan yang abadi. Aku, tentu saja tak lepas dari ragam komentar dari mereka, bahwa aku mungkin sudah terlalu tua untuk terus menjelajah nusantara. Tetapi, setelah menemui begitu banyak pelajaran yang dapat aku petik dari sebuah perjalanan, rasanya aku masih terlalu muda untuk berhenti belajar dari setiap mata kuliah yang ditawarkan alam beserta kearifan lokal penduduknya.




ooOoo

6 komentar:

  1. melihat tulisan ini izinkanlah saya menganalisa dari sudut kalangan awam semoga berkenan :
    1. jenis tulisan diatas perpaduan deskripsi dan narasi. Dikatakan deskripsi karena berisi gambaran suatu perjalanan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan hal tersebut. Namun ada alinea yang termasuk jenis narasi yang dikenal senagai cerita misalnya pada kalimat "Narasi di atas, adalah kutipan dari sebuah iklan produk yang hanya ditayangkan di malam hari. Audio visualnya, mampu membuat aku memiliki alasan untuk terus memanggul ransel ini dan berjalan menemui setiap inchi negeri ini. Sesekali, kadang aku ingin hidup seribu tahun lamanya di negeri ini, lalu menemui keindahan serta kemajemukannya."
    2. majas utama yang digunakan adalah personifikasi yaitu majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati. dalam hal ini ditekankan pada sosok "ilalang" yang sebenarnya hanya berupa tanaman simpel namun sarat makna kehidupan yang seolah2 hidup dan bisa memainkan peran penting dalam dinamika konflik dari cerita.
    3. kata yang sering digunakan adalah tipe konotasi. seperti tulisan2 sampean sebelumnya kata konotasi menyumbang sebagian besar kontribusi dari keseluruhan isi tulisan, dan ini sudah menjadi ciri khas tulisan sampean. Dengan kiasan, tulisan sampean menjadi lebih kuat, mengandung banyak makna tersirat, sedikit ambigu dan banyak menciptakan imajinasi pembaca yang agak berat. Tapi justru ini yang menjadikan magnet & tulisan anda sangat berkarakter. salam *fakh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sekali mas Fakh, sudah membaca, dan mencoba memahami makna-makna tersirat dari setiap pemilihan kata yang saya pakai. Terima kasih sekali lagi sudah mengulasnya.

      Hapus