Laman

Minggu, 21 September 2014

Dua Lawu Satu Rasa

Dua memang bukan berarti satu, bukan berarti tak bisa tiga, delapan atau dua belas. Dua adalah angka dimana aku dan dia seperti satu, seperti tiga atau dua belas. 

Dua itu bilangan yang berjanji di depan altar nan suci, bilangan yang mendiami atala pertama kali, bilangan yang akan mempertahankan eksistensi. 

Dua itu adalah kami saat melangkah pelan dan tertatih, saat diam menikmati air langit membaca tasbih, saat dua iftirosy bergantian menyimpuh bumi. 

Kami hanya berdua saat menjenguk lawu. Meski berdua tapi kami hanya memiliki satu rasa. Meski tak ada orang ketiga tapi kami mampu memutuskan perbedaan menjadi sama. Meski hanya berdua pendakian ini sama serunya saat aku mendaki bersama delapan atau dua belas kepala.


 ***



Penerbangan ke Bandar Udara Sultan Kasim Riau ditutup dalam rentang waktu yang tidak ditentukan. Skedul perjalanan yang sudah disusun harus mengacu pada Plan-B. Aku sudah berada di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, segera aku menghubungi beberapa teman untuk mengajak mereka mendaki gunung. Di antara semua teman yang aku hubungi, Danang bersiap untuk menemaniku mendaki gunung yang berada tak jauh dari kediamannya di Sragen, Jawa Tengah. Gunung yang akan kami daki adalah Gunung Lawu yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Kami bertemu di Bandara Adi Soemarmo Solo. Separuh siang, kami memilih untuk berkeliling Kota Solo sebelum menuju gerbang pendakian. Beberapa lokasi yang kami singgahi antara lain Balai Kota, Keraton Surakarta, Pasar Klewer hingga warung soto ayam Gading Wetan.

 
Pasar Klewer - Solo

Besoknya, dari Losmen Djayakarta –seberang jalan Stasiun Balapan Solo- kami memulai perjalanan menuju Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar sebagai jalur pendakian. Ada tiga jalur pendakian untuk menuju puncak lawu, yaitu jalur Cemoro Sewu, Cemoro Kandang dan Serambang. Kebanyaknya pendaki memilih jalur Cemoro Sewu sebagai jalur mendaki dan memilih Cemoro Kandang sebagai jalur turun. Sementara Danang memilihkan aku jalur Cemoro Kandang sebagai jalur pendakian kami.


Ketika sampai di Pasar Wisata Tawangmangu, kami jeda beberapa saat. Di Pasar tradisional itu terdapat mesin ATM dan juga Toko SAYA yang menyediakan perlengkapan pendakian. Warung nasi juga mudah ditemukan di sepanjang jalan area pasar ini.

 
Toko 'Saya', Tawangmangu

Sepeda motor kami simpan di tempat penitipan motor yang berada di jalan antara gerbang pendakian Cemoro Sewu dengan Cemoro Kandang. Kedua jalur ini berdekatan. Jarak antara kedua gerbang pendakian adalah 200 meter. Cukup berjalan kaki saja, sambil menikmati keindahan kebun-kebun strawberry yang luas, membuat aku merasa betah berlama-lama di jalan ini. Di jalan inipun terdapat penginapan dan warung makan dengan menu Sate Kelinci.

Penginapan di Jalan Raya Cemoro Sewu

Kami memulai pendakian dengan melapor terlebih dahulu di Basecamp Cemoro Kandang. Di basecamp ini, terdapat beberapa plang pemberitahuan yang penting untuk dibaca sebelum mendaki. Berdoa kemudian memeriksa kembali perlengkapan kami lakukan agar tidak menemukan kendala serius saat pendakian.

Basecamp Cemoro Kandang Gunung Lawu


Basecamp Cemoro Kandang berada di ketinggian 1.830 mdpl. Untuk mencapai puncak kita akan melalui 5 shelter/pos, dimana di setiap shelter akan ditemukan Plang Petunjuk yang terbuat dari plat dan tiang besi. Di setiap shelter  juga terdapat pondok yang membantu pendaki untuk berteduh ketika hujan. Jarak lapang dari Basecamp hingga ke puncak sejauh delapan kilometer dengan waktu tempuh berkisar 8-9 jam perjalanan. Ruas jalur pendakian terbilang bersih dan jelas, dengan tekstur tanah yang keras dengan sedikit bebatuan di beberapa bagian. Meski mengetahui sumber air ada di Pos III, kami memilih menyiapkan stok air minum dengan membawa dari awal pendakian untuk dua hari ke depan.

Pos I Cemoro Kandang


Pos II Cemoro Kandang

Perjalanan kami saat mendaki kala itu ditemani hujan dengan intensitas rendah dan berkabut tipis. Sepanjang perjalanan seekor burung senantiasa terlihat mengikuti seakan menjadi penunjuk arah. Hingga di Pos IV jenis tanaman sepanjang jalur Cemoro Kandang didominasi Lamtoro dan Pinus, sementara ketika berada di Pos IV ke atas, medan terlihat terbuka dengan beberapa tanaman perdu.


Pos IV Cemoro Kandang

Gunung Lawu memiliki tiga puncak yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir itu adalah puncak tertinggi dan terdapat tugu triangulasi, sedangkan Hargo Dalem merupakan lokasi favorit kebanyakan pendaki karena di lokasi ini terdapat pondok penjual musiman. Pondok makanan yang melegenda di kalangan pendaki itu bernama “Warung Mbok Yem”, dengan menu khasnya yaitu Nasi Pecel. Nama Mbok Yem sangat melekat, dan sayang untuk tidak menjumpainya ketika berada di puncak gunung tertinggi ke-5 di Pulau Jawa ini.


Warung Mbok Yem Gunung Lawu

Besoknya, dari Hargo Dalem kami memulai untuk menuju puncak Gunung Lawu Hargo Dumilah. Tak banyak pendaki yang terlihat, cakrawala berwarna pekat mencoba melukiskan rasi tanpa sekat. Suhu udara terasa bersahabat, kabut tebal tak lagi mendekat. Berdua kami merangkak, perlahan menggapai puncak. Membiarkan kaki kapal di jalan tak beraspal. Terkadang sesal mencoba usik kalimat juang. Untuk apa mencari lelah di medan yang susah. Untuk apa mencari peluh jika hanya akan berkeluh. Untuk apa menggapai puncak tetapi masih berteman dengan congkak.


Puncak Gunung Lawu

Tigapuluh menit berjalan kami sudah sampai di puncak. Seperti biasa ada keharuan yang tiba-tiba melesat. Ada puji-pujian runtuhkan keangkuhan sesaat. Yang terlihat hanya sebuah mahakarya tanpa cacat, hanya kekerdilan yang selalu khilaf, hanya azzam yang semakin menguat.


Aku di puncak. Membiarkan mata mencari rasa. Bercengkerama tanpa aksara. Tanpa suara aku menyapa, “Kaifa haluk ya Jalak.”


Dua Lawu Satu Rasa

Mentari mulai meninggi, kami meninggalkan puncak dan kembali ke Hargo Dalem untuk selanjut berkemas lalu bersiap pulang. Jalur turun yang kami pilih saat itu adalah Jalur Cemoro Sewo. Di jalur ini badan jalan lebih rapi karena telah dibenamkan bebatuan hampir di keseluruhan. Perlahan kami menikmati perjalanan hingga mengantarkan kami di gerbang pendakian saat petang. Saat itu kami tidak langsung kembali ke Kota Solo, tetapi bermalam dulu di sebuah penginapan. Sekali lagi, aku menikmati pendakian untuk yang ke sekian kalinya. Selalu ada hikmah dan cerita indah yang terkenang di dalamnya. Dan berharap akan selalu ada ibrah di setiap kisahnya.


Iman Rabinata (kiri), Danang AY (kanan)

***

4 komentar:

  1. Cerita pendakian memang tak pernah membosankan. Lawu ini gak begitu jauh dari rumah, tapi belum sempat kudaki. Mungkin suatu saat nanti kalau lagi pulang kampung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mas Adie, wah senang sekali lapak ane dikunjungi penulis beneran.

      Hapus
  2. Lawu emang ngangenin ya bang

    BalasHapus
  3. Lawu emang ngangenin ya bang

    BalasHapus