Laman

Selasa, 28 Oktober 2014

Holiday is Lombok Sumbawa


Apakah saya menyesal, jera atau kapok untuk ke Pulau Lombok?



Jawabannya tentu saja, “Tidak!”.

Mengapa? Karena Holiday is Lombok Sumbawa





Holiday kini bukan hanya dominasi kaum seret travelbag atau jinjing hermes. Holiday juga bisa dinikmati kaum ransel yang disebut backpacker . Pulau Lombok dan Sumbawa tentu saja menjadi pilihan oleh dua kaum berbeda isi dompet tersebut. Ketenaran akan lucunya si nemo serta aroma adventure gunung tercantik membuat dua pulau ini selalu menjadi buah keyboard para travelwriter. Tentu saja bukan untuk menuliskannya secara deskriptif tetapi lebih ‘memprovokasi’ pembaca bahwa Pulau Lombok dan Sumbawa memang harus segera dikunjungi.

Keindahan pulau ternyata tidak dibarengi dengan cerita indah ketika berurusan dengan para penyedia jasa transportasi semisal ojeg dan supir travel. Kedatanganku pertama kali ke Pulau Lombok saat itu memang tidak menyisakan cerita kelam, justru asik. Dengan tema solo backpacker, aku menjamah pantai-pantai indah Pulau Lombok kala itu. Hingga pada saat perjalanan dari Kota Mataram menuju Pantai Kuta aku menyewa ojeg untuk mengantarkanku ke sana. Saat di tengah jalan dari kejauhan kami melihat ada pemeriksaan kelengkapan surat kendaraan bermotor. Si ojeg saat itu berhenti dan kebingungan. Ternyata si ojeg bukan hanya tak memiliki SIM tapi sepeda motornya pun tak dilengkapi STNK.

#berpikirjenius
#carijalantikus

Tak beberapa lama kami terdiam, datanglah sesosok malaikat bercangkul yang memberikan jalan lurus, jalan yang diridhoi. Kami disarankan untuk melewati jalan kecil pematang sawah untuk menghindari pemeriksaan itu tadi. Kami menurut saja melewati jalan setapak berbatu hingga akhirnya aku bisa menikmati pemandangan khas pedesaan Pulau Lombok yang eksotik tersebut. Hamparan sawah yang menguning, bangunan masjid yang megah serta jalan keluar desa yang tak juga berakhir ke jalan raya.

Si ojeg gerah, mulai panik karena tak hapal jalan.
Sedangkan aku menikmati keindahan desa yang memang di luar rencana. Sungguh benar kata orang bahwa tersesat itu indah.

#tersenyumlicik
#jepratjepret

Pantai Kuta Lombok (Dok Pribadi)


***

Kedatangan selanjutnya aku ke Pulau Lombok adalah untuk mendaki Gunung Rinjani pertengahan tahun 2013. Kami hanya bertiga saat itu, satu pendaki berasal dari Kota Malang, satu pendaki lagi berasal dari Kota Banjarmasin. Kami menyepakati memilih penerbangan yang sama dari Bandara Juanda agar bisa bersama-sama saat di Bandara Int’l Lombok (BIL). Apa lacur, ternyata jadwal penerbanganku dari Kota Tarakan menuju Kota Surabaya direschedule. Itu artinya aku akan menggunakan armada lain untuk melanjutkan perjalanan ke BIL. Itinerary yang seharusnya landing sore hari berubah menjadi malam hari. Nah, kejadian di bandara inilah yang menjadi inti ceritaku kali ini.

Saat aku tiba di BIL, dua temanku tersebut sudah menunggu di loby kedatangan penumpang. Jam sepuluh malam, ternyata sudah tidak ada jadwal Bus Damri menuju Kota Mataram. Kami memutuskan untuk menggembel saja di bandara yang sangat tampak bersih ini. Akan tetapi saat itu kami sudah dikerumuni para supir travel yang menawarkan jasanya.

Harga yang ditawarkan supir travel untuk rute BIL – Desa Sembalun (tujuan kami selanjutnya) adalah enam ratus ribu rupiah. Sebelumnya saya juga sempatkan berkonsultasi dengan teman-teman backpacker yang pernah menggunakan jasa tersebut dan mereka bilang bahwa angka itu terlalu besar, rate biasanya adalah di angka empat ratus ribu rupiah. Angka itu juga aku peroleh dari seorang backpacker lokal yang juga terhubung dari komunitas backpacker media sosial.

Kami menolak halus saat itu dengan alasan tak cukup dana dan berniat menggunakan Bus Damri besok paginya. Namun ada satu supir travel yang akhirnya menyepakati harga kami dengan syarat keberangkatannya hanya bisa pagi hari besoknya (pukul empat pagi). Kami mengiyakan, sepakat dan akan tetap bermalam di bandara lalu dijemput saja besok paginya.

Lalu si supir travel tersebut menawarkan kebaikan hatinya untuk memberikan tumpangan di rumahnya yang tak jauh dari bandara. Kami menolak khas orang Indonesia (tolak-tolak mupeng), hingga akhirnya luluh mengikuti ajakan si supir travel.

Kami memasukkan semua keril ke mobil lalu diantar ke sebuah rumah yang memang tak jauh dari bandara. Saat itu di desa tersebut sedang ada hajatan pernikahan, kami diajak untuk melihat hajatan tersebut setelah menyimpan semua keril kami di rumah sederhana si supir tadi. Sekitar jam sebelas malam kami kembali ke rumah untuk istirahat.

Saat di rumah supir travel kami dikenalkan dengan dua orang pria lagi di sana. Aku berpikir mereka adalah kerabatnya, karena komunikasi mereka menggunakan bahasa daerah setempat. Setelah itu si supir travel pamit dan berkata, “masnya diantar bapak itu besok pagi”.

Dipotoin Faris Yahya - Lokasi Segara Anak Rinjani

#husnuzon

Di dalam rumah ‘titipan’ itu kami berbincang dengan dua pria yang baru dikenalkan tadi. Pembicaraan awal didominasi tentang keindahan Gunung Rinjani dan hal-hal yang sebaiknya dihindari oleh pendaki. Mereka juga berbagi pengalaman seringnya mengantar para turis ke desa gerbang pendakian tersebut. Kami menikmati saja sebagai tambahan informasi yang berguna nantinya. Hingga beberapa lama, si pria tersebut mengatakan bahwa mereka yang akan mengantarkan kami ke desa tersebut besok pagi.

Pembicaraan selanjutnya membahas masalah harga yang harus kami bayar ke mereka.

Deg!.

Aku katakan bukannya sudah ada kesepakatan sebelumnya dengan pak supir yang kami temui di bandara tersebut, itu sebabnya mengapa kamipun mau diinapkan di rumah ini. Akan tetapi si pria tersebut menjelaskan bahwa ;  pertama, harga yang disepakati tersebut sangat rendah dan tidak ada supir yang akan mau mengantarkan kami di harga tersebut. Kedua, rumah ini bukan rumah si supir itu tadi. Ketiga, supir itu tadi juga belum pernah menuju Desa Sembalun sebagai tujuan kami jadi ia tidak tahu medan dan jarak ke sana. Keempat, kelima dan seterusnya si pria ini saling menimpali bahwa kami harus menambah dua ratus ribu rupiah lagi untuk sampai di sana.

#diam
#berpikirjernih
#salingtatap
#jatuhcinta
-Yang terakhir abaikan-

Terjadilah perdebatan saat itu. Saya yang memang dituakan di team kali ini berusaha untuk tetap bertahan di angka yang memang sudah disepakati dengan si supir bandara tadi. Berdebat, beradu argumentasi. Mereka terus menambahkan alasan lain seperti bahan bakar, medan yang rawan perampokan, kondisi jalan yang buruk bla bla bla dan seterusnya. Rasanya hampir lebih lima belas menit kami membahas harga tersebut, hingga akhirnya jalan tengah mereka tawarkan lagi.
“Begini saja, masnya kan 400 sedangkan harga sebenarnya 600, kita ambil tengah saja 500 ya”, tawar si pria tersebut.

Dua pendaki temanku kala ini hanya mengiyakan saja keputusanku. Hari sudah gelap, sudah terlanjur berada di rumah yang entah di desa manakah itu. Seratus ribu bukan angka yang sedikit buat kami. Ogah, kami tetap menolak. Dan akhirnya akupun angkat bicara.
“Pak kami ke sini bukan seperti turis-turis lainnya, bisa sampai sini pun kami dapatkan dari tiket promo. Berapapun yang Bapak minta, kami ga bisa penuhin karena uang kami memang mepet banget”. Jawabku meyakinkan.

#ngenesbanget

Hari semakin larut. Kesepakatan tak juga bermuara. Hingga akhirnya saya memberikan opsi untuk mengantarkan kami kembali saja ke bandara tempat awal kami bertemu si supir tadi. Kami akan menggunakan Bus Damri saja besoknya dari bandara.

Mereke melemah. Akhirnya mengiyakan untuk mengantarkan kami besoknya di harga awal. Empat ratus ribu rupiah.

#berhasil
#ketawasetan

Dipotoin Faris Yahya - Sunset Plawangan Sembalun

***

Cerita di atas adalah pengalamanku berada di Pulau Lombok yang harus berurusan pelik dengan jasa transportasi. Lain cerita kedatangan lain pula cerita kepulangannya. Saat itu kami sudah sampai di Terminal Mandalika setelah turun gunung melalui Desa Senaru. Seperti biasa kami disambut para tukang ojeg, panjaja t-shirt oleh-oleh hingga supir travel lagi. Kami terus berlalu menuju ruang tunggu. Beberapa orang menanyakan rute kami dan kami jawab ingin ke bandara dan menunggu Bus Damri. Mereka mengatakan bahwa Bus Damri tidak melewati rute terminal. Oleh karenanya kami harus menggunakan jasa mereka untuk menuju terminal khusus damri yang jaraknya jauh dari Terminal Mandalika. Kami tetap saja berjalan, sedangkan mereka terus menawarkan jasanya sambil terus mengatakan bahwa Bus Damri tidak akan ke terminal.
Cih, masa iya ada bus yang ngga masuk terminal”, gerutuku sendiri.

Aku terus berjalan mencari petugas berseragam. Dua temanku aku tinggalkan di ruang tunggu sedangkan aku berkeliling terminal mencari petugas. Tak tampak. Tak terlihat. Tak ada satupun petugas berseragam saat itu. Hingga akhirnya aku tiba di bangunan lain agak ke ujung bagian terminal. Aku masuk dan ruangan ber-AC tersebut. Di situ ada petugas berseragam. Segera saja aku tanya, apakah Bus Damri melewati rute terminal. Si petugas mengiyakan dan menyarankan kami untuk menunggu di ruangan tersebut.


***

Sebelum kedatangan kami di Terminal Mandalika dari Desa Senaru, ada juga cerita kelam lagi di guesthouse tempat kami menginap di Desa Senaru. Kami sampai di Desa Senaru pukul 20.00 wita. Kami putuskan untuk mencari penginapan dan melanjutkan perjalanan besoknya. Kami mendapatkan satu kamar untuk bertiga di harga seratus ribu rupiah.

#100/3
#sharecost

Paginya, sebelum melanjutkan perjalanan kami sempatkan ke basecamp pendakian terlebih dahulu untuk mencari merchandise. Backpacker beli oleh-oleh? . Nah, saat kami keluar guesthouse tersebut sudah ada tiga ojeg di halaman depan. Kami tersenyum saja melewati mereka dan terus berjalan menuju basecamp yang berjarak sekitar dua ratus meter dari guesthouse. Sesampainya di halaman basecamp kami dihampiri seorang ojeg yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami ke persimpangan pasar tempat ngetemnya minibus tujuan Terminal Mandalika. Harga yang ditawarkan saat itu adalah sepuluh ribu rupiah. Kami mengiyakan dan memesan untuk tiga orang.

Setelah dari basecamp kami kembali ke guesthouse untuk mengambil keril. Si ojeg yang ikut mengantar kami dari basecamp tadi menunggu di halaman depan. Ketika kami selesai berbenah dan bersiap untuk berangkat, kami tidak menemukan lagi tiga ojeg kami tadi. Kemudian tiga ojeg lain yang ada di halaman guesthouse yang memang sejak pagi sudah ada di situ menghampiri dan mengatakan bahwa merekalah yang akan mengantar kami.

Saat itu saya katakan bahwa saya sudah menggunakan ojeg lain, dan sudah ada kesepakatan (termasuk harga). Si ojeg (awal) mengatakan bahwa mereka sudah sejak pagi menunggu kami dan merekalah yang harus mengantarkan kami. Padahal diantara kami belum ada pembicaraan apapun. Terjadi sedikit perdebatan pagi itu, termasuk tentang harga yang mereka patok ternyata lebih mahal dari harga yang kami peroleh dari harga si ojeg sebelumnya.

Singkat cerita kami mengiyakan saja apa maunya si ojeg, termasuk harga yang mereka tetapkan. Kami menumpang di motor mereka, dan sepertinya mereka lupa bahwa dua benda besar yang mereka bawa saat itu salah satunya adalah benda bernyawa.

#dzikrullah

***

Fiuhh. Menjadi seorang pejalan memang akan berhadapan dengan oknum-oknum terminal yang membosankan. Entah itu di terminal bus, pesawat apalagi di terminal kapal laut. Pulau Lombok yang terus berbenah menarik minat kunjungan wisatawan sebaiknya tak menapikan bahwa wisatawan kelas ransel juga butuh perhatian. Memang jika menggunakan jasa guide dan travel tour, semua perjalanan akan aman dan nyaman. Akan tetapi sebaiknya pemda dan instansi terkait juga bisa mempertimbangan kehadiran wisatawan kere seperti kami bertiga (beserta kloningannya). Jenis wisatawan kelas regular ini lebih memilih transportasi umum karena lebih murah meski dengan konsekuensi akan bertemu para oknum terminal yang bisa merugikan dan membuat nama daerah wisata menjadi buruk.


***

Dari keseluruhan cerita saya di laman ini, apakah saya menyesal, jera atau kapok untuk ke Pulau Lombok?

Jawaban saya tentu saja, “Tidak!”.
Mengapa? Karena Holiday is Lombok Sumbawa

Spot di Danau Segara Anak - Photo by Faris Yahya

#salampariwisata

***

5 komentar:

  1. Salam kenal bang iman. Saya suka tulisan tulisanmu...kereeen

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. terima kasih niki.....

      @imanrabinata

      Hapus
  3. baca ini jadi merindukan pulau lombok.
    di update lagi dong mas blog nya hehe..

    dan mampir juga ya ke www.shu-travelographer.com salam ransel

    BalasHapus