Laman

Rabu, 21 Oktober 2015

Hap Hap Hap

Pendakian Gunung Slamet (Part 4)

 
Mas Rudy San beraksi sebelum mendaki

Kami tiba di gerbang pendakian, meminggirkan kendaraan di halaman basecamp. Masih pukul tiga dini hari. Kami beristirahat sejenak di dalam gedung basecamp. Bangunan ini seluas lapangan basketball, lantainya berkeramik dan bagian belakang terdapat toilet yang tak terurus. Aku mengambil matras dan sleepingbag. Masing-masing kami mencari tempat beristirahat hingga terdengarlah suara-suara tenggorokan bagaikan sebuah tangga nada yang rusak.

#Rrroookkkk…ngggroookkkk……

My Sleep My Adventure!


***
 
Suara muadzin kudengar, segera aku keluar mencari sumber suara. Beberapa surau terdekat masih gelap gulita, udara khas pegunungan terasa menusuk ke rusuk, aku menuruni perkampungan yang belum terjaga ini, berusaha menemukan surau (lengkap dengan kamar mandinya).

Ada beberapa surau atau masjid yang megah di sekitar basecamp, hanya saja sayang, tidak ada air wudhunya. Aku kembali ke basecamp mencari air mineral dan kembali lagi ke masjid untuk tunaikan dua rakaat penuh hikmat.


Apakah yang lebih indah kawan
Dari sebentuk sembahyang
Di situ engkau dengan bebas bercerita pada Tuhan


***

Mentari semakin meninggi. Satu persatu teman-temanku keluar dari ‘comfortzone’-nya. Tepat di depan basecamp ada warung makan Bu Kuat, di sisi kiri terhampar perkampungan indah dan di sisi kanan terlihat perkebunan di lereng gunung dan juga puncak megah yang akan kami tuju, Slamet.


Pagi itu sangat cerah, membuat kami semakin bersemangat. Kami berbenah, sarapan pagi dan menumpang ke kamar mandi di warung depan. Warga sekitarpun banyak yang berbelanja di warung itu, sehingga akhirnya kesempatan itu kami gunakan untuk beramah-tamah mengenalkan diri, hingga bertanya boleh tidaknya kami mendaki.


Pada gerbang pendakian memang terdapat banner permohonan maaf bahwa pendakian saat ini masih ditutup dikarenakan status gunung yang belum kondusif. Akan tetapi kami masih dibolehkan asalkan tetap berhati-hati dan tidak memaksakan diri untuk sampai ke puncak. Mereka juga mengatakan bahwa beberapa waktu sebelumnya juga terdapat pendaki yang mendaki gunung itu, hanya saja belum bisa dipublikasikan secara luas mengingat antusias pendakian di beberapa waktu ini kian menjadi tren atau gaya hidup. Kegempaan akibat aktivitas gunung juga sudah tidak lagi dirasakan warga, sehingga atas ijin restu merekalah kami mengucapkan terima kasih seraya meninggalkan kendaraan pada salah satu dari mereka.


Bismillah, kami berangkat.
Photo-photo dulu kita bray….

 
Dari kiri ; Bang Togi, Mas Rudy, Vicky

***

Ini pendakian perdana Vicky, ini pendakian yang ke sekian kalinya aku bersama Mas Rudy, ini (mungkin) pendakian pemanasan buat Mas Rudy yang setelah Cartenz, Aconcagua, bisa saja tiba-tiba Mas Rudy mengupdate statusnya dengan “kangen Indonesia” sambil memosting stik pendakiannya di gumpalan salju, dan ini adalah pendakian tersepi buat Bang Togi. Yak, Bang Togi memang berperawakan rame, ceria dan pencair suasana. Bang Togi setau aku memang dibesarkan di komunitas pendaki yang sangat kental kekerabatannya, sebut saja Narkopian ataupun Elkape. Dua komunitas ini biasa menggelar pendakian bagaikan Klan Bani Hasyim yang hijrah menuju Madinah pada tahun pertama Hijriah. Naik gunung kayak pindahan rumah (?)


#kangenElkape
#kangenNarkopian
#kangencewek2Elkape
#kangencowok2Narkopian


Untuk menuju puncak pendakian yang dimulai di pagi hari bisa ditargetkan mencapai puncak pada besok paginya. Lalu di hari ke dua sudah bisa kembali menuruni gunung hingga sampai kembali ke basecamp Desa Bambangan. Seperti biasa, kami menyiapkan diri dengan mencari literature atau referensi bacaan di blog-blog pendakian sebelum menuju suatu tempat. Seperti halnya Gunung Slamet, ada beberapa pos yang sudah aku baca yang akan kami lalui nantinya seperti Pos Payung, Pondok Lawang, Pondok Cemoro, Samaranthu, dan Puncak Slamet. Lokasi air juga sudah kami tandai sehingga dimana kami bisa mengkalkulasi seberapa banyak air yang harus kami bawa. Tak hanya itu, lokasi-lakosi yang dianggap angker tak luput juga dari konsumsi bacaanku kali ini. Yak, sisi mistis di gunung ini memang mendapat perhatian lebih dan itu kami buktikan hingga di akhir pendakian kali ini.


#siap-siap menjerit, kali ini ceritanya sedikit horror….


***


Naik-naik ke puncak gunung. Tinggi, tinggi sekali. Kiri kanan banyak kulihat tanaman Bawang Daun. Yah, ini yang membuatku rindu akan pendakian. Kebun-kebun luas yang berbaris rapi, tanaman tumbuh subur di tanah yang gembur, buah tomat yang ranum, kentang tersembunyi ataupun cabai merah yang melengkung menggantung. Sungguh indah kampung halamanku, seperti itu lagu-lagu bahagia seakan menjadi soundtrack tanpa suara kali ini.


Memanggul keril dan membiarkan mata memandang hijaunya perkebunan. Sesekali aku biarkan tangan mungilku menyentuh dedaunan yang begitu wangi aromanya. Daun si Bawang Daun, di tempatku satu ons nya seharga lima ribu rupiah, atau hanya dua batang kecil. Sedang untuk memasak sop tulang rusuk sapi, dibutuhkan setidaknya dua ons bawang daun atau sepuluh ribu rupiah. Sementara di kaki gunung ini, tanaman ini seperti makanan ternak sapi saja, begitu melimpah ruah.


#note : cowok modern harus tau harga kebutuhan sembako, supaya ga iya-iya aja dikadalin isterinya kelak. Model cowok beginian nih, bisa umroh setaun sekali karena hemat.



Kami mendaki, mendaki, mendaki. Masih ceria dan bahagia. Wajah Vicky masih seperti baru keluar dari salon kecantikan, kayak abis facial atau massage di sauna. Masih Fresh from the oven. Aku jadi ingat penampakkan wajahnya saat berada di puncak atau waktu pulang esoknya. Wajahnya tetap ceria, hanya saja sudah tampak usang bagaikan warga sipil Suriah yang melarikan diri hingga ke Tunisia.


Kami sampai di pos pertama. Ada bangunan shelter yang luas dan beratap. Kami beristirahat sambil melihat awan di bawah sana. Begitulah, di pos awal ini saja kami sudah bisa menyaksikan sebentuk kapas putih bergerak perlahan. Kembali kami menikmati lelah ini dengan seuntai kalimat syukur kepada Tuhan.


Tuhan
Makasih udah ngasih aku sepasang betis yang kuat
Akan kuceritakan pada anak cucuku kelak
Bahwa mereka memiliki seorang Kakek yang hebat


Istirahat dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian. Medan sebentuk hutan akan menjadi menu  perjalanan. Berempat kami terus memijakkan jejak. Sekali lagi, tak ada sesiapa di jalur pendakian ini, bahkan bekas pendakianpun tak terlihat sehingga cukup menyulitkan dalam menentukan arah saat ada di persimpangan.


Sudah tak ada lagi cerita yang mengundang tawa. Menghemat tenaga sepertinya. Hanya sesekali kami bersapa sambil menyembunyikan dengusan napas yang harusnya dilepas.


Hap. Hap. Hap. Capeknya mendaki gunung
Hap. Hap. Hap. Inilah yang dulunya kau tanya
Kapan kita kemana…


Lalu, kami tiba di satu pos lagi. Tidak tau pos apa itu namanya. Hanya tempat datar dan tanpa bangunan apapun di sana. Kami beristirahat, lalu membuka bungkusan untuk makan siang. Menunya, nasi, ayam goreng dan tentunya tempe mendoan. Enaknya…


Kami beristirahat cukup lama di tempat itu, bahkan disepakati untuk istirahat tidur siang dulu sejenak. Menggelar matras lalu menikmati kesejukkan udara dan suara gesekan dedaunan. Aku pun menggelar matras, mengambil sedikit air lalu mengusap wajah. Berdiri khidmat, bersaksi atasNya bahwa hanya Dialah Yang Maha Esa. Aku bersedekap, hingga tawarruk mengakhiri. Sepucuk doa tak lupa aku panjatkan. Semoga perjalanan kami senantiasa dalam perlindungan.


Hampir empat puluh menit kami beristirahat. Satu persatu terjaga. Terjaga karena semakin banyak jenis serangga bersayap datang  bertandang. Serangga yang suka dengan aroma busuk si bau badan, menjadi pengusir kami agar tak terlalu lama berdiam.


Kami mulai lagi memanggul
Hap.hap.hap. Capeknya mendaki gunung
Hap.hap.hap. Mau pulang kepalang tanggung


Hari belum sepenuhnya gelap. Masih terang maksudnya. Kami akhirnya sampai pada satu pos dengan bangungan shelter  yang bagus. Yihaa. Bahagianya di moment sepert itu. Sama bahagianya seperti menemukan kutu ayam di bagian leher si jengger.


Shelternya berukuran luas. Dari bahan seng, persegi empat dan beratap. Di bagian dalamnya ada papan tersusun seperti dipan. Kami memutuskan untuk mendirikan tenda di dalam shelter saja. Tak apa tidak dipasak, karena dinding shelter sudah cukup menjaga jika terjadi badai angin.


Aku dan Vicky mendirikan tenda, sementara Mas Rudy dan Bang Togi bertugas memasak. Tenda berdiri aku dan Vicky mencari sumber air. Mantap sekali tempat ini, tak perlu repot mencari tempat untuk berteduh, tak butuh waktu lama mendirikan tenda, dan butuh tenaga untuk mengambil air. Kembali, kami menemukan suatu situasi, menyadarkan kami kembali, bahwa gunung ini sungguh sepi. Sepi…..



***

Bahkan ketika kami telah kembali ke Basecamp Desa Bambangan, barulah kami tau tak ada sesiapa selain kami yang mendaki. Lantas siapakah mereka yang seakan-akan mendirikan tenda di jam dua? Suara siapakah yang begitu gaduh saat sebagian kami terjaga ? Siapakah mereka yang terlihat dari puncak? Dan siapakah menyisakan satu buah Bala-Bala?


Selanjutnya di Bagian 5



 ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar