Pendakian
Gunung Slamet (Part 4)
Kami tiba di
gerbang pendakian, meminggirkan kendaraan di halaman basecamp. Masih pukul tiga
dini hari. Kami beristirahat sejenak di dalam gedung basecamp. Bangunan ini
seluas lapangan basketball, lantainya berkeramik dan bagian belakang terdapat
toilet yang tak terurus. Aku mengambil matras dan sleepingbag. Masing-masing kami mencari tempat beristirahat hingga
terdengarlah suara-suara tenggorokan bagaikan sebuah tangga nada yang rusak.
#Rrroookkkk…ngggroookkkk……
My Sleep My
Adventure!
***
Suara muadzin kudengar, segera aku keluar
mencari sumber suara. Beberapa surau terdekat masih gelap gulita, udara khas
pegunungan terasa menusuk ke rusuk, aku menuruni perkampungan yang belum
terjaga ini, berusaha menemukan surau (lengkap dengan kamar mandinya).
Ada beberapa
surau atau masjid yang megah di sekitar basecamp, hanya saja sayang, tidak ada
air wudhunya. Aku kembali ke basecamp mencari air mineral dan kembali lagi ke
masjid untuk tunaikan dua rakaat penuh hikmat.
Apakah yang lebih
indah kawan
Dari sebentuk
sembahyang
Di situ engkau dengan
bebas bercerita pada Tuhan
***
Mentari
semakin meninggi. Satu persatu teman-temanku keluar dari ‘comfortzone’-nya. Tepat di depan basecamp ada warung makan Bu Kuat,
di sisi kiri terhampar perkampungan indah dan di sisi kanan terlihat perkebunan
di lereng gunung dan juga puncak megah yang akan kami tuju, Slamet.
Pagi itu
sangat cerah, membuat kami semakin bersemangat. Kami berbenah, sarapan pagi dan
menumpang ke kamar mandi di warung depan. Warga sekitarpun banyak yang
berbelanja di warung itu, sehingga akhirnya kesempatan itu kami gunakan untuk
beramah-tamah mengenalkan diri, hingga bertanya boleh tidaknya kami mendaki.
Pada gerbang
pendakian memang terdapat banner permohonan
maaf bahwa pendakian saat ini masih ditutup dikarenakan status gunung yang
belum kondusif. Akan tetapi kami masih dibolehkan asalkan tetap berhati-hati
dan tidak memaksakan diri untuk sampai ke puncak. Mereka juga mengatakan bahwa
beberapa waktu sebelumnya juga terdapat pendaki yang mendaki gunung itu, hanya
saja belum bisa dipublikasikan secara luas mengingat antusias pendakian di
beberapa waktu ini kian menjadi tren atau gaya hidup. Kegempaan akibat
aktivitas gunung juga sudah tidak lagi dirasakan warga, sehingga atas ijin
restu merekalah kami mengucapkan terima kasih seraya meninggalkan kendaraan
pada salah satu dari mereka.
Bismillah,
kami berangkat.
Photo-photo
dulu kita bray….
***
Ini pendakian
perdana Vicky, ini pendakian yang ke sekian kalinya aku bersama Mas Rudy, ini (mungkin)
pendakian pemanasan buat Mas Rudy yang setelah Cartenz, Aconcagua, bisa saja
tiba-tiba Mas Rudy mengupdate
statusnya dengan “kangen Indonesia” sambil memosting stik pendakiannya di
gumpalan salju, dan ini adalah pendakian tersepi buat Bang Togi. Yak, Bang Togi
memang berperawakan rame, ceria dan pencair suasana. Bang Togi setau aku memang
dibesarkan di komunitas pendaki yang sangat kental kekerabatannya, sebut saja
Narkopian ataupun Elkape. Dua komunitas ini biasa menggelar pendakian bagaikan
Klan Bani Hasyim yang hijrah menuju Madinah pada tahun pertama Hijriah. Naik
gunung kayak pindahan rumah (?)
#kangenElkape
#kangenNarkopian
#kangencewek2Elkape
#kangencowok2Narkopian
Untuk menuju
puncak pendakian yang dimulai di pagi hari bisa ditargetkan mencapai puncak
pada besok paginya. Lalu di hari ke dua sudah bisa kembali menuruni gunung
hingga sampai kembali ke basecamp Desa Bambangan. Seperti biasa, kami
menyiapkan diri dengan mencari literature
atau referensi bacaan di blog-blog pendakian sebelum menuju suatu tempat.
Seperti halnya Gunung Slamet, ada beberapa pos yang sudah aku baca yang akan
kami lalui nantinya seperti Pos Payung, Pondok Lawang, Pondok Cemoro,
Samaranthu, dan Puncak Slamet. Lokasi air juga sudah kami tandai sehingga
dimana kami bisa mengkalkulasi seberapa banyak air yang harus kami bawa. Tak
hanya itu, lokasi-lakosi yang dianggap angker tak luput juga dari konsumsi
bacaanku kali ini. Yak, sisi mistis di gunung ini memang mendapat perhatian
lebih dan itu kami buktikan hingga di akhir pendakian kali ini.
#siap-siap
menjerit, kali ini ceritanya sedikit horror….
***
Naik-naik ke
puncak gunung. Tinggi, tinggi sekali. Kiri kanan banyak kulihat tanaman Bawang
Daun. Yah, ini yang membuatku rindu akan pendakian. Kebun-kebun luas yang berbaris
rapi, tanaman tumbuh subur di tanah yang gembur, buah tomat yang ranum, kentang
tersembunyi ataupun cabai merah yang melengkung menggantung. Sungguh indah
kampung halamanku, seperti itu lagu-lagu bahagia seakan menjadi soundtrack tanpa suara kali ini.
Memanggul
keril dan membiarkan mata memandang hijaunya perkebunan. Sesekali aku biarkan
tangan mungilku menyentuh dedaunan yang begitu wangi aromanya. Daun si Bawang
Daun, di tempatku satu ons nya seharga lima ribu rupiah, atau hanya dua batang
kecil. Sedang untuk memasak sop tulang rusuk sapi, dibutuhkan setidaknya dua
ons bawang daun atau sepuluh ribu rupiah. Sementara di kaki gunung ini, tanaman
ini seperti makanan ternak sapi saja, begitu melimpah ruah.
#note : cowok
modern harus tau harga kebutuhan sembako, supaya ga iya-iya aja dikadalin
isterinya kelak. Model cowok beginian nih, bisa umroh setaun sekali karena
hemat.
Kami mendaki,
mendaki, mendaki. Masih ceria dan bahagia. Wajah Vicky masih seperti baru
keluar dari salon kecantikan, kayak abis facial
atau massage di sauna. Masih Fresh from the oven. Aku jadi ingat
penampakkan wajahnya saat berada di puncak atau waktu pulang esoknya. Wajahnya
tetap ceria, hanya saja sudah tampak usang bagaikan warga sipil Suriah yang
melarikan diri hingga ke Tunisia.
Kami sampai di
pos pertama. Ada bangunan shelter
yang luas dan beratap. Kami beristirahat sambil melihat awan di bawah sana.
Begitulah, di pos awal ini saja kami sudah bisa menyaksikan sebentuk kapas
putih bergerak perlahan. Kembali kami menikmati lelah ini dengan seuntai
kalimat syukur kepada Tuhan.
Tuhan
Makasih udah ngasih
aku sepasang betis yang kuat
Akan kuceritakan pada
anak cucuku kelak
Bahwa mereka memiliki
seorang Kakek yang hebat
Istirahat
dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian. Medan sebentuk hutan akan menjadi
menu perjalanan. Berempat kami terus
memijakkan jejak. Sekali lagi, tak ada sesiapa di jalur pendakian ini, bahkan
bekas pendakianpun tak terlihat sehingga cukup menyulitkan dalam menentukan
arah saat ada di persimpangan.
Sudah tak ada
lagi cerita yang mengundang tawa. Menghemat tenaga sepertinya. Hanya sesekali
kami bersapa sambil menyembunyikan dengusan napas yang harusnya dilepas.
Hap. Hap. Hap.
Capeknya mendaki gunung
Hap. Hap. Hap. Inilah
yang dulunya kau tanya
Kapan kita kemana…
Lalu, kami
tiba di satu pos lagi. Tidak tau pos apa itu namanya. Hanya tempat datar dan
tanpa bangunan apapun di sana. Kami beristirahat, lalu membuka bungkusan untuk
makan siang. Menunya, nasi, ayam goreng dan tentunya tempe mendoan. Enaknya…
Kami
beristirahat cukup lama di tempat itu, bahkan disepakati untuk istirahat tidur
siang dulu sejenak. Menggelar matras lalu menikmati kesejukkan udara dan suara
gesekan dedaunan. Aku pun menggelar matras, mengambil sedikit air lalu mengusap
wajah. Berdiri khidmat, bersaksi atasNya bahwa hanya Dialah Yang Maha Esa. Aku
bersedekap, hingga tawarruk
mengakhiri. Sepucuk doa tak lupa aku panjatkan. Semoga perjalanan kami
senantiasa dalam perlindungan.
Hampir empat
puluh menit kami beristirahat. Satu persatu terjaga. Terjaga karena semakin
banyak jenis serangga bersayap datang bertandang.
Serangga yang suka dengan aroma busuk si bau badan, menjadi pengusir kami agar
tak terlalu lama berdiam.
Kami mulai lagi
memanggul
Hap.hap.hap. Capeknya
mendaki gunung
Hap.hap.hap. Mau
pulang kepalang tanggung
Hari belum
sepenuhnya gelap. Masih terang maksudnya. Kami akhirnya sampai pada satu pos
dengan bangungan shelter yang bagus. Yihaa. Bahagianya di moment sepert itu. Sama bahagianya
seperti menemukan kutu ayam di bagian leher si jengger.
Shelternya berukuran luas. Dari bahan seng, persegi empat
dan beratap. Di bagian dalamnya ada papan tersusun seperti dipan. Kami
memutuskan untuk mendirikan tenda di dalam shelter
saja. Tak apa tidak dipasak, karena dinding shelter
sudah cukup menjaga jika terjadi badai angin.
Aku dan Vicky
mendirikan tenda, sementara Mas Rudy dan Bang Togi bertugas memasak. Tenda
berdiri aku dan Vicky mencari sumber air. Mantap sekali tempat ini, tak perlu
repot mencari tempat untuk berteduh, tak butuh waktu lama mendirikan tenda, dan
butuh tenaga untuk mengambil air. Kembali, kami menemukan suatu situasi,
menyadarkan kami kembali, bahwa gunung ini sungguh sepi. Sepi…..
***
Bahkan ketika
kami telah kembali ke Basecamp Desa Bambangan, barulah kami tau tak ada sesiapa
selain kami yang mendaki. Lantas siapakah mereka yang seakan-akan mendirikan
tenda di jam dua? Suara siapakah yang begitu gaduh saat sebagian kami terjaga ?
Siapakah mereka yang terlihat dari puncak? Dan siapakah menyisakan satu buah Bala-Bala?
Selanjutnya di
Bagian 5
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar