Aku berdua
dengannya. Berdiri tepat di tepi sungai yang tampak tenang membentang. Di
seberangnya masih terjaga hutan yang sesekali terlihat anak-anak kera bermain
di dahan lalu jatuh tercebur ke air sungai. Kabut tipis masih menutupi sebagian
daun meranti dan tengkawang. Sebagiannya lagi menutup telinga manusia yang
terbuai kelelahan berpesta pora satu malam.
Photo Pribadi | Lokasi Forestry Tarakan |
Hampir tak ada
manusia selain kami berdua saat itu. Temanku ini pun sesungguhnya belum tidur
hingga kami tunaikan shalat subuh berjamaah. Ia ceritakan, bahwa ia berada di
suatu pesta kecil-kecilan yang awalnya menu hanya berupa sebaskom bebek
rica-rica namun perlahan berubah menjadi hidangan beralkohol dengan beragam
persentase kandungannya. Mulai yang dikemas dalam kaleng hingga botol kaca.
Pesta yang hampir semua umat manusia kini menyambutnya, mereka rayakan dengan
menenggak minuman yang dilarang, terlarang, karena memabukkan. Mereka
‘menikmatinya’ , meminumnya meski kadang memuntahkannya kembali.
Aku hanya diam
bergeming. Ada rasa sedih, prihatin ataupun juga kemarahan yang tertanam. Pesta
yang sejatinya milik kaum tertentu kini menjadi agenda bersama. Malam yang
diklaim hanya untuk setahun sekali itupun tak ayal bercampur kemaksiatan secara
bersamaan. Malam yang seakan-akan anak gadis dibebaskan untuk beredar tanpa
batasan jam.
Tak hanya di
kota, di desa pedalaman seperti hunianku pun tak terlepas dari euphoria
gemerlap pesta manusia sejagad raya itu. Tak ada kembang api memang, tapi suara
mesin chainsaw menjadi tanda pergantian tahun saat dibunyikan secara bersamaan,
bersahutan dan menimbulkan bunyi-bunyian yang memekakkan.
Tahun telah
berganti, api unggun setinggi rumah dua lantai dikobarkan. Mereka saling
berucap selamat, tak jarang pula berdoa berjamaah.
Tak ada yang kupertentangkan akan hal itu. Siapalah aku yang berani beropini
tentang suatu keyakinan tertentu. Akan tetapi jika setelahnya adalah aktivitas
saling merugikan, saling melecehkan tentu saja akan membuatku terluka begitu
dalam. Malam dimana keperawanan terkadang menjadi sebuah taruhan.
Pesta mulai
usai, sebagian kembali ke peristirahatan. Tak tentu apakah dikasur sendiri
mereka merebahkan diri. Kelelahan. Kekenyangan. Seakan-akan tak pernah takut
jika ajal bisa saja datang. Tak jarang pula mereka mengisi jalanan yang memang
sepi karena di tepi hutan. Gas kopling ditarik bergantian, lengkap dengan
klakson yang dibunyikan meski tak ada sesuatu yang melintang di jalanan. Mereka
hilang kesadaran, parit yang dalam terlihat seperti sebuah tanah yang lapang,
hingga akhirnya mereka menghabiskan sisa pesta semalam dalam sebuah genangan
selokan.
Adzan subuh
dikumandangkan, tapi siapakah yang berani datang. Gendang telinga sudah menjadi
tempat air kencing anak-anak setan. Mereka terbuai, mereka lupa bahwa mereka
pernah bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah melainkan Tuhan. Andai saja
mereka merenungkan bahwa dua rakaat itu lebih baik dari dunia beserta isinya,
tentu saja mereka akan menggapainya meski dengan merangkak. Meski dengan
merangkak!.
Tetapi sudahlah,
kejadian itu setahun yang lalu. Kejadian yang bisa saja terulang kembali
beberapa hari lagi. Siapalah aku yang hanya bisa menumpahkan kegelisahan lewat
secarik tulisan. Seorang yang hanya bisa membenam harapan, lalu bermimpi jika saja satu
januari tak pernah datang.
ooOoo
Tulisan nya menyampaikan pesan yg begitu dalam...
BalasHapus