Entah wajar atau tidak,
banyak yang tak mengenalnya. Ada yang mengenalnya tapi tak tau siapa namanya.
Aku tak yakin mereka tak melihat rumahnya, melihat tapi enggan mencari tau
siapa penghuninya. Kabar kepergiannnya, berita duka meninggalnya, barulah
sebagian mereka mulai mengerti, ternyata mereka punyai tetangga yang terbaring
tak berdaya bertahun-tahun lamanya.
Rumahnya begitu sederhana.
Terlihat dari jalan, tapi tak begitu menarik perhatian. Rumah dari papan, tanpa
pewarna rumah pada umumnya. Rumah kecil tanpa teras. Halaman yang lebih serupa
dengan kebun ilalang. Ada beberapa pohon buah yang dibiarkan di pekarangan
membuat rumah itu seakan berada di tengah hutan.
Jika orang-orang tak pernah
melihat penghuni rumahnya ada di luaran, itu karena karena sepasang suami
isteri yang berusia lanjut tersebut sama-sama tak bisa berjalan. Ia hanya
terbaring dan berbicara, sementara isterinya masih bisa duduk tegak sambil
menemani suaminya. Untuk keperluan sehari-hari, anak perempuannya seorang yang
menemani.
Lelaki tua itu baru saja
berpulang. Wafat. Meninggal dunia.
Aku masih ingat benar
saat-saat ia bercerita jika aku sempatkan waktu ke rumahnya. Masa mudanya, masa
sehatnya, masa tuanya, hingga masa sakitnya. Aku hanya bergeming mencari
kesimpulan, jemputan ajallah yang menjadi penantian.
***
Ini bisa saja prosesi
kematian paling sederhana yang pernah aku hadiri. Sesederhana cara mereka yang
ditinggalkan menerima takdir yang diberikan. Tanpa isak tangis berlebihan,
tanpa raung ratap menyesakkan, bahkan tanpa kesibukan panitia menyiapkan menu
makanan. Semua terlihat sederhana, atau lebih tepatnya bersahaja. Mereka memang
tak punya apa-apa untuk disuguhkan, tapi justeru hal itulah yang membuat sebuah
kematian menjadi lebih mudah ditemukan nilai pelajaran. Bahwa semewah apapun
kita menyelenggarakan prosesi kematian, seunik apapun budaya lokal menyertakan,
atau sederas apa airmata menjadi tontonan, tetap saja sang jenazah hanya
berpulang dengan lembaran kain kafan.
***
Kabar meninggalnya aku
terima jam Sembilan malam. Aku dan beberapa teman mushola bergegas ke rumah
duka. Di tengah jalan menuju rumahnya, hujan menyerta. Tanpa penerang jalan,
kami berlari kecil. Rumahnya memang tak jauh. Terpisah anak sungai dan halaman
luas yang ditumbuhi rerumputan. Sesaat, kami sudah tiba di kediamannya. Tanpa
banyak sanak kerabat, terbujur diam kulihat ia yang telah diselimuti kain batik
panjang di tengah rumah.
Aku dan teman-teman mushola
membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Suara Keriang dan serangga-serangga
bersayap menjadi teman. Sesekali kudengar sang isteri tercinta bercerita. Saat-saat
terakhir sang suami pergi untuk selamanya.
Beberapa teman mulai
membicarakan prosesi pemakamannya. Dengan kesepakatan pihak keluarga,
teman-teman mushola dan masjid desa setempat akan mulai mengurusnya keesokan
paginya.
***
Keesokan pagi, warga dari
desa sudah berdatangan. Jenazah akan dimakamkan di dekat rumah. Sebagian
menyiapkan lubang kubur, sebagian membersihkan pekarangan yang begitu rimbun
tertutup rerumputan. Sebagian menyiapkan prosesi memandikan dan mengafani
jenazah. Sementara pelayat perempuan terlihat duduk berdampingan di halaman
rumah. Rumah yang mungil itu hanya bisa ditempati beberapa pengurus jenazah
saja, sementara pelayat berada di sekitaran rumah di pekarangannya.
Tak ada kesibukan
berlebihan. Lubang kubur telah siap. Jenazah dimandikan, dikafani lalu
dishalatkan. Hanya bisa dibuat dua shaft menghadap mayat. Rumah yang kecil itu
kami berkhidmat untuk terakhir kalinya ia shalat. Shalat atau dishalatkan.
Sebuah ritual identitas yang memang wajib ditunaikan. Kemanapun engkau
melangkah, tetap haribaan Tuhan yang akan jadi tujuan.
Jarak rumah dengan liang
lahat memang begitu dekat. Membuat prosesi pemakaman berlangsung singkat. Tanpa
isak, tanpa kamera. Tanpa tenda, tanda payung terbuka. Keranda diletakkan di
sisi lubang. Tiga pria bersiap menyambut di dalamnya. Sebujur bangkai kalau
kata bang rhoma, secepatnya jasad dipendam.
Kulihat kelopak matanya. Tak
begitu rapat tutupnya.
Kuperhatikan putih
rambutnya. Sebungkus kain putih menjadi penutupnya.
Kusambut ia dengan kedua
lengan. Kuantar ia dengan lantunan adzan.
Jenazah di dalam tanah. Lalu
beratapkan lembaran papan. Tanah lempung dicetak kotak. Kami sematkan sebagai
penyangga atau bantal. Tali kafan yang terikat kami lepaskan. Kami miringkan
menghadap arah kiblat. Sesekali aku rapikan kain yang bersamanya. Semoga damai
menyertainya.
Satu persatu tanah
dikembalikan. Kami memunggung agar tanah tak jatuh berdentuman. Sebuah cara
lokal yang baru saja aku temukan. Bukan tentang Sunnah apalagi bid’ah. Bukan
kapasitasku jika semua engkau tanyakan.
Tanah merah menutupinya. Aku
memadatkan sambil mengijak-injaknya. Hingga tiang nisan terpasang. Kamipun
keluar dari lubang. Tanah merah terus dirapikan. Hingga bergunduk lalu
dibentuk.
Doa dipanjatkan. Pidato
keluarga sekadar diucapkan. Terima kasih atas waktu, tenaga dan materi yang
diberikan. Mohon keikhlasan atas semua kekhilafan. Yang telah pergi akan
lanjutkan perjalanan. Bersama amal dan doa anak-anak shalih tersayang. Yang
belum pergi jadikan ini pelajaran. Tak ada siapapun yang bisa menghalang.
Apabila ajal sudah datang menagih perjanjian.
Semua berlalu. Ia hanya
mendengar bunyi terompah pengantarnya. Datang tiga kembali dua. Begitulah
filosopi kematian. Kematian diantar oleh tiga hal, keluarga (kerabat)nya,
hartanya, amalnya. Dua dari pengantar akan kembali, kecuali amalnya.
Satu persatu pelayat
berlalu. Tinggallah pusara di tengah rindang pepohonan. Aku menghampiri pusara
seraya berdoa.
Allahummaghfirlahuu,
AllahummaTsabbithuu
Allahummaghfirlahuu,
AllahummaTsabbithuu
Allahummaghfirlahuu,
AllahummaTsabbithuu
(Ya Allah, ampunilah dia)
(Ya Allah, berilah keteguhan padanya)
***
“Dan
bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa yang
diusahakannya” QS. An Najm 39
ooOoo
Artikel Terkait
Penuh makna ...
BalasHapusTerima kasih
BalasHapus