Pendakian
Gunung Slamet (Part 5)
Janji adalah
utang.
Kalimat ini
sering aku dengar. Tapi secara khusus
ditujukan ke aku adalah hal yang menohok, menikam dan menghujam. Kalimat itu
diucapkan kakak perempuanku untukku karena batal menghadiri pernihakan
puterinya beberapa waktu lalu. Sulit menjelaskan alasannya, selain menerima
saja kekecewaannya. Di hari yang sama, sahabat dekatku semasa SMA menghembuskan
napas terakhirnya setelah insiden lakalantas beberapa jam sebelumnya. Dan
akupun tak bisa menghadiri pemakamannya.
Seperti halnya hujan
Akupun basah berurai
Aku buka kembali
catatan blogku. Bukan di web, tapi di
win explorer. Karena maklum saja, net benar-benar limitted edition di sini. Dan tak ingin terulang lagi bahwa janji
adalah utang, maka aku berniat tuntaskan cerita Pendakian Gunung Slamet ini, right now.
***
Udah gelap. Aku
maghriban dulu.
Dua tenda yang
berdiri kami bangun di atas dipan. Dan peralatan masak diletakkan berserak di
bagian tengah bertanah gitu aja. Shelternya
luas. Meski dinding seng dan atapnya sudah banyak yang berlobang. Meski begitu,
inipun sudah yang paling mewah kalau buat tenda di gunung. Gak perlu buat tenda
dengan pasang pasak yang kuat dan merapikan peralatan lainnya.
Makan malam,
ngobrol bentar trus buat bala-bala.
Bala-bala itu
kayak perkedel, atau ote-ote atau tumpuk-tumpuk gitu. Udah instant, tinggal digoreng aja. Kalau mau tambahin sayuran segar
biar lebih bernutrisi. Udah bosan ngobrolnya, udah kenyang makannya, si
bala-bala tinggal tiga di teflon. Dibiarin aja gitu karena terasa safe buat ditinggalin. Kan di dalam shelter yang ada pintunya. Cuman
dirapikan sedikit aja, kami beranjak tidur.
Mas Rudy setenda
sama Vicky, aku setenda sama Bang Togi. Padahal aku maunya setenda sama Vicky
#eh, tapi ya udah. Barangkali Mas Rudy udah dipesenin sama ibunya Vicky buat
jagain anaknya dari pengaruh jahat. Makanya tidurnya dipisah.
Hahaha
#ketawa setan
Tidur lelap.
Bang Togi tetep
latian vocal.
Aku juga tanpa
sadar.
Alarm bunyi.
Kami satu persatu terjaga. Bersiap-siap buat summit ke Slamet. Catet ya gan, ini ritual paling aneh buatku.
Bayangin coba, udah jalan berhari-hari mulai dari Kalimantan, lewat sungai,
nyebrangin lautan, trus terbang sama Lion, trus nungguin bus, trus jalan darat
lagi ke Bandung, trus lanjut lagi ke Jawa Tengah, trus jalan kaki naik gunung
seharian, trus tidur. Harusnya enak kan tidur, tapi kami harus bangun lagi,
buat jalan lagi, nanjak. Dingin-dingin, gelap-gelap. Ngapain coba? Jangan
dicoba. Ketagihan nantinya.
Ya udah, abaikan
saja paragraf di atas, alay. Haha.
Then, bersiap
summit. Ga usah bawa banyak bekal. Seperlunya saja. Juga ga perlu bawa
bala-bala. What! Bala-bala siapa yang makan semalem?
Kenapa sisa
satu!
Aku menatap Mas
Rudy, Mas Rudy melihat Bang Togi, Bang Togi menggeleng lalu menoleh ke Vicky.
Bukan Vicky juga seraya kembali menatapku. Kali ini tatapannya bermuatan
negatif, seperti ingin mengungkapkan sesuatu tetapi tabu. Haghaghag, skip.
Tidak ada yang
bangun lebih awal buat makan si Bala-bala. Lantas siapa? Tak ada tanda-tanda
ada binatang masuk ke shelter ini. Juga tak ada pendaki lain yang nenda di pos
ini.
Aneh
Mulai parno.
Jadi pemirsah,
sebelum summit dan sambil menyiapkan perlengkapan kami. Mas Rudy dan Bang Togi
mengira sekitar jam 2 pagi itu ada beberapa pendaki lain yang nyampe. Karena
terdengar jelas suara pendaki yang rame lagi bangun tenda. Tapi karena hal yang
begituan pikir mereka biasa aja. Jadi dibiarin aja. Ntar juga besoknya ketemu.
Tapi pas udah bangun itu tidak ada tenda lain selain tenda kami saja.
#mengernyitkan
dahi
#buat parit
lintang di jidad
#horror
Ya udah, ayo
bersiap. Mas Rudy mengajak kami agar tidak terlalu membagi waktu untuk hal yang
tidak begitu bermafaat. Mungkin saja, pendaki lain yang hanya mampir sebentar
lalu lanjutkan perjalanan. Iya, benar juga pikirku. Si bala-bala juga nanti
saja dibahas kemana raibnya. Sekarang kami fokus saja untuk mendaki ke puncak.
Berempat. Bersahabat. Berkelebat. Berkabut pekat.
Mulai.
Seperti biasa,
kalau udah mau nyampe puncak gunung, dan gunungnya hingga di atas tiga ribu
meter gitu, tipe tumbuhan yang ada itu yak kecil-kecil. Tanaman perdu katanya,
juga jenis lumut. Makin nanjak lebih tinggi makin berasa dinginnya. Makin
terasa juga tiupan anginnya, karena makin terbuka medannya. Makin lebih tinggi
lagi, tekstur tanahnya akan berubah juga. Hingga tekstur tanah berbatuan
bercampur dengan pasir vulkanik. Diinjak merosot, kayak adonan sirtu kalau mau
buat rumah beton.
Kalau yang udah
biasa naik gunung udah cukup akrab dengan suasana di puncak gunung. Buat yang
membaca tulisan ini dan belum pernah naik gunung, suasana puncak itu gersang,
berbatuan, dan angin bertiup kencang. Tergantung juga tipe gunungnya seperti
apa, kalau gunung yang sedang saya ceritakan ini, Gunung Slamet yang berusan
saja ‘batuk-batuk’. Ketinggiannya juga di atas 3000 meter, jadi tipikalnya itu
saat akan ke puncak harus berjibaku dengan medan menanjak, berpasir dan berbatu
yang mudah longsor.
Satu hal yang
berbeda kali ini adalah kabut tebal dan angin kencang.
Bahkan untuk
melihat sunrise pun kada bisa cil ay. Jarak dari batas vegetasi
hingga top of a mountain, cukup terjal dan panjang. Melelahkan, namun tetap
bersemangat. Lucu juga kan naik gunung nanggung ga sampe puncak, jadi meskipun
lelah, walaupun badai tetap saja harus tegar menjalaninya. Sama kayak hidup ini
gan, meskipun lelah di PHPin, walaupun badai
memporakporandakan hati dan perasaanmu, tetap saja kamu harus tegar
menjalaninya. Seperti yang sudah aku lalui.
#hattsiiihhh
Finally, nyampek lah kami
berempat di puncak. Puncak Gunung Slamet.
Trus apa kalian
mengira kami akan berdiri dengan tegak gagah di atas sana. Kemudian membiarkan
lensa kamera mengabadikan jejak langkah kaki kami saat itu. Lantas berangkulan
lalu ngibar-ngibarin bendere gede begitu? Jika iya, artinya kamu keliru, kamu
salah, kamu hoax. #apasih
Jadi, pas udah
nyampe di puncak. Kami kebingungan. Mau ngapaian. Itu puncak yang lebarnya
sauprit trus anginnya sangat kencang. Berdiri saja sulit rasanya, kuatir ketiup
angin kencang lalu terbang hilang entah kemana. Ke hatimu yang tak pernah peka
sedikitpun akan pengorbananku. Malah ngelantur lagi. Jadi gini gan, saat itu di
puncak, benar-benar kencang anginnya. Hanya bisa berteduh dari bebetuan
setinggi udel agar benar-benar bisa bertahan. Angin kencang, kabut tebal. Dibold lagi dah kalimat ini. Angin
kencang, kabut tebal. Jadi suasana di puncak saat itu yak sekadar nyampe aja.
Nggak berlama-lama seperti puncak gunung sebelumnya. Buka kamera aja lensanya
langsung berair gitu. Jadinya mengabadikan momen puncak tak begitu banyak. Tapi
kami senang koq, aku terutama. Karena memang sudah tak lagi narsis seperti
dahulu kala.
#masa iya
#benar-benar
insaf ga narsis lagi
Jadi lah kami
berphoto tak bersama. Bergantian. Kawah ga keliatan. Awan-awan kinton ga
keliatan. Apa-apa ga keliatan. Hanya wajahmu saja yang tak pernah kuijabkabul
tak pernah pudar meski kabut bergelayutan.
Hah.
Aku mengambil waktu sejenak
Di puncak
Membiarkan letih ini bertarung
Bersama mimpi yang tak akan berujung
Bangunlah
Sesekali pijakkan kaki di tanah tertinggi
Bertekadlah
Untuk tak ada lelah dalam badai hidupmu
Bukankah sudah kau lewati keletihan ini wahai diri
Bukankah sudah kau geluti debu dan terjal ini
Lantas mengapa harus ada alasan dalam sebuah
pergulatan
Jadilah pemenang bukan pecundang
Menangislah untuk sesuatu yang mahal
Mengadulah saat mereka lelap di sepertiga malam
Gunung Slamet,
dengan ketinggian persis 3.428 mdpl berada di Provinsi Jawa Tengah, jalur
pendakian yang kami pilih adalah Jalur Bambangan, Desa Kutabawa, Karangreja,
Prubalingga. Kami menuntaskan perjalanan ini, tepat di waktu dhuha. Tak ada
pendaki lainnya selain kami saja, tak ada pesona cerah mentari pagi, dan tak
ada keriuhan menikmati semua ini. Kami hanya berkhidmat seraya berucap, terima
kasih Tuhan atas perkenanmu, hingga kami masih Engkau ijinkan mentadabburi
ayat-ayat kauniyahmu. Di sini, di salah satu puncak tertinggi di pulau ini.
***
InsyaAllah,
berlanjut di Pendakian Gunung Slamet (Part 6)
***
”Kayaknya kita
tadi lewat sana”.
“Itu tebing
Man”, jawab Bang Togi
“Iya kita musti
panjat tebingnya”, akupun mulai ragu
“Iya mas, Vicky
juga rasa kita harusnya lewat sana”, Vicky ikutan bersuara
“Sudahlah, kita
terobos aja hutan ini. Lurus dan sampe ke kampung bawah sana”, Bang Togi
berpendapat.
“Nerobos hutan
tanpa jalanan? Bisa dua hari baru nyampe bang. Tanpa logistik??”
Kami tersesat.
Tak menemukan jalan kembali
Hanya kabut
Dan perbedaan pendapat.
---selesai----
Buat Bala-bala |
Vicky dalam kabut |
Berpose di Puncak |
ooOoo
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar