Ikrimah,
Awan dan Kulit Kacang
Tak harus menjadi kacang untuk sekadar lupa pada
kulitnya. Tak harus juga menjadi musang untuk bisa berbulu domba. Kau memang
hitam, tapi bukan kambing. Jadi jangan menyalahkan sesiapa atas apa yang menimpamu,
apalagi masalalu.
Akui saja hidup ini pahit kawan. Jadi tak perlu juga
kau manis-maniskan wajahmu itu. Ikhlas bukanlah seni menipu diri. Yang harusnya
kau marah, tapi kau redam. Yang harusnya kau jengah, tapi kau sembunyikan.
Kapan kau angkat kembali ranselmu? Kapan kembali kau reguk kebebasanmu. Mengapa
harus membelenggu seakan kau tak punya tenaga. Jangan memelihara sesal dan
kecewa terlalu dalam. Dia hanya secuil drama yang dihentikan Tuhan tanpa harus
kau lemparkan kalimat tanya.
Harusnya engkau ingkari, bahwa seluas dan seindah
apapun lautan, nahkoda selalu mencari daratan. Engkau menantinya di ujung pelabuhan,
ia mendatangi selainmu di lain pulau. Engkau berdoa sampai menggila, selainmu
pun meminta sepenuh jiwa. Engkau mengiba, ia bermanja. Tanpa ia sengaja engkau
terluka. Tidak kah kau belajar ketegaran dari seorang simpanan. Ia bersabar. Ia
sendiri. Ia menanti, tanpa harus mengungkapkan jati diri. Satu hal yang harus
engkau sadari, bukan hanya nahkoda yang sering lupa daratan, tapi juga pekerja
swasta, buruh, guru, pengusaha ataupun tuna wisma. Siapa saja, termasuk aku,
engkau, biawak ataupun buaya muara.
Tak engkau makan, bunda telah tiada. Engkau makan,
ayahpun juga tiada. Bertanyalah pada buah simalakama, siapa lagi orang yang kau
cinta akan direnggutnya. Belajarlah dari seorang tua yang berjalan bersama anak
lelakinya dan seekor keledai. Sepanjang perjalanan, nasehat sudah berubah rasa.
Meski kau ubah, nyinyir tak akan berhenti. Jika engkau berhenti, mereka akan
tetap bernyanyi. Meski begitu percayalah pada satu hal, bahwa gonggongan anjing
hanya akan membuat kafilah terus berlalu, tapi tidak sampai mengganggu
tingginya awan.
Apakah engkau merasa setinggi awan, ataukah hanya
kulit kacang. Sadarilah, sebiru-birunya darah yang mengalir di putih kulitmu,
tetap merahnya tanah yang jadi peristirahatan terakhirmu.
Jika engkau menganggap kebaikanmu laksana rintik
hujan dari kebaikan sang awan, maka mengharap tetes air itu kembali adalah
kesalahan. Jika engkau merasa kekecewaanmu laksana serpihan kulit kacang yang
selalu dibuang, maka mengharap maaf darinya juga kekeliruan.
Berbuatlah tanpa berharap. Muhasabahlah tanpa harus
menyatakan sesal. Belajarlah dari Ikrimah, bagaimana ia menukar rasa hausnya
dengan napas terakhirnya.
Iman Rabinata, 2017
Luar biasa sahabat ...
BalasHapus