Laki-laki muda itu datang. Tubuh tinggi atletis, dengan
balutan jaket outdoor berwarna hijau ia
menghampiriku seraya menghempaskan keril besar di punggungnya. Saat itu memang
hanya ada tenda kami saja di tempat tinggi itu. Ia duduk kelelahan. Rambutnya
tak beraturan. Celananya berdebu. Kulit putih bersihnya sekarang ternoda. Tanpa
salam pembuka, ia meminta air minum dengan santainya.
“Sendiri saja?”, tanyaku seraya memberikan sebotol air
minum.
“Berdua mas”.
“Saya tinggalkan dia jauh di belakang”, ia melanjutkan.
“Bagaimana saya tidak kesal, kalau mau kegiatan outdoor begini harus punya tenaga!.
Kalau begini saya sendiri kan yang
kesusahan. Jalannya benar-benar lambat“.
“Akhirnya saya tinggalkan saja dia”.
“Harusnya kami sudah sampai beberapa jam lalu. Mendirikan
tenda, memasak dan bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Tapi, coba lihat
sekarang”, Ia terus melanjutkan gerutunya.
Aku diam saja membiarkan ia berkeluh kisah. Ia membiarkan
kedua kakinya berselonjor santai di tanah sambil melihat lekukkan danau yang
terlihat di kejauhan.
“Fisiknya lemah?”, tanyaku
“Fisiknya oke mas, staminanya yang lemah”, jawabnya
seakan mengoreksi kalimat tanyaku.
Kali ini ia mulai membuka isi kerilnya. Mengeluarkan frame dan tenda. Aku membantunya merakit
satu demi satu frame hingga terjalin
dan membentuk bulatan. Membangunnya, lalu merekatkan tenda di setiap ujungnya.
Tenda berdiri. Ukuran tenda itu sesungguhnya berkapasitas empat orang, tak
efisien buat mereka yang hanya berdua mendaki gunung ini.
Aku kembali ke tendaku setelah kulihat ia sudah bisa
memasuki tendanya dan membereskan perlengkapan mendakinya. Aku tak sendiri, di
tenda aku bersama Faris dan Edgar. Tenda kecil ini seakan dipaksakan untuk
menampung kami bertiga. Kami memang sangat indonesia, bertubuh rendah dan punya
senyum yang murah. Sehingga tenda yang idealnya hanya untuk dua orang, kami
jejalkan menjadi tiga. Kalau untuk leyeh-leyeh seperti di lobi hotel, tenda ini
memang bukan peruntukkannya. Tapi kalau untuk beristirahat tidur malam,
berjejalan di tenda ini lalu terbungkus dengan sleepingbag masing-masing, membuat suhu udara menjadi lebih hangat.
Ini adalah hari ketiga perjalanan kami menuju puncak
Gunung Rinjani. Malam pertama kami lewatkan di sebuah perkampungan penduduk di
sekitaran bandara. Malam kedua, kami telah lalui di tempat ini, Plawangan
Sembalun. Plawangan Sembalun adalah sebuah lokasi camping Gunung Rinjani sebelum menuju puncak. Berupa punggungan
luas yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja. Selebihnya, area ini hanya
ditumbuhi rerumputan dan bunga edelweis. Dari sini, terlihat jelas Danau Segara
Anak dengan anak gunung Baru Jari di tengahnya. Puncak gunung juga bisa
terlihat dari sini. Kabut tebal, barisan awan atau deru suara angin menjadi
bagian yang tak terpisahkan untuk menghabiskan sisa waktu di tempat ini.
Kawanan kera juga tanpa takut selalu berdatangan mencari sisa-sisa makanan
pendaki. Seharusnya kami hanya melewatkan separuh malam di tempat ini. Kemudian
melanjutkan perjalanan di puncak dini hari. Akan tetapi, karena kami masih
kelelahan, kami memutuskan untuk menambah waktu istirahat satu hari di tempat
ini. Jadinya, satu hari penuh kami lewati dengan menikmati kesunyian di tempat
ini. Keindahan, cerahnya langit hingga lembapnya udara terasa begitu pantas
untuk disyukuri dengan keberadaan kami yang nihil.
Menelusuri pagi di Sembalun bukanlah sebuah kemonotonan.
Sungguh, diantara hari yang telah terlewati dalam sebuah perjalanan, sehari di
Sembalun tanpa aktivitas menjadi semacam meditasi untuk memulihkan banyak hal.
Memulihkan tenanga, kepenatan hidup atau keringnya ‘tanaman’ rohani di dalam
diri. Pagi yang sangat cerah, namun tetap harus melipatkan kedua tangan saat
berdiam. Tak ada yang tak indah di tempat ini. Di ketinggian. Kita bebas
melihat kemana saja tanpa halangan. Awan beriringan, laut di kejauhan, hamparan
pemukiman, perbukitan, danau, puncak ketinggian, ataukah ilalang membentuk
hamparan.
Sesekali aku berdua dengan Faris, sesekali aku berdua
dengan Edgar, sekali waktu aku yang sendiri menjaga tenda dan membiarkan mereka
berdua yang menikmati segarnya udara. Menyiapkan makanan, mengambil air minum
dari celah bebatuan atau sekadar membereskan perlengakapan. Kami menikmati hari
ini dengan malas dan kesunyian.
Menjelang siang, beberapa pendaki yang telah berhasil
menuntaskan hasratnya menjejaki puncak kini berdatangan. Penuh suka cita,
mereka bersegera membereskan tenda untuk perjalanan berikutnya. Kami hanya
menyaksikan satu persatu orang datang kemudian pergi. Tak ubahnya kitapun
terkadang hadir di kehidupan orang lain lalu kemudian pergi menyisakan
kenangan. Kenangan pahit ataukah manis, kenangan indah ataukah musibah. Memang
sepenuhnya bukan kita yang menentukan bahwa setiap jejak yang tertinggal di
kehidupan orang lain bisa menimbulkan rasa suka atau duka, rasa rindu ataukah
cemburu, rasa ingin menjadi bagian dirinya atau sekadarnya. Memang sejujurnya
bukan kita yang menciptakan gurat-gurat perasaan itu di hati orang yang kita
sentuh, bukan kita yang mengukir sejarah indah ataukah kelam di dalam memori
orang yang kita curahkan senyuman, juga bukan kita yang secara sengaja membuat
ia terangkat tinggi ke awang-awang lalu terjatuh begitu saja ketika kita harus
segera melangkah pergi dari kehidupannya. Bukan, bukan kita. Tapi si empunya hatilah yang merasakan itu
semua secara sepihak. Membangun angan-angan, mengagumi diam-diam, merindu
dendam sendirian.
Menjelang sore, barulah sang pemuda penuh obsesi tersebut
datang menghempaskan kerilnya di dekat tendaku. Ia mendaki gunung tertinggi di
pulau ini lewat sebuah situs pertemanan media sosial. Tak saling kenal
sebelumnya, hanya mengikat janji untuk mendaki bersama. Namun, menurutnya kemampuan
partnernya tersebut diluar
ekspektasinya sehingga menyulitkannya untuk mewujudkan rencana atau
cita-citanya. Teman mendakinya tersebut dinilai terlalu lemah, berjalan lambat
dan tak punyai stamina yang bagus. Hingga sebuah tenda dome berdiri tak jauh dari tenda kami, datanglah beberapa orang
pendaki menghampiri.
Dari rombongan pendaki yang berdatangan, satu diantaranya
adalah teman si pendaki tadi. Ia akhirnya menjalani pendakian itu dengan
pendaki lokal lainnya. Kamipun sekadar mengenalkan diri sebagai sesama penyuka
hobi ketinggian. Pria yang juga tinggi semampai, tak terlihat lemah menurutku.
Iapun masih terlihat segar ketika sampai di Sembalun. Entahlah, aku tak mau
terlalu masuk ke dalam drama yang mereka ciptakan berdua. Berharap saja semoga mereka
bisa lebih solid dan melakoni rencana mereka dengan baik.
Dalam sebuah perjalanan, kekompakkan tim menjadi hal
paling primer. Idealnya paling tidak dalam satu tim minimal terdiri dari tiga
orang. Kemudian sepakat menunjuk satu diantaranya menjadi leader. Apapun yang terjadi dalam sebuah perjalanan, patuhlah pada
keputusan yang diambil. Ketua tim tentu harus mendapatkan tempat sebagai penentu
perbedaan. Ketua tim seyogyanya bisa bertindak penuh perhitungan dan bijak
mengambil keputusan. Ketua tim tidaklah harus yang paling tua ataupun
berpengalaman, tetapi yang siap atas resiko pilihannya tanpa harus sungkan
menerima masukkan dari semua anggotanya.
Tidak jarang dalam sebuah perjalanan, rencana yang
disusun sedemikian matang tak dilaksanakan atau dilaksanakan tak tepat waktu.
Bahkan parahnya bisa menjadi berantakkan. Disinilah peran ketua tim diperlukan.
Harus ada alternatif lain atau Plan B.
Tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Apalagi mendahulukan ego dan kepentingan
pribadi. Kami, sejatinya telah berbeda dari rencana yang telah kami buat. Hal
tersebut dikarenakan jadwal penerbangan yang delayed, hingga kondisi tubuh yang kelelahan. Namun hingga di hari
ketiga perjalanan kami, setidaknya masih dalam koridor rencana inti. Karena
kami memang telah menyiapkan satu hari tak terduga dari total perjalanan ini.
Pendaki tetangga yang menjadi bagian cerita kali inipun
sejatinya menjadi cerminan sebuah tim perjalanan yang belum matang. Mereka tak
saling kenal lalu memutuskan untuk melakukan aktivitas pendakian. Meski
sebetulnya tak terlalu masalah jika tak saling kenal, asalkan memang sudah
terbiasa dengan kegiatan alam. Hingga hanya butuh waktu sedikit saja untuk
saling menyesuaikan. Mereka hanya berdua untuk menjadi satu tim. Resikonya
tentu saja jika salah satu dari mereka yang sakit atau cidera, maka akan sulit
untuk menentukan apakah harus terus mendampingi ataukah meninggalkan untuk
mencari pertolongan. Ritme perjalanan, logistik dan perlengkapan. Bahkan style
pendakian pun sesungguhnya bisa menjadi faktor penentu kompak-tidakknya sebuah
tim perjalanan.
Aku hanya sejenak menyaksikan. Tenda tetangga dengan
romantika yang mereka ciptakan. Si pemuda berjaket outdoor hijau terlihat fasih berbincang dengan pendaki asal Luxembourg,
begitu bersemangat menceritakan pengalamannya selama berada di beberapa negara
eropa timur. Tak terlihat ia berbagi cerita dengan partner pendakinya yang aku ketahui berasal dari tanah jawa.
**
Puncak Rinjani. Kami menggapainya di keesokkan paginya.
Kami masih bertiga. Dengan semangat yang tak redup, kami menikmati semburat
jingga yang membingkai cakrawala. Meski tiupan angin begitu kencang, tak sampai
mengurungkan niat kami hingga ke tanah tertinggi ini. Bertiga, akhirnya kami
menuntaskan separuh perjalanan ini.
Tepat di puncak itu, kembali terlihat si pemuda yang
penuh obsesi itu. Sendiri. Iya masih sendiri. Dan lebih dulu tiba ketika kami
baru saja sampai. Dengan sedikit kalimat protesnya, ia katakan bahwa di
tempatnya berpijaklah tepatnya tanah tertinggi. Bukan di tempat kami berpose
mengabadikan sebuah pencapaian. Hanya beberapa senti sebetulnya jaraknya, namun
ia begitu idealis untuk menentukan sebuah pengakuan. Aku, hanya tersenyum kecil
dengan sentilannya. Memang benar, tetapi kami tak terlalu sesempurna itu dalam
sebuah identitas.
Puncak gunung tercantik di negeri ini benar-benar tak
ramai. Hanya ada beberap pendaki lokal, dan selebihnya pendaki dari negara
lain. Dari puncak ini, sungguh tak begitu nyaman untuk berlama-lama. Tak ada
tempat berlindung dari tiupan angin yang begitu kencang. Tak ada tempat
berpijak yang luas untuk melakukan aktivitas. Bahkan tak ada rasa aman jika
berlama-lama di tanah yang hanya bertemankan jurang yang dalam. Namun, mengapa
begitu banyak orang yang terobsesi untuk menggapai puncak. Meski jalan penuh
tanjakkan dengan resiko kejatuhan yang tak mudah. Meski harus menyiapkan tak
sedikit materi dan juga mental yang kuat. Atau meski harus meninggalkan orang
lain demi menggapai sebuah tujuan akhir, puncak. Puncak gunung, ataukah puncak
pencapaian kehidupan dunia seperti karir dan juga percintaan. Tak begitu
berbeda cara menempuhnya. Kadang bisa dilalui dengan kesendirian, namun bisa
juga dengan kebersamaan. Kadang ditempuh dengan rencana yang demikian matang,
namun bisa juga dengan tindakan yang begitu spontan. Apapun itu, ketika
berhasil mencapai puncak, puncak hanya memberikan sebuah sekelumit pengakuan.
Pengakuan bahwa engkau telah berada lebih tinggi dari selainmu. Saat itu. Dan
sementara itu. Puncak memang memberikan engkau sebuah cara pandang yang lebih
sempurna. Dimana engkau bisa memutar tiga ratus enam puluh derajat untuk
menyimpulkan sebuah pandangan. Puncak seakan memberikan engkau selembar ijazah
tentang kemampuanmu berada di sebuah tempat terhormat.
Namun demikian, ada baiknya menyadari sepenuh hati bahwa
puncak sejatinya tak begitu mengenakkan. Tentu saja engkau harus pergi karena
selainmupun akan datang dan ingin berada di tempat itu. Engkau tak mungkin
berlama-lama dan mengukuhkan bahwa selainmu tak boleh berada di tempat itu.
Engkau harusnya paham, bahwa puncak hanya bagian kecil dari panjangannya
perjalanan. Dimana keseluruhan perjalanan itu hanya lebih banyak diwarnai
dengan rasa lelah, pengorbanan, haus dahaga ataupun rasa dingin mencekam.
Bahkan setelah berada di puncak, hal pertama yang harus kita lewati adalah
waktunya menuruni jalan yang tak landai. Puncak hanya sebait tulisan dalam
sebuah kitab kehidupan. Tak akan kekal, tak akan abadi. Keindahannya hanya
karena imajinasi saat berada di tempat yang rendah dan menengadah.
Meski begitu, puncak pun tak selamanya mengerikan.
Sepanjang kita menyadari dengan kerendahan hati, puncak menjadi sebuah pembuktian.
Pembuktian yang memang harus terus ditadabburi agar tak terjatuh dalam kecongkakkan.
Berada di puncak memang secara naluri akan membuat euforia tersendiri. Rasa tak
percaya akan kemampuan diri sendiri. Rasa bangga bisa berada di tempat
tertinggi. Hingga rasa rindu andaikan rasa ini berbagi sama rata dengan yang
diingini. Puncak memang sulit dibahasakan, hanya segelintir orang saja yang
bisa menerjemahkannya ke dalam kehidupan nyata setelah kembali ke peradaban.
**
Kami menuruni puncak dengan tenang. Benar-benar sepi
jalur ini. Awalnya memang terlihat beberapa pendaki yang mencoba peruntungan
untuk menggapai puncak. Namun akhirnya mereka menunda pendakian karena cuaca
yang tak bersahabat. Mentari semakin meninggi. Plawangan tempat dimana tenda
kami berdiri terlihat dari sini. Awan putih terlihat berada di satu sisi
plawangan, seakan tak ingin menyatu karena terpisah tanah yang memanjang.
Hingga di bagian turunan yang sudah tak jauh lagi dengan
lokasi camping, terlihat sesosok pemuda yang tertidur di antara buliran debu
dan bebatuan. Bersendiri, pemuda itu di tengah jalan yang menyerupai parit yang
tak lebar. Di antara beberapa tumbuhan kecil, bersama kesunyian ia benar-benar
seperti tertidur atau mungkin pingsan di tempat yang tak seharusnya.
Kami mempercepat langkah. Berusaha untuk mencari jawaban.
Apakah ia sengaja beristirahat ataukah sedang alami cidera. Semakin mendekat,
semakin terasa bahwa ia sesungguhnya sedang kelelahan yang begitu berat. Kami
tiba di dekatnya. Ia masih tersadar ketika kami
membangunkannya. kami berikan ia sebotol air minum, lalu bertanya apa
yang sedang menimpanya. Ia katakan bahwa ia benar-benar kelelahan, entah kenapa
semua menjadi gelap. Ia tak bisa melihat. Ia tak bisa lagi meneruskan
perjalanan.
Kami diam sejenak untuk berikan pertolongan semampu yang
kami bisa. Pemuda itu ternyata pemuda yang berbalut jaket outdoor hijau yang terlihat begitu jumawa dengan ketangguhannya.
Pemuda yang hanya bersendiri menggapai puncak dengan kekuatan yang dibawanya.
Pemuda yang sejak kemarin begitu superior menceritakan pengalaman ataupun
staminanya. Pemuda itu kini terkapar tak berdaya. Sendiri. Di tengah jalan yang
tak layak disebut sebagai jalan karena medan yang begitu tak beraturan. Sendiri
di lereng gunung yang tinggi, dengan cuaca yang bisa saja mencelakakan dirinya
jika tak ada yang menemukannya.
Setelah meminum beberapa teguk air. Ia kami perhatikan
mulai bisa kembali duduk. Diam sejenak, lalu berusaha untuk bangkit. Awalnya
aku mengira ia hanya kehausan atau sangat keletihan, hingga kami biarkan saja
ia untuk mencoba kembali berdiri dan berjalan. Berjalan dengan pelan atau lebih
tepatnya seperti tertatih-tatih bak seorang renta di selasar panti. Ia
disorientasi jalan. Aku mengernyitkan kening. Ia tak menuju lajur yang
semestinya. Ia berjalan menuju turunan yang dalam, yang terjal, yang tentu saja
membahayakan. Ia seperti seorang balita yang harus diawasi ketika baru bisa
belajar berjalan.
Melihat caranya berjalan, kami sarankan agar ia berhenti
terlebih dahulu. Beristirahat lebih lama. Ia benar-benar tak bisa melanjutkan
perjalanan.
Ia kembali duduk tak beraturan. Kami hanya menemani
seraya memberika makanan kecil untuknya. Matahari semakin meninggi. Sungguh ini
diluar rencana dan bisa kembali mengganggu jadwal perjalanan kami selanjutnya.
Namun membantu sesama memang tak mungkin dijadwalkan kapan kita melakukannya.
Seperti saat itu, kami memang harus merelakan sejenak waktu perjalanan kami
untuk menemaninya.
Detik berganti detik. Aku menyarankan agar Faris
sebaiknya meneruskan perjalanan menuju lokasi camping. Aku dan Edgar yang akan menemani si pemuda ini hingga ia
bisa berjalan kembali. Faris menyetujuinya. Ia berlalu dan meneruskan
perjalanan. Opsi ini kami ambil agar bisa menyesuaikan rencana perjalanan yang
telah kami buat agar tidak terlalu meleset dari waktu yang kami atur
sebelumnya. Faris membereskan tenda, dan menyiapkan makanan. Sementara aku dan
Edgar masih di lereng tinggi ini berharap si pemuda segera pulih dan berjalan.
Menit meniti menit, si pemuda berbalut jaket outdoor hijau mulai bisa bangkit. Ia
berjalan perlahan. Sangat perlahan. Padahal jarak menuju lokasi camping Sembalun tak begitu jauh. Namun
dengan kondisinya seperti itu cukup menyita waktu perjalanan ini. Perlahan,
iapun terlihat semakin membaik. Hingga sampai di lokasi camping, kami antarkan ia di tenda dan teman mendakinya.
**
Kita tinggalkan kisah di pendaki yang berbalut jaket outdoor hijau di cerita ini. Ia akhirnya
melanjutkan perjalanan hingga di akhir batas pendakian. Aku, dan tim kecil ini
terus melanjutkan perjalanan hingga beberapa hari ke depan. Pertemuan itu tentu
saja menjadi pelajaran tersendiri dalam sebuah pergulatan pengalaman. Bahwa
sejatinya tak ada kekuatan yang tak mengenal kata lemah, tak ada sehat yang tak
bertemu dengan saatnya sakit, tak ada kedigdayaan yang tak bersanding dengan
keruntuhan. Superioritas, kadang harus berganti imperioritas. Tak selamanya
harus menjadi primus inter pares
dalam sebuah kemajemukkan. Ada kalanya kita yang membantu, ada juga saatnya
kita menjadi objek yang dibantu. Ada waktunya kita yang menjaga, namun bisa
juga kita yang dipelihara. Masa muda memang penuh ambisi dan obsesi, namun
kerendahan hati harus menjadi tuas agar tak selalu melesat terlalu laju.
Sekali lagi, selalu banyak hal yang diperoleh dalam
sebuah perjalanan. Mintalah selalu kepada Yang Maha Kuasa agar setiap detik
yang terlewati selalu ada ibrah yang
bisa dijadikan hikmah. Sehingga ketika suatu waktu kitapun berada di titik
nadir terendah, kita bisa melakukan perbaikan itu dari pengalaman-pengalaman
yang sudah terlewatkan.
Terima kasih sudah membaca tulisan ini, semoga bermanfaat
dan bisa berjumpa kembali di tulisan lainnya.
Wassallam.
Puncak hanya sebait tulisan dalam sebuah kitab kehidupan. Tak akan kekal, tak akan abadi. Keindahannya hanya karena imajinasi saat berada di tempat yang rendah dan menengadah....
BalasHapusSuka dengan quote ini, mengingatkan bahwa pencapaian tanpa kerendahan hati hanya akan menjungkalkan pelakunya ke jurang kepongahannya sendiri
Terima kasih gan...
Hapussemua baris kata memiliki makna mendalam. aku suka sekali tulisan seperti ini, sepanjang apapun pasti akan kubaca sampai kalimat terakhir.
BalasHapushalo kak iman, sudah lama tak bersua!
Halo juga mba Niken.
HapusTerima kasih banyak sudah membaca tulisan ini.
Masya Allah. Teruslah berpetualang, dan menulis. Ada banyak inspirasi dan pelajaran dari setiap tulisan mas imam
BalasHapusTerima kasih banyak mba irna
Hapuskemarin saya membaca kabar yang mungkin viral, 3 orang pendaki perempuan ditemukan menderita hipotermia di Bawakaraeng dan ditinggalkan oleh rombngannya yang laki2, teman macam apa mereka???
BalasHapushemmm...semoga saja berita begini ada kekeliruannya ya, perlu juga mendengar klarifikasi dari teman2 lainnya, apa benar mereka meninggalkan teman pendakiannya hingga hipo,kalau memang iya, semoga tidak terulang kembali.
Hapus