Empal Gentong
-Pendakian Gunung Ceremai III-
Berangkat
dari rest area. Perjalanan menuju
Kabupaten Cirebon dilanjutkan. Kali ini Bang Togi yang menyetir. Sepanjang
jalan kami bercerita, bernostalgia. Tiga tahun lalu, saat perjalanan dari
Bandung menuju Desa Bambangan, desa di kaki Gunung Slamet – Jawa Tengah, hanya
mas Rudy yang menyetir kendaraan, pergi pulang. Namun kali ini, Bang Togi sudah
bisa nyetir sendiri, bahkan beberapa waktu lalu sudah menjajal tanah Sumatera
hingga ke Sumatera Utara.
Jalan
tol, adalah jalan berbayar yang bebas hambatan. Jalannya mulus, ruasnya lebih
banyak dan tak ada orang yang menyebrang, apalagi hewan ternak. Di Kalimantan
belum ada jalan seperti itu. Saat ini jalan tol semakin giat pembangunannya di
tanah Jawa, rencananya memang rute Jakarta ke Surabaya sudah bisa melalui tol
tanpa henti. Bagus, dan keren. Kamipun rasakan itu manfaatnya. Hingga ke
Kabupaten Cirebon, kami hanya lewat tol. Jalanan lurus, pemandangan bagus di
kiri dan kanan jalan. Jalan tol inilah yang jadi bahan perdebatan netizen pendukung
pemerintah dan pengkritik pemerintah saat mudik lebaran kemarin. Dinamika,
demokrasi, aspirasi semoga bukan karena tak suka, iri apalagi benci.
Berbicara
tentang jalan tol, saya ingat pengalaman saat menjajal tol di Pulau Bali. Saat
akan mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali, dari arah Surabaya kita akan melihat
jembatan jalan tol yang membentang di laut dekat dengan Bandara. Terlihat indah
dan gagah. Teman perjalananku saat landing
bertanya penasaran, Aku menjelaskan lalu berjanji mengajaknya melalui jembatan
jalan tol itu. Maka jadilah kami bertiga, dengan dua motor rental mencoba masuk
jalan tol itu. Buat kami yang memang di daerah belum ada jalan tol, tentu saja
sedikit parno saat di pintu tol. Bagaimana tidak, kami tidak punya voucher
untuk masuk. Akhirnya aku pinjam dari pengendara lain, lalu mengganti dengan
uang tunai.
Begitupun
saat di persimpangan di tol, lucu saja kami salah jalan. Kembali lagi, mutar
lagi. Sempat berhenti di persimpangan, dan diklakson pengendara lain karena
kami menghambat perjalanan mereka. Norak, tapi memang begitu lah adanya. Aku
menyebutnya sebagai pengalaman.
Keren
saja, jika tol juga bisa dilalui sepeda motor. Begitu juga dengan jembatan Suramadu
yang juga disediakan lajur untuk roda dua, meski bukan tol.
Balik
lagi di perjalanan kami menuju Cirebon. Cirebon itu ada dua, yang satu
kotamadya, yang satu kabupaten. Kalau Kabupaten Cirebon itu kota kabupatennya
adalah Sumber. Tujuan kami adalah Sumber.
Tujuan
akhir sebetulnya adalah Argapura, kecamatan yang paling dekat dengan pintu
gerbang pendakian kami melalui jalur Apuy. Akan tetapi, karena bawa kendaraan
sendiri, jadi masih bisa mampir-mampir dulu. Di Sumber menemui teman dari Bang
Togi.
Saat
keluar tol, komunikasi intens
dilakukan untuk ketemuan dengan Budi, temannya Bang Togi. Janjiannya adalah di
rumah makan yang sering dikunjungi dan recommended.
Bertemulah kami di rumah makan Haji Tasiyah di jalan Ir. H. Juanda/Jalan Raya
Battembat No. 54 Plered – Cirebon. Menu yang disarankan adalah Empal Gentong. Menurut
cerita tetua, empal gentong ini asalnya dari Desa Battembat.
Sebetulnya
mau mampir ke rumah makan H. Apud, yang katanya lebih masyhur, tetapi sudah
tutup saat itu. Rumah makan Empal Gentong Hj. Tasiyah juga bagus, lantai
berkeramik, bersih. Ada musholanya juga dan kamar mandi bersih. Memang pas
kalau dari perjalanan istirahat sejenak di tempat makan. Tak beberapa lama
pesanan kami datang. Empal gentong. Aku kaget. Aku pikir empal gentong itu
camilan, aku pikir seperti empal, atau perkedel atau gorengan. Ternyata empal
itu makan besar. Seperti soto. Kaget, kaget gembira. Sangat pas, makan yang
panas-panas berkuah saat itu.
Jadi
empal itu ternyata artinya daging sapi yang direbus, kemudian dipukul-pukul
lalu digoreng, kemudian dimasukkan ke dalam gentong. Tragis sekali nasibnya.
Gentong itu tempat masak si empal yang terbuat dari tanah liat. Entahlah saya
tidak terlalu pandai mereview
kulineran. Yang pasti kudapan kali ini memang enak. Mirip-mirip Coto Makassar
mungkin, ada daging sapi plus jeroan dan berkuah dengan bumbu rempah yang kuat.
Selain empal gentong, ada juga empal asem, ceritanya si empal satunya akan kami
lahap setelah selesai pendakian, tetapi tidak sempat. Dapatnya si Ayam Geprek
Bensu saja waktu itu.
Kenyang,
kami melanjutkan ke rumah Budi. Melewati sedikit tanjakan, yang di situ banyak
monyet di jalan. Katanya di situ tempat orang-orang ziarah atau semacam tempat
ritual.
Kami
sampai di rumah Budi di Desa Matangaji, Kecamatan Sumber – Cirebon. Sekitar jam
11 malam. Saat itu listrik padam, sudah sunyi saja. Ada beberapa warga yang
masih nongkrong. Kami akhirnya menginap di rumah Budi. Aku mandi terlebih
dahulu kemudian tidur.
Sekitar
jam 2.30 pagi. Aku dibangunkan. Kata Bang Togi, kita berangkat sekarang karena
rombongan dari Bandung sudah sampai di desa terdekat gerbang pendakian. Aku
berberes sejenak, lalu pergi lagi membelah keheningan Kabupaten Cirebon.
Jalanan
yang lengang. Hanya kendaraan kami yang sepertinya yang melintas. Kendaraan
melaju kencang bebas hambatan. Terasa jalanan sudah menanjak tajam. Sisi
jalanan gelap tak terlihat, sepertinya hampar perkebunan. Sepi, hingga di satu
jalan di mana kiri kanan adalah hutan bambu yang rindang. Badan jalan tak lagi
lebar, harus berhati-hati. Dengan dibantu aplikasi map, kami mencari lokasi
tujuan. Kami mulai memasuki daerah Raja Galuh. Terlihat beberapa pondok yang
sudah ditinggal penjualnya. Ada tulisan Durian Raja Galuh, itu artinya di
daerah ini banyak durian. Hanya saja sayang, kami melintasi daerah ini sudah
larut dini hari.
Saat
subuh, kami sudah sampai di rumah Kang Didik, yang akan mengantar kami nantinya
ke gerbang pendakian. Jalur yang kami lalui saat itu adalah jalur Apuy, di Desa
Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka. Kang Didik, orangnya
sangat ramah dan murah senyum. Santun menurut saya. Di rumah Kang Didik lah
kami nantinya membereskan barang-barang pendakian. Di rumah Kang Didik sudah
ada teman-teman dari Bandung, yaitu Mas Rudy, Vicky, Dewi dan Asaka. Berenam
kami akan mendaki Gunung Ciremai dengan ketinggian 3.078 mdpl.
Selanjutnya
di cerita Pendakian Gunung Ceremai, insyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar