Laman

Jumat, 27 Juli 2018

CAWANG


Cawang
-Pendakian Gunung Ceremai II-

Hari ke-dua di Cileungsi. Aku berpamitan kepada tuan rumah. Seperti biasa, menit-menit terakhir aku masih saja merepotkan. Diantar sampai terminal bayangan. Jadwal yang tadinya akan ketemuan di jam 15.00, diubah menjadi satu jam lebih awal. Itu artinya sebelum Dzuhur aku sudah harus mulai menuju terminal. Terminal bayangan adalah istilah terminal kendaraan yang bukan resmi, di situ sudah ada elf, atau jenis minibus untuk rute tertentu. Terminal bayangan tempat ngetemnya elf  jurusan Cawang UKI di Cileungsi itu ada di pasar tradisional.  Pasar-pasarnya juga sebetulnya berada di bawah jembatan tol –sepertinya-, maklum aku masih sulit membedakan mana yang mereka sebut dengan underpass, fly over, atau jembatan layang. Yang aku tau, dimana ada jembatan disitu ada air sungai yang mengalir. Begitulah yang ada di tempatku.


Kami sampai di terminal bayangan. Aku sempatkan membeli beberapa buah sebagai bekal. Kemudian pamit kepada sahabat yang telah mengantarkanku sampai di tempat itu. Kami berpisah, dan aku kemudian menuju kendaraan elf yang sedang menunggu penuhnya penumpang.


Cuaca panas saat siang itu. Aku yang sudah masuk di elf, kemudian keluar kembali untuk membeli sebotol air mineral. Suara klakson, asap knalpot, teriakan penjual tisu, atau kosrek-kosrek suara musik dari penyanyi jalanan. Satu persatu penumpang berdatangan. Dua remaja puteri, duduk di dekat pintu, satu pekerja kantoran, tiga ibu-ibu rumahan, dan sepasang muda mudi mengenakan kaos putih seragam seolah memaklumatkan kami ini sepasang, jadi bajunyapun pasangan. Aku, tepat di sudut belakang, berdampingan dengan ibu paruh baya perantauan dari tanah Medan.


Elf itu jenis kendaraan umum jarak menengah –mungkin-, karena kalau jaraknya jauh, transportasinya jenis bus, sementara kalau jarak dekat pakai angkot. Si elf ini (atau di lidah orang Indonesia dibaca elep), sepertinya jarak menengah. Di dalamnya seperti angkot, duduknya berhadap-hadapan. Lebih besar dari angkot, dan lebih kecil dari bus. Elf yang aku tumpangi kemarin itu tanpa AC, atau mungkin semua elf tidak ber-AC. Kenapa jadi membahas elf, karena di tempatku tidak ada transportasi umum jenis ini. Adanya juga ketinting, dongpeng, speedboat, kapal motor, tugboat, atau tongkang. Buat kalian yang jauh dari perairan sungai dan laut, juga tentu asing dengan jenis kendaraan tadi. Akan tetapi memang begitulah yang ada di negeri kita, negeri kepulauan, banyak ragamnya.


Ongkos yang harus dibayarkan adalah delapan ribu rupiah. Ibu yang berada disebelahku menagih. Katanya biar lebih mudah nantinya kalau sudah sampai. Tinggal keluar angkutan saja, lalu pergi. Tidak lagi berurusan dengan uang kembalian atau antre membayar. Pikirku, bagus juga.


Selama di perjalanan, ngobrolah daku dengan si ibu dari Medan ini. Aku tak sungkan perkenalkan diri yang memang sering linglung dengan ramainya ibukota. Ini trik sesungguhnya, dapat kenalan warga lokal, lalu bertanya tentang hal penting untuk menghindar bertanya dengan orang yang tak dikenal di jalanan. Pertanyaanku adalah, yang mana itu si Cawang UKI. Si ibu membantuku, menginformasikan kalau aku sudah akan sampai di tempat yang aku maksud. Aku katakan aku akan bertemu teman dan mepo yang disepakati adalah Halte Cawang UKI.


Aku sampai. Persis di dekat tangga penyeberangan. Jalanan di ibukota memang ramai. Jalan raya lebar, mobil-mobil bergerak laju. Aku mencari tempat untuk nongkrong, persis di bawah tangga penyeberangan. Aku sudah sampai sebelum jam janjian. Tak apalah, lebih baik menunggu, dari pada ditunggu. Sambil menunggu, aku perhatikan sekelilingku. Di depan halte dengan bus-bus panjang yang bergantian datang dan pergi. Mirip seperti kehidupan yang kita lalui. Kita akan selalu kedatangan orang-orang dalam kehidupan kita, tanpa pernah tahu cerita apa yang akan digoreskan saat bersamanya. Bahagiakah, ataukah sedih. Semua memang harus diterima dengan ikhlas, dengan ridha. Tidak ada yang terjadi diluar takdir kehendakNya, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Bertemu orang baik, bukan karena kita yang baik tetapi karena Allah yang maha baik memberikan kita kesempatan untuk belajar langsung bagaimana menjadi baik. Saat bertemu orang tak baik, bisa saja karena kita selama ini menyangka telah menjadi baik. Kehadirannya hanya sebuah pertanda, bahwa begitu banyak yang harus disesali, diperbaiki akibat khilaf dan kelalaian kita di masa lalu. Kehadirannya adalah cara yang berikan semesta agar kita bisa menginsafi kesalahan yang kita kira awalnya adalah pilihan yang tepat.


Waktu bergulir, Bang Togi tak kunjung tiba di jam janjian, aku tak bertanya karena biasanya jawabannya adalah macet. Aku tetap di bawah jembatan penyeberangan. Teduh, ada angin dari arah halaman kampus UKI yang rindang. Tidak ada warkop, tak terlihat masjid. Hanya sirine mobil pejabat yang minta ruas jalan agar lebih didahulukan. Aku melihat jam di tangan. Aku belum shalat dzuhur, nanti ashar bagaimana. Aku lihat di aplikasi handphone lokasi masjid tak ada yang dekat. Ada, tetapi aku kuatir dengan jalur kendaraan di ibukota, walaupun dekat tapi kalau jalanannya satu arah biasanya jadi jauh karena memutar. Apalagi kalau di jalanan ibukota tidak bisa menyeberang di sebarang tempat. Aku gelisah, nanti shalatnya bagaimana.


Biasa-biasanya untuk urusan kewajiban shalat, aku tak pernah resah. Aku tipe orang yang mengutamakan rukhsah, sesuai ajaran sunnah. Aku juga biasanya tak menunjukan keribetan ibadah saat sedang bersama teman. Sebisanya, kewajiban ibadahku tak menyita waktu orang lain, tak sampai membuat orang lain menunggu meskipun itu seorang muslim sekalipun. Sebisaku, ibadahku bahkan sejenis mahdoh pun kalau bisa tak diketahui teman-teman perjalanannku.


Aku semakin kuatir, karena kalau misalkan saat ashar Bang Togi baru datang, rasanya tak elok perjalanan baru dimulai aku sudah minta diantar ke masjid dulu, tapi kalau tidak gelisahku pasti tak akan terobati. Waktu ashar sudah semakin dekat, aku menghubungi Bang Togi untuk pamit ke masjid terdekat, Bang Togi mengiyakan. Aku buka Aplikasi Ojek Online, belum sempat mengisi lokasi seorang perempuan muda datang menghampiri. Dia datang minta tolong pinjam aplikasi ojek online, karena telepon selularnya hang. Aku setuju, aku iyakan. Hasilnya, aku tak bisa menggunakan Aplikasi itu sebelum dia sampai di tujuan. Aku tak jadi ke masjid, kembali aku gundah.


Aku celingak celinguk. Di depan jalan raya dengan kendaraan padat merayap. Sisi kanan juga sama. Sisi kiri iya juga. Di belakang adalah halaman dengan beberapa pohon besar dan mobil-mobil parkir. Tak terlihat gedungnya. Aku lihat di aplikasi gedung itu adalah kampus UKI, ingin aku masuk lalu menumpang shalat. Tapi aku ragu apa kampus itu ada musholanya. Bukankah UKI itu Universitas Kristen Indonesia.


Aku duduk lagi, aku bingung. Aku tak tahu Bang Togi sampainya jam berapa. Kalau aku pergi, aku kuatir Bang Togi jadi menunggu. Apalagi jalanan di Jakarta tak boleh sembarangan kalau parkir. Beda dengan jalanan di tempatku. Otakku terus berputar, mencari alternatif. Salah satunya adalah shalat di dalam kendaraan, seperti kalau aku sedang di dalam bus atau pesawat udara. Tapi aku ragu lagi, karena di kendaraan nanti hanya ada aku, sopir dan Bang Togi. Pastinya nanti ngobrol-ngobrol karena lama tak bertemu. Tapi ya sudahlah, semoga saja bisa saja nanti menyempatkan diri shalat saat di perjalanan.


Aku berjalan membeli sebotol air mineral di pintu keluar kampus. Kugunakan untuk berwudhu, supaya nanti di mobil Bang Togi aku tinggal shalat saja. Tapi bagaimana kalau nanti bertemu Bang Togi, pastinya kita bersalaman. Bang Togi yang nonmuslim menurut pemahamanku akan membatalkan wudhuku. Duh, Tuhan kenapa jadi begini, aku membatin sendiri.


Tak beberapa lama, Bang Togi datang. Pakai mobil barunya yang sudah dipakai melintas hingga tanah Sumatera. Aku langsung masuk, tak bersalaman. Bang Togi menyambut, dan mengulurkan tangan. Kujabat erat, khas anak-anak petualang. Bang Togi mengenalkan temannya yang sedang menyetir siap mengantarkan kami sampai di gerbang pendakian.


Wudhuku luntur. Tapi ya sudah. Langit masih cerah, masih ada waktu untuk dzuhur dan ashar. Seperti biasa, obrolan sahabat lama dimulai. Terakhir kami bersama saat pendakian Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mulailah kami mengabsen satu persatu teman-teman pendakian dari dua komunitas yang berbeda, yaitu komunitas pendaki Elkape dan Narkopian. Dua komunitas pendaki yang aku dan Bang Togi pernah ada dalam event mereka. Xenia putih melaju pelan di barisan pintu tol Jakarta. Entah apa namanya, aku tak mencatatnya, tetapi tol ini akan terus mengantarkan kami hingga ke timur Jakarta. Seingatku ada pintu tol Cikarang 3 Utama yang besar itu. Tujuan kami adalah Kabupaten Cirebon. Tak beberapa lama, Bang Togi dan temannya sepakat untuk istirahat sejenak di Rest Area. Padahal baru beberapa menit saja kami berkendara. Entah apa alasannya aku tak bertanya. Aku seperti hendak melompat gembira karena akhirnya aku bisa menemukan mushola untuk shalat sejenak. Xenia berbelok ke kiri jalan. Ada Rest Area yang luar biasa megahnya (buatku). Benar-benar megah. Kayak pusat pertokoan saja. Ada restoran, ada tempat makan seperti kantin, minimart dan outlet-outlet belanja terkenal dan mewah lainnya. Gedungnya bertingkat. Aku melihat sambil mendongak. Hebat. Aku pamit ke Bang Togi untuk mencari mushola. Bang Togi iyakan dan mengurus isi voucher kartu tol. Aku masuk ke sebuah restoran mewah, bertanya ke petugas di mana letak mushola. Aku ke lantai dua seperti yang disampaikan. Meniti satu persatu tangga yang berbelok bentuknya. Aku sampai. Di depan mushola yang besar, yang meneduhkan. Aku mengambil air untuk wudhu, lalu masuk ke mushola yang lebih indah dari masjid di tempatku. Kudahulukan kaki kananku, kuucapkan doa atas hadirku. Kaki terasa ngilu menginjak karpetnya yang lembut. Sejuk oleh pendingin ruangan. Teduh orang orang-orang yang hadir penuh keimanan.


Aku bersimpuh

Berucap penuh syukur

Aku yang hadir dengan busana kekhilafan ini

Begitu lancang hadir di sini

Apalagi kalau bukan untuk meminta

Meminta agar semua salah dan lupa bisa dimaafkan olehNya


Terima kasih tak terhingga aku patrikan di hati. Kegelisahan mencari tempat menunaikan ibadah ini harus dihadiahi tempat yang begitu mewahnya. Karpetnya wangi, udaranya sejuk. Gratis. Semoga yang membangun mushola ini selalu dimudahkan oleh Allah segala urusannya, dimurahkan rezekinya, dan dilimpahkan kesehatan atasnya amiin.


Terima kasih sahabat pembaca, semoga bermanfaat ya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar