Menuju Puncak Gunung Ceremai
-Pendakian Gunung Ceremai IV_
Pagi di Desa Argalingga.
Di lereng Gunung Ceremai. Kami di rumah Kang Didik, driver yang akan mengantar kami hingga ke pintu pendakian jalur
Apuy. Saat subuh tadi aku dan Bang Togi sudah meramaikan rumah ini. Hanya Vicky
yang saat itu menyambut. Selainnya masih meneruskan istirahat mereka. Hingga
pagi menjelang, satu persatu kami saling mengenalkan diri.
Mba Dewi dan Asaka adalah
nama baru, tapi bukan pemain baru. Mereka sudah berpengalaman hingga ke luar
Indonesia. Mas Rudy, untuk kesekian kalinya kami mendaki bersama. Di rumah Kang
Didik, kami bereskan perlengkapan. Tidak ada yang harus kami diskusikan lebih
detail karena mengerti apa yang harus dipersiapkan masing-masing.
Aku tentu saja
berkeliling sejenak di sekitar rumah Kang Didik. Ada kebun kentang, ada suara
air sungai yang deras di bagian belakang rumah, dan beberapa tanaman lainnya
yang tak aku tau namanya, semacam labu putih, tumbuhan merayap dan diberi ajir.
Terlihat juga bawang merah yang baru dipanen.
Kami mulai berangkat.
Menumpang kendaraan jenis pick up, atau colt bak yang aku dengar dari mereka.
Kalau di tempatku kami biasa sebut kendaraan jenis Hi-Line, Hi-Lux atau Ranger.
Aku tak terlalu tahu detail beda dan jenisnya.
Seperti gunung-gunung
lainnya di negeri ini, jalan sangat curam. Badan jalan hanya untuk satu
kendaraan. Jadi jika berpaspasan di jalan, salah satu kendaraan harus menepi
terlebih dulu.
Bonus yang harus diambil
pagi itu tentu saja hamparan luas perkebunan. Terlihat kebun kentang, tanaman
bawang daun, pisang, cabe hijau, kol dan lainnya. Sungguh indah. Sejuk, hijau
dan asri. Asaka, yang adalah mahasiswa dari Jepang, menuturkan sangat senang
dengan pesona Indonesia. Di negeranya juga ada perkebunan seperti halnya di
Indonesia, tetapi pengelolaannya sudah tersentuh oleh alat-alat pertanian
berteknologi.
Kami sampai di gerbang
pendakian. Ramai, tapi tak membludak. Setiap pos masih punya ruang cukup untuk
mendirikan tenda. Kondisi di gerbang pendakian juga cukup baik. Entahlah apa
memang sekarang minat mendaki semakin besar, membuat setiap daerah lebih giat
memperbaiki sarana pendukungnya. Di jalur Apuy ini juga demikian. Sudah ada
tempat parkir yang beratap, atau lahan lain yang luas jika tempat parkir sudah
penuh. Ada mushola, dan ada warung. Untuk memulai pendakian, melewati gapura
dan harus melaporkan kedatangan serta mengikuti proses pemeriksaan kelengkapan
pendakian.
Simaksi yang dibayarkan
adalah lima puluh ribu rupiah. Angka itu memang terlihat lebih besar dibanding
dengan tempat lain, tetapi jika pelayanannya baik, tentu tak masalah. Biaya
segitu sudah termasuk untuk makan di salah satu warung, dan mendapatkan kantong
sampah yang harus dibawa kembali saat turun pendakian. Oya lupa, saat kembali
setiap pendaki mendapatkan satu lembar sertifikat.
Semua proses kami ikuti,
kami makan pagi terlebih dahulu. Tentu saja dengan swaphoto dari berbagai macam
gaya.
Sekitar jam 10 pagi kami
mulai pendakian ini. Seperti biasa saya tak merekam setiap detail perjalanan
ini. Tak ada yang berbeda. Medan dan juga jenis tanaman yang ditemukan seperti
halnya gunung lainnya. Akupun mungkin sudah tak lagi begitu exciting seperti dulu. Sudah lebih
nyantai, lebih menikmati perjalanan ini. Dari basecamp hingga ke setiap pos pendakian sudah dilengkapi dengan
papan informasi yang cukup. Bahkan setengah dari perjalanan juga sudah dipasang
papan petunjuk bahwa kita sudah menyelesaikan separuh perjalanan.
Secara keseluruhan jalur
Apuy masih bersih. Jalur juga jelas. Rindang pepohonan membuat kita tak
tersengat matahari. Hanya saja memang tidak ada sumber air, jadi harus membawa
keperluan selama camping.
Kami sampai di Pos V di
jam 4 sore. Pos V adalah pos terakhir yang disarankan untuk mendirikan tenda.
Tadinya Aku pikir kami akan camping
di Pos Goa Walet, yang secara jarak sudah sangat dekat dengan puncak. Akan
tetapi memang lebih tepat jika mendirikan tenda di Pos V, karena medan dari Pos
V ke Puncak yang akan melewati Pos Goa Walet lebih curam. Akan sangat kelelahan
jika harus membawa keril dan perlengkapannya.
Jarak pendakian kali ini
memang lebih pendek. Ini berbeda dengan dua jalur pendakian yang lebih dulu
sering dilalui pendaki, yaitu jalur Palutungan dan Linggarjati. Jalur Apuy
lebih cepat sampai. Meski begitu aku tetap saja kelelahan. Begitu sampai dan
mendirikan tenda, teman-teman masih berada di luaran tenda untuk membuat
camilan. Aku sudah ingin tidur saja sebetulnya, tetapi kalau harus tidur lebih
awal akan lebih malas untuk membuat makan malam nantinya. Benar juga.
Yang berbeda di pendakian
kali ini adalah bahaya babi hutan yang bisa menyerang mencari makanan. Dari
literasi itu, akhirnya kami harus menggantung semua logistik dan bahan makanan
di luar tenda dan digantung. Bahkan tempat-tempat makanan yang dirasa masih ada
bau makanan yang menempel juga kami gantung di luar tenda. Agak ribet, tapi
demi kebaikan dan antisipasi, memang harus demikian.
Makanan malam mulai
digarap. Buatnya sore hari. Menunya, sop sayur. Luar biasa komplitnya. Lengkap.
Ada brokoli, jamur, sosis, daun sop, sawi, wortel dan lainnya. Aku bawa bawang
goreng sebetulnya dari rumah, tapi pas dibutuhkan si bawang goreng nyelip entah
dimana. Ketemunya pas makanannya sudah habis.
Selesai makan malam.
Beres-beres. Masuk tenda. Aku setenda lagi dengan Bang Togi, membantunya untuk
latihan vocal untuk kejuaraan suara tenor di Italia.
Becanda.
Tentu saja waktu yang
kami miliki sangat panjang. Sesekali aku terbangun memperbaiki posisi tidur.
Juga terbangun karena ramainya suara pendaki yang baru sampai. Bang Togi di
sampingku begitu nyenyaknya.
Pagi buta, kami mulai
bersiap untuk summit. Menuju puncak
Gunung Ceremai. Mba Dewi menyiapkan makanan lagi. Aku menyeduh teh panas saja
saat itu. Perutku mulai tak bersahabat sepertinya. Ritual buang air yang rutin,
aku tahan-tahan. Karena terus terang kadang aku jijik sendiri dengan kotoran
sendiri. Karena kalau buang air di kloset itu aroma kotoran itu bisa langsung
tertahan oleh air, tapi kalau buang airnya di tempat terbuka, atau di alam
bebas, maka aroma kotoran tercium langsung oleh si empunya. Mau bagaimana lagi,
namanya hajat memang harus disalurkan, jika tidak akan menyiksa badan. Filosofinya
mungkin sama seperti aib. Aib itu kotoran. Masing-masing kita punya aib. Kita
sendiri ogah dengan aib sendiri. Meski kadang kita begitu rinci membahas aib
orang lain. Aib itu juga seperti kotoran buang air besar. Waktu mau masuk
kloset yang jorok, terkadang jijik sambil menutup hidung. Akan tetapi jika kita
sudah berada di dalamnya, berbaur dengan kotoran dan aromanya, kita bisa betah
berlama-lama. Bahkan bisa membuat orang lain kesal menunggu gilirannya.
Lanjut ke cerita
pendakian. Kali ini hanya bawa daypack.
Lebih ringan. Aku membawa beberapa snack,
kurma, dan roti sobek. Terakhir snack
yang aku bawa disukai oleh Asaka. Mereka tanya apakah snack yang aku bawa memang dari Tarakan atau minimart Jakarta, aku
lupa memang, jadi aku bilang belinya memang di minimart Jakarta atau
sekitarnya. Karena memang sebelum pendakian aku sempat mampir di minimart.
Setelah kembali di Tarakan, dan aku belanja beberapa keperluan barulah aku
lihat si snack yang dimaksud. Snack rasa bawang dari Makassar itu aku
belinya di minimart di Tarakan.
Kami mulai mendaki.
Begitu juga pendaki dari regu lainnya. Kali ini hanya berlima. Mas Rudy hanya
di tenda. Secara, Mas Rudy juga sudah pernah ke puncak gunung ini.
Jalur menuju puncak
memang lebih terjal. Topografinya mengingatkanku saat ke Gunung Sindoro. Lelah,
tapi kami sadar memang harus dijalani. Perlahan, hingga sampai di tujuan.
Puncak Gunung Ceremai
luas. Di tengahnya terbentang kawah yang tak kalah luas. Terlihat kepulan asap
membumbung kecil menandakan aktivitas kegunungannya. Di satu sisi sudah
dibangun pagar besi. Puncak ini terbilang aman jika dibanding puncak gunung
lainnya. Tekstur tanahnya keras. Berbatu. Dari sini kita bisa memandang jauh ke
depan. Ke segala arah. Pendakian kami kali itu dilengkapi dengan cuaca yang
sangat bersahabat. Cerah, tetapi tidak terik. Angin kencang memang sudah
menjadi kekhasan di ketinggian. Akan tetapi masih ada tempat yang bisa
dijadikan untuk berlindung dari tiupan angin.
Kami berucap syukur.
Mengitari puncak di tepi kawah. Terlihat beberapa pendaki lainnya yang datang
dari berbagai jalur pendakian. Ramai tapi tak sampai membludak. Kami masih
bebas berphoto berbagai gaya dengan plakat dan beragam banner saat di puncak.
Tanpa harus antre dengan pendaki lainnya.
Sekian dulu ya sobat
pembaca kisah pendakian kali ini. Masih akan dilanjutkan proses turunnya.
Terima kasih sudah membaca tulisan saya.
Wassallam
Imanrabinata
082159816748
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar