Laman

Rabu, 28 November 2018

KOMANG


 
Komang

Ini salah satu tulisan yang paling lama selesainya. Komang, Senandung Batur adalah dua judul yang sudah aku tuliskan, sudah hampir rampung tapi selalu menemui kebuntuan. Apa aku yang tidak konsen menuliskannya, atau memang kisah ini terlalu picisan. Sampai akhirnya, ini adalah draft ke tiga dengan kisah yang sama.


Komang adalah teman perjalanan saat trip di Bali beberapa tahun silam. Batur adalah danau indah di kawasan Kintamani sebagai latar cerita. Sudah bertahun-tahun lewat, namun kisah ini tak pernah selesai. Bahkan ketika aku kembali ke tanah dewata itu beberapa bulan silam, kisah Komang tetap saja menjadi rahasia yang belum selesai.


Sebuah kisah hati. Sama seperti seri Gong Myung dalam Drinking Solo yang membuat rahang menggeretak menahan emosi. Emosi ketulusan, emosi berjiwa besar karena ditinggalkan.


Dari situlah kisah ini bermula.
Komang, pria yang dibesarkan oleh adat istiadat Bali yang kental. Terlihat seperti seorang pembalap jalanan, bicaranya seperlunya, cuek, tapi santun. Satu hal lagi, ia memilih bersembahyang sejenak ketika sampai di Pura.


Komang mengajakku mengitari tepian Danau Batur yang berjarak sekitar 70 km dari Kuta. Melihat keheningan danau dari sisi yang tak menjadi objek kunjungan wisata umumnya. Aku, yang diajak ke tempat-tempat seperti itu tentu saja menyambut gembira, meski tak aku perlihatkan berlebihan. Menuju ke tempat pemandian air panas, melewati batu-batu di tepi danau (lokasi ini mengingatkanku pada klip lagu-lagu gambus zaman Sam Bimbo di TVRI), melewati sebuah desa kecil dengan semenisasi yang hanya bisa dilalui sepeda motor, hingga di perkebunan sayur yang menghijau indah. Berimajinasilah kawan saat membaca tulisan ini. Sebuah desa kecil yang tentram, tak ada keramaian berlebihan, kebun sayur di tepi danau yang begitu tenang. Tambahkan lagi imajinasimu bahwa danau ini berada di kaki gunung yang begitu gagahnya.


Masih pagi, udara sejuk meniup lembut wajah. Aku menatap memutar, lalu berhenti pada sebuah pura yang dibangun tepat di sisi danau. Ke sanalah kami melangkah, di situlah Komang berkhidmat sejenak kepada Tuhannya. Aku, menenggelamkan diriku ke dalam romantika yang aku ciptakan sendiri. Mengajakku kepada sebuah nama yang kini telah pergi. Ditelan bumi. Bumi yang hanya ada engkau dan dia saja yang hidup di dalamnya.

Getir.


***

Komang berdiri tepat di sampingku. Tak beradu mata. Sama-sama melemparkan pandangan pada hamparan air yang begitu tenang. Ia menunjukkan satu desa di seberang sana. Desa dimana ia dan orang yang ia kasihi telah pergi begitu saja.


Bagai diterbangkan angin.


“Pergi?”
“Kemana?”


Dua kata tanya menjadi pembuka.


“Ke luar negeri. Melanjutkan tradisi keluarganya”, Komang menjawab pelan.
“Pergi tanpa berita, maksudnya?”, tanyaku sedikit datar.
“Oh, tidak. Kami baik-baik saja selama di sini. Bahkan aku mengantarkan ia saat akan pergi”.
“Lalu?”
“Sekarang aku sudah tak pernah tau lagi bagaimana keadaannya”.


Kita hentikan sejenak dahulu sobat pembaca. Saya saja kadang buntu melanjutkannya. Ini kisah simple. Dua insan yang tadinya kayak kelingking dan upil tiba-tiba menjadi saling tak membutuhkan. Tak ada lagi sapa, chating apalagi telpon-telponan. Semua terhenti, seperti kehilangan signal, bagaikan kehabisan pulsa atau hape tenggelam di kuah sayur asam.


Putus hubungan.


Biasa saja bukan?


“Tapi Bli, kalau saja ada alasan mungkin aku tak seperti ini. kami baik-baik saja selama ini”, Komang beralibi.


Kawan, kita tak harus punya alasan untuk membenci seseorang. Terlalu jahat mungkin menggunakan kata benci. Aku perhalus saja sedikit. Mungkin dia sibuk, barangkali dia butuh waktu untuk sendiri, bisa saja di tempat dia sekarang akses komunikasi dibatasi.


“Selama lebih dari setahun ?. Dia hanya ke luar negeri bukan luar angkasa ! ”.


Anggap saja dia sedang menderita satu penyakit mematikan, stadium akhir. Ia sembunyikan agar kamu tak ikut resah kalau tau penyakitnya. Ia sebetulnya masih seperti yang dulu, hanya saja ia sengaja agar kamu pergi menjauh lalu bahagia dengan hidupmu sendiri, tanpa dia. Mungkin…anggap saja ia terinspirasi dari drama-drama hits dari Korea.
Ah, argumen tadi terlalu mendayu-dayu. Entah itu maksudnya baik atau sebaliknya. Mungkin dia memang tak sebebas seperti di sini menggunakan sosial media atau alat komunikasi. Mungkin memang aturan di sana yang membatasi, atau ya dia benar-benar ingin konsentrasi dengan aktivitasnya. Mungkin, kita berbaik sangka saja.


“Sepertinya bukan Bli”.


Kalau begitu, berarti ia jenuh.


Deg
Komang bergeming. Hening.


Jenuh?


Kalau tak ingin aku sebut bosan, risih atau muak.


“Tapi aku tak pernah melihat itu selama ini Bli


Tidak semua harus terlihat kawan, sama kayak niat.
Mari lanjutkan perjalanan…


Komang mengiyakan. Kami tinggalkan danau yang indah ini. Desa yang tentram ini. Udara yang sejuk ini. Dan Pura Hulundanu Batur yang penuh kedamaian ini. Komang mengajakku ke Monkey Forest, sebuah wana wisata yang tak jauh dari kawasan Batur. Sebelum sampai di Monkey Forest, kami berhenti sejenak menikmati keindahan danau dan Gunung Batur dari Kintamani, sebuah siring permanen di tepi jalan yang telah dilengkapi dengan pagar-pagar stainless yang kokoh.


Monkey Forest atau Wanara Wana berarti hutan kera. Tempat wisata ini merupakan kawasan hutan sakral yang terdapat dalam kawasan Ubud. Di tempat ini terdapat ratusan kera yang sudah mendiami hutan ini lebih dari ratusan tahun lamanya. Kami berdua menghentikan kendaraan. Memarkirkan lalu menuju loket masuk wisata. Di bagian depan berderet-deret penjual barang oleh-oleh khas Bali. Kain lembut berwarna mencolok, atau ukiran kayu sebagai penghias gantungan kunci. Kami melangkah melewati, mulai memasuki kawasan hutan yang rindang.


Hutan, kera dan turis. Tempat ini menjadi salah satu tempat favorit wisatawan. Asri, teduh dan penuh kesejukkan. Ratusan kera bersahabat dekat dengan manusia. Di pulau ini, satu hal yang bisa kita pelajari dari sikap turis mancanegara adalah kedekatan mereka secara emosional dengan satwa-satwa. Mereka begitu menghargai keberadaan makhluk lain sama halnya dengan manusia. Yang punya hak untuk hidup, hidup bebas, tanpa kecemasan diburu, dikejar-kejar, dikurung, diperjualbelikan, atau dibantai.


Kami memilih duduk di bangku yang terbuat dari batu. Menghadap Pura Dalem Agung Padangtegal, menyaksikan mereka yang berkhidmat di hadapan pengatur alam semesta yang mereka imani. Komang menemaniku duduk, setelah sedari tadi sibuk mengambil gambar dari kamera pro summer milikku.


“Suka Bli, dengan tempat ini ?”, Komang bertanya tanpa menatap.


Aku menggangguk pelan.
“Tapi aku lebih suka mendengar kelanjutan ceritamu”.

Komang tersenyum kecil. Rambutnya yang ikal ia sisirkan ke belakang dengan jemari tangannya yang kasar. Sobekkan celana jeans di lututnya seakan tak setuju dengan kisah perihnya. Komang memulai kisah lamanya. Aku merekamnya, kemudian menuliskannya seperti alinea berikut.


Ia pingsan. Kami melarikannya ke klinik terdekat. Sebagian mencari kendaraan, sebagian menyibukkan diri membantu. Aku bergegas. Aku masuk terlebih dulu ke dalam mobil. Ia dibaringkan di jok, kepalanya direbahkan di pangkuanku. Aku sedikit cemas. Aku usap keringat di dahinya. Terasa hangat suhu di badannya. Aku memanggil namanya pelan, menyemangatinya, memintanya bersabar selama di perjalanan. Ia tak membuka matanya. Aku terus menjaganya, menahan pundak kanannya dengan tangan kananku. Kulakukan agar ia tak terjatuh selama di perjalanan. Kembali aku mengusap dahinya, satu adegan hidup yang tak pernah aku alami sebelumnya.


Mobil mulai bergerak. Aku meminta sahabatku yang mengendarai mobil agar tak terlalu kencang. Jalan tak mulus ini bisa membuat kondisinya memburuk akibat guncangan mobil. Sahabatku mengiyakan, sambil menjelaskan kondisi mobilnya yang memang sudah tua dan tak lagi prima. Tapi saat itu tak ada pilihan, mobil tua itulah yang mengantarkan kami. Aku dan dia.


Komang berhenti sampai di sini. Bulir di wajahnya seperti tertahan. Ia sedang menceritakan satu episod di hidupnya yang begitu ia kenang. Bukan tentang budi yang harus berbalas, tapi kasih yang bisa ia berikan begitu membekas. Terus membekas. Terus membekas….


Komang kembali menceritakan, aku bergegas menyimak. Tentang kesetiaan. Bukan hanya di bagian saat orang terkasihnya harus berkali-kali masuk klinik atau rumah sakit, tapi juga episod lain seperti halnya kehidupan manusia lainnya. Tanpa pernah ada perbedaan, tanpa pernah ada perdebatan, tanpa pernah ada amarah, rasa benci, kecewa dan sederet kata-kata penyebab perpisahan. Tidak ada, tak pernah ada. Jadi sangat wajar jika sekarang Komang seperti kehilangan akal sehat ketika semua harus berakhir tanpa penjelasan, tanpa kejelasan.


Pukul dua dini hari. Ia berangsur pulih. Pulih setelah sekitar empat jam ia mendapat perawatan intensif. Ia kami larikan kembali ke klinik, padahal baru saja keluar jam lima sore.

Ia membuka matanya, hanya ada aku saat itu. Selainnya, hanya tiang botol infuse, jarum suntik dan aroma tablet yang bikin perut mual. Ia duduk bersandar, melihatku duduk di samping ranjang perawatan. Tatap matanya terlihat sayup, entah apakah karena penyakitnya atau iba melihatku berjaga menungguinya. Ia bertanya, mengapa belum tidur. Aku tersenyum kecil, lalu berbohong dengan mengatakan bahwa aku sudah tidur waktu ia tidur. Ia kembali bertanya, mengapa aku begitu baik untuknya. Kali ini aku tak bisa berbohong, atau bahkan berkata jujur untuknya. Aku hanya diam, dan tak berani beradu tatap dengannya.


“Apa maksud dari kalimat terakhir ?”, aku bertanya kepada Komang.

Komang diam sejenak, lalu melanjutkan.

To be honest, aku merasa telah melunasi hutang dalam hidup sejak merawatnya. Merawatnya berhari-hari, berkali-kali. Bli, ibuku telah meninggal ketika aku belum begitu mengerti. Ibuku sakit berhari-hari atau berbulan-bulan lamanya, dan aku tak terlibat aktif menjaganya. Sejak merawat dia, satu hal yang aku nikmati adalah aku merasa diberi kesempatan untuk merawat orang lain. Penuh ketulusan, penuh keikhlasan, penuh rasa kasih, dan curahan doa yang melangit. Jujur saja, selama merawatnya aku jadi tau seperti apa rasanya berbakti, satu hal yang tak sempat aku lakukan semasa ibuku diujung usianya”.

Aku menarik napas. Mulai mengerti alur ceritanya. Mulai memahami seperti apa warna hatinya. Mulai menarik satu kesimpulan tentang kehilangan yang ia rasakan.


**


Komang terlihat tegar. Kemudian ia mengajakku ke tempat lain di Wanara Wana ini. Mencari mata air suci di bawah patung komodo. Kami berjalan pelan mengitari, sambil sesekali berdiam mengamati. Mengamati pohon Pule yang disakralkan untuk pembuatan topeng yang hanya digunakan di dalam pura. Komang tak menghampiriku, tetapi tetap berdiri berjarak denganku.


“Kami dulu sering ke tempat ini Bli “.
“dan ia selalu berhenti di tempat itu…”, Komang melanjutkan.
“Mengamati detail batang kayu Pule ini ?”, aku bertanya.
“Benar”.


“Bukankah pohon ini sejenis pohon yang biasa ditemui di pemakaman ?”, aku meneruskan.
“Iya benar, dan kadang ada yang seperti mengeluarkan wewangian. Di beberapa tempat, pohon pule bisa setinggi lebih dari 15 meter, dan mulai digemari penggiat tanaman bonsai”.
“Apa jenis ini juga bisa sebagai obat-obatan?”, aku kembali bertanya.
“Sepertinya bukan, ada jenis Pule Pandak yang semacam tanaman perdu”.
“Sudah cukup Bli, mari kita ke tempat lain”, Komang menghentikan pembicaraan.


Entah ada apa dengan Komang. Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggunya, mengingatkanku pada kenangannya?. Aku tak bereaksi, hanya mengikutinya saja dari belakang. Tak beberapa lama kami sudah sampai di pintu keluar. Masih banyak terlihat wisatawan yang berada di tempat ini, mengambil gambar, melihat detil relief-relief pahatan patung, atau sekadar memberi makan kera berekor panjang. Kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dan beranjak pulang kembali ke kawasan Kuta.


Kisah Komang, hanya kisah biasa. Tapi apa salahnya memadukan ceritanya dengan keindahan negeri yang dilengkapi dengan tenangnya Danau Batur, hamparan Kintami atau keteduhan Wanara Wana. Sebuah kisah yang terkenang kembali saat aku memintanya untuk melihat keindahan danau dari tepian Pura Hulundanu Batur, satu tempat yang membuatnya teringat kembali kisah rindunya, kisah kehilangannya, kisah berharganya.




Sobat pembaca, apa hebatnya ditinggalkan. Apa pilunya ‘hanya’ ditinggalkan. Apa yang harus disesali ketika harus ditinggalkan. Bukankah semua ada di agenda hidup manusia. Bukankah semua sudah tertulis di suratan kita. Bukankah semua adalah sunatullah yang mau tidak mau harus kita hadapi, harus kita jalani, harus kita lewati. Hanya saja pertanyaannya kapan waktunya, apakah kita sudah siap atau tidak, kuat atau tidak, ridho ataukah tidak. 


Sobat pembaca, apakah dia yang telah hilang adalah hembusan napasmu. Apakah tatapan matamu, atau wewangian dari penciumanmu. Bukankah kita hanya kehilangan seseorang, yang kita sendiri tak pernah tau apakah dari dia yang kelak mendatangkan kebahagiaan, apakah dari dia yang kelak mengantarkan kita ke pintu jannah, apakah dari dia yang akan menjaga kita dari kesalahan menapaki kehidupan sesudahnya. Seyakin itukah kita, sehingga kehilangannya membuat kita seperti kehilangan akal sehat. Hidup ini hanya sekilas teman, apa yang kita bayangkan belum tentu sesuai, apa yang kita perkirakan belumlah pasti tepat perhitungan, apa yang kita mimpikan, bukan jaminan menjadi indah. Ikhlaslah menjalani kehidupan ini, berserah diri, lalu bermuhasabah mengevaluasi. Kita tak pernah tau siapa lagi yang datang menghampiri kehidupan kita selanjutnya, jika ia baik maka kebaikan itu sejatinya ujian apakah kita akan bersyukur dengan nikmat yang diberikan. Jika yang datang tak baik, maka itupun sejatinya ujian apakah kita bisa ridho dan tetap dekat dengan sang pencipta. Namun satu hal kawan, tak akan pernah ada ujian, jika kita belum melewati lembaran-lembaran pelajaran.


Kami melaju pelan. Aku kira kisah ini selesai. Akan tetapi belum. Komang memberhentikan kendaraannya di sebuah coffeshop tepat menghadap siring persawahan di kawasan Ubud. Sebuah cara tradisional petani Bali yang menggarap persawahan di tanah berundak. ‘Hanya’ persawahan, tetapi bukan Bali namanya jika tak mengundang decak kagum wisatawan. Di tepi jalan arteri ini, sudah banyak penjaja souvenir. Juga kantong-kantong parkir yang memudahkan bagi turis untuk bisa mengambil gambar. Aku menikmati pemandangan ini. Sama seperti gambar yang biasanya ada di kalender-kalender perkantoran. Dua gelas kopi pesanan kami datang. Komang memesan jenis lokal, sementara aku memilih espresso. Jenis kopi yang berasal dari Italia dan diolah hanya dengan mengambil ekstraknya melalui mesin espresso. Kopi ini juga dikenal dengan sebutan short black, atau istimewa. Kopi ini tak disarankan bagi pemula karena diracik tanpa tambahan apapun.


Aku menghirup aroma espresso dari slot yang mungil ini, kemudian menyeruputnya perlahanan. Pahit. Sungguh pahit. Aku bahkan tak bisa membedakan, mana yang lebih pahit, kopi ini ataukah ceritaku.



Selesai.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar