Komang
Ini salah satu tulisan
yang paling lama selesainya. Komang, Senandung Batur adalah dua judul yang
sudah aku tuliskan, sudah hampir rampung tapi selalu menemui kebuntuan. Apa aku
yang tidak konsen menuliskannya, atau memang kisah ini terlalu picisan. Sampai
akhirnya, ini adalah draft ke tiga dengan kisah yang sama.
Komang adalah teman
perjalanan saat trip di Bali beberapa tahun silam. Batur adalah danau indah di
kawasan Kintamani sebagai latar cerita. Sudah bertahun-tahun lewat, namun kisah
ini tak pernah selesai. Bahkan ketika aku kembali ke tanah dewata itu beberapa
bulan silam, kisah Komang tetap saja menjadi rahasia yang belum selesai.
Sebuah kisah hati. Sama
seperti seri Gong Myung dalam Drinking Solo yang membuat rahang menggeretak
menahan emosi. Emosi ketulusan, emosi berjiwa besar karena ditinggalkan.
Dari situlah kisah ini
bermula.
Komang, pria yang
dibesarkan oleh adat istiadat Bali yang kental. Terlihat seperti seorang
pembalap jalanan, bicaranya seperlunya, cuek, tapi santun. Satu hal lagi, ia
memilih bersembahyang sejenak ketika sampai di Pura.
Komang mengajakku
mengitari tepian Danau Batur yang berjarak sekitar 70 km dari Kuta. Melihat
keheningan danau dari sisi yang tak menjadi objek kunjungan wisata umumnya.
Aku, yang diajak ke tempat-tempat seperti itu tentu saja menyambut gembira, meski
tak aku perlihatkan berlebihan. Menuju ke tempat pemandian air panas, melewati
batu-batu di tepi danau (lokasi ini mengingatkanku pada klip lagu-lagu gambus
zaman Sam Bimbo di TVRI), melewati sebuah desa kecil dengan semenisasi yang
hanya bisa dilalui sepeda motor, hingga di perkebunan sayur yang menghijau
indah. Berimajinasilah kawan saat membaca tulisan ini. Sebuah desa kecil yang
tentram, tak ada keramaian berlebihan, kebun sayur di tepi danau yang begitu
tenang. Tambahkan lagi imajinasimu bahwa danau ini berada di kaki gunung yang
begitu gagahnya.
Masih pagi, udara sejuk
meniup lembut wajah. Aku menatap memutar, lalu berhenti pada sebuah pura yang
dibangun tepat di sisi danau. Ke sanalah kami melangkah, di situlah Komang
berkhidmat sejenak kepada Tuhannya. Aku, menenggelamkan diriku ke dalam
romantika yang aku ciptakan sendiri. Mengajakku kepada sebuah nama yang kini
telah pergi. Ditelan bumi. Bumi yang hanya ada engkau dan dia saja yang hidup
di dalamnya.
Getir.
***
Komang berdiri tepat di
sampingku. Tak beradu mata. Sama-sama melemparkan pandangan pada hamparan air
yang begitu tenang. Ia menunjukkan satu desa di seberang sana. Desa dimana ia
dan orang yang ia kasihi telah pergi begitu saja.
Bagai diterbangkan angin.
“Pergi?”
“Kemana?”
Dua kata tanya menjadi
pembuka.
“Ke luar negeri.
Melanjutkan tradisi keluarganya”, Komang menjawab pelan.
“Pergi tanpa berita,
maksudnya?”, tanyaku sedikit datar.
“Oh, tidak. Kami
baik-baik saja selama di sini. Bahkan aku mengantarkan ia saat akan pergi”.
“Lalu?”
“Sekarang aku sudah tak
pernah tau lagi bagaimana keadaannya”.
Kita hentikan sejenak
dahulu sobat pembaca. Saya saja kadang buntu melanjutkannya. Ini kisah simple.
Dua insan yang tadinya kayak kelingking dan upil tiba-tiba menjadi saling tak
membutuhkan. Tak ada lagi sapa, chating apalagi telpon-telponan. Semua
terhenti, seperti kehilangan signal, bagaikan kehabisan pulsa atau hape
tenggelam di kuah sayur asam.
Putus hubungan.
Biasa saja bukan?
“Tapi Bli, kalau saja ada alasan mungkin aku
tak seperti ini. kami baik-baik saja selama ini”, Komang beralibi.
Kawan, kita tak harus
punya alasan untuk membenci seseorang. Terlalu jahat mungkin menggunakan kata
benci. Aku perhalus saja sedikit. Mungkin dia sibuk, barangkali dia butuh waktu
untuk sendiri, bisa saja di tempat dia sekarang akses komunikasi dibatasi.
“Selama lebih dari
setahun ?. Dia hanya ke luar negeri bukan luar angkasa ! ”.
Anggap saja dia sedang
menderita satu penyakit mematikan, stadium akhir. Ia sembunyikan agar kamu tak
ikut resah kalau tau penyakitnya. Ia sebetulnya masih seperti yang dulu, hanya
saja ia sengaja agar kamu pergi menjauh lalu bahagia dengan hidupmu sendiri,
tanpa dia. Mungkin…anggap saja ia terinspirasi dari drama-drama hits dari
Korea.
Ah, argumen tadi terlalu
mendayu-dayu. Entah itu maksudnya baik atau sebaliknya. Mungkin dia memang tak
sebebas seperti di sini menggunakan sosial media atau alat komunikasi. Mungkin
memang aturan di sana yang membatasi, atau ya dia benar-benar ingin konsentrasi
dengan aktivitasnya. Mungkin, kita berbaik sangka saja.
“Sepertinya bukan Bli”.
Kalau begitu, berarti ia
jenuh.
Deg
Komang bergeming. Hening.
Jenuh?
Kalau tak ingin aku sebut
bosan, risih atau muak.
“Tapi aku tak pernah
melihat itu selama ini Bli”
Tidak semua harus
terlihat kawan, sama kayak niat.
Mari lanjutkan
perjalanan…
Komang mengiyakan. Kami
tinggalkan danau yang indah ini. Desa yang tentram ini. Udara yang sejuk ini.
Dan Pura Hulundanu Batur yang penuh kedamaian ini. Komang mengajakku ke Monkey
Forest, sebuah wana wisata yang tak jauh dari kawasan Batur. Sebelum sampai di
Monkey Forest, kami berhenti sejenak menikmati keindahan danau dan Gunung Batur
dari Kintamani, sebuah siring permanen di tepi jalan yang telah dilengkapi
dengan pagar-pagar stainless yang kokoh.
Monkey Forest atau Wanara
Wana berarti hutan kera. Tempat wisata ini merupakan kawasan hutan sakral yang
terdapat dalam kawasan Ubud. Di tempat ini terdapat ratusan kera yang sudah
mendiami hutan ini lebih dari ratusan tahun lamanya. Kami berdua menghentikan
kendaraan. Memarkirkan lalu menuju loket masuk wisata. Di bagian depan
berderet-deret penjual barang oleh-oleh khas Bali. Kain lembut berwarna
mencolok, atau ukiran kayu sebagai penghias gantungan kunci. Kami melangkah
melewati, mulai memasuki kawasan hutan yang rindang.
Hutan, kera dan turis.
Tempat ini menjadi salah satu tempat favorit wisatawan. Asri, teduh dan penuh
kesejukkan. Ratusan kera bersahabat dekat dengan manusia. Di pulau ini, satu
hal yang bisa kita pelajari dari sikap turis mancanegara adalah kedekatan
mereka secara emosional dengan satwa-satwa. Mereka begitu menghargai keberadaan
makhluk lain sama halnya dengan manusia. Yang punya hak untuk hidup, hidup
bebas, tanpa kecemasan diburu, dikejar-kejar, dikurung, diperjualbelikan, atau
dibantai.
Kami memilih duduk di
bangku yang terbuat dari batu. Menghadap Pura Dalem Agung Padangtegal,
menyaksikan mereka yang berkhidmat di hadapan pengatur alam semesta yang mereka
imani. Komang menemaniku duduk, setelah sedari tadi sibuk mengambil gambar dari
kamera pro summer milikku.
“Suka Bli, dengan tempat ini ?”, Komang
bertanya tanpa menatap.
Aku menggangguk pelan.
“Tapi aku lebih suka
mendengar kelanjutan ceritamu”.
Komang tersenyum kecil.
Rambutnya yang ikal ia sisirkan ke belakang dengan jemari tangannya yang kasar.
Sobekkan celana jeans di lututnya seakan tak setuju dengan kisah perihnya.
Komang memulai kisah lamanya. Aku merekamnya, kemudian menuliskannya seperti
alinea berikut.
Ia pingsan. Kami melarikannya ke klinik terdekat. Sebagian
mencari kendaraan, sebagian menyibukkan diri membantu. Aku bergegas. Aku masuk
terlebih dulu ke dalam mobil. Ia dibaringkan di jok, kepalanya direbahkan di
pangkuanku. Aku sedikit cemas. Aku usap keringat di dahinya. Terasa hangat suhu
di badannya. Aku memanggil namanya pelan, menyemangatinya, memintanya bersabar
selama di perjalanan. Ia tak membuka matanya. Aku terus menjaganya, menahan
pundak kanannya dengan tangan kananku. Kulakukan agar ia tak terjatuh selama di
perjalanan. Kembali aku mengusap dahinya, satu adegan hidup yang tak pernah aku
alami sebelumnya.
Mobil mulai bergerak. Aku meminta sahabatku yang mengendarai
mobil agar tak terlalu kencang. Jalan tak mulus ini bisa membuat kondisinya
memburuk akibat guncangan mobil. Sahabatku mengiyakan, sambil menjelaskan
kondisi mobilnya yang memang sudah tua dan tak lagi prima. Tapi saat itu tak
ada pilihan, mobil tua itulah yang mengantarkan kami. Aku dan dia.
Komang berhenti sampai di
sini. Bulir di wajahnya seperti tertahan. Ia sedang menceritakan satu episod di
hidupnya yang begitu ia kenang. Bukan tentang budi yang harus berbalas, tapi
kasih yang bisa ia berikan begitu membekas. Terus membekas. Terus membekas….
Komang kembali
menceritakan, aku bergegas menyimak. Tentang kesetiaan. Bukan hanya di bagian
saat orang terkasihnya harus berkali-kali masuk klinik atau rumah sakit, tapi
juga episod lain seperti halnya kehidupan manusia lainnya. Tanpa pernah ada
perbedaan, tanpa pernah ada perdebatan, tanpa pernah ada amarah, rasa benci,
kecewa dan sederet kata-kata penyebab perpisahan. Tidak ada, tak pernah ada.
Jadi sangat wajar jika sekarang Komang seperti kehilangan akal sehat ketika
semua harus berakhir tanpa penjelasan, tanpa kejelasan.
Pukul dua dini hari. Ia berangsur pulih. Pulih setelah
sekitar empat jam ia mendapat perawatan intensif. Ia kami larikan kembali ke
klinik, padahal baru saja keluar jam lima sore.
Ia membuka matanya, hanya ada aku saat itu. Selainnya, hanya
tiang botol infuse, jarum suntik dan aroma tablet yang bikin perut mual. Ia
duduk bersandar, melihatku duduk di samping ranjang perawatan. Tatap matanya
terlihat sayup, entah apakah karena penyakitnya atau iba melihatku berjaga
menungguinya. Ia bertanya, mengapa belum tidur. Aku tersenyum kecil, lalu
berbohong dengan mengatakan bahwa aku sudah tidur waktu ia tidur. Ia kembali
bertanya, mengapa aku begitu baik untuknya. Kali ini aku tak bisa berbohong,
atau bahkan berkata jujur untuknya. Aku hanya diam, dan tak berani beradu tatap
dengannya.
“Apa maksud dari kalimat
terakhir ?”, aku bertanya kepada Komang.
Komang diam sejenak, lalu
melanjutkan.
“To be honest, aku merasa telah melunasi hutang dalam hidup sejak
merawatnya. Merawatnya berhari-hari, berkali-kali. Bli, ibuku telah meninggal ketika aku belum begitu mengerti. Ibuku
sakit berhari-hari atau berbulan-bulan lamanya, dan aku tak terlibat aktif
menjaganya. Sejak merawat dia, satu hal yang aku nikmati adalah aku merasa
diberi kesempatan untuk merawat orang lain. Penuh ketulusan, penuh keikhlasan, penuh
rasa kasih, dan curahan doa yang melangit. Jujur saja, selama merawatnya aku
jadi tau seperti apa rasanya berbakti, satu hal yang tak sempat aku lakukan
semasa ibuku diujung usianya”.
Aku menarik napas. Mulai
mengerti alur ceritanya. Mulai memahami seperti apa warna hatinya. Mulai
menarik satu kesimpulan tentang kehilangan yang ia rasakan.
**
Komang terlihat tegar. Kemudian
ia mengajakku ke tempat lain di Wanara Wana ini. Mencari mata air suci di bawah
patung komodo. Kami berjalan pelan mengitari, sambil sesekali berdiam
mengamati. Mengamati pohon Pule yang disakralkan untuk pembuatan topeng yang
hanya digunakan di dalam pura. Komang tak menghampiriku, tetapi tetap berdiri
berjarak denganku.
“Kami dulu sering ke
tempat ini Bli “.
“dan ia selalu berhenti
di tempat itu…”, Komang melanjutkan.
“Mengamati detail batang
kayu Pule ini ?”, aku bertanya.
“Benar”.
“Bukankah pohon ini
sejenis pohon yang biasa ditemui di pemakaman ?”, aku meneruskan.
“Iya benar, dan kadang
ada yang seperti mengeluarkan wewangian. Di beberapa tempat, pohon pule bisa
setinggi lebih dari 15 meter, dan mulai digemari penggiat tanaman bonsai”.
“Apa jenis ini juga bisa
sebagai obat-obatan?”, aku kembali bertanya.
“Sepertinya bukan, ada
jenis Pule Pandak yang semacam tanaman perdu”.
“Sudah cukup Bli, mari
kita ke tempat lain”, Komang menghentikan pembicaraan.
Entah ada apa dengan
Komang. Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggunya, mengingatkanku pada
kenangannya?. Aku tak bereaksi, hanya mengikutinya saja dari belakang. Tak
beberapa lama kami sudah sampai di pintu keluar. Masih banyak terlihat
wisatawan yang berada di tempat ini, mengambil gambar, melihat detil
relief-relief pahatan patung, atau sekadar memberi makan kera berekor panjang.
Kami memutuskan untuk meninggalkan tempat ini dan beranjak pulang kembali ke
kawasan Kuta.
Kisah Komang, hanya kisah
biasa. Tapi apa salahnya memadukan ceritanya dengan keindahan negeri yang
dilengkapi dengan tenangnya Danau Batur, hamparan Kintami atau keteduhan Wanara
Wana. Sebuah kisah yang terkenang kembali saat aku memintanya untuk melihat
keindahan danau dari tepian Pura Hulundanu Batur, satu tempat yang membuatnya
teringat kembali kisah rindunya, kisah kehilangannya, kisah berharganya.
Sobat pembaca, apa
hebatnya ditinggalkan. Apa pilunya ‘hanya’ ditinggalkan. Apa yang harus
disesali ketika harus ditinggalkan. Bukankah semua ada di agenda hidup manusia.
Bukankah semua sudah tertulis di suratan kita. Bukankah semua adalah sunatullah
yang mau tidak mau harus kita hadapi, harus kita jalani, harus kita lewati.
Hanya saja pertanyaannya kapan waktunya, apakah kita sudah siap atau tidak,
kuat atau tidak, ridho ataukah tidak.
Sobat pembaca, apakah dia
yang telah hilang adalah hembusan napasmu. Apakah tatapan matamu, atau
wewangian dari penciumanmu. Bukankah kita hanya kehilangan seseorang, yang kita
sendiri tak pernah tau apakah dari dia yang kelak mendatangkan kebahagiaan,
apakah dari dia yang kelak mengantarkan kita ke pintu jannah, apakah dari dia
yang akan menjaga kita dari kesalahan menapaki kehidupan sesudahnya. Seyakin
itukah kita, sehingga kehilangannya membuat kita seperti kehilangan akal sehat.
Hidup ini hanya sekilas teman, apa yang kita bayangkan belum tentu sesuai, apa
yang kita perkirakan belumlah pasti tepat perhitungan, apa yang kita mimpikan,
bukan jaminan menjadi indah. Ikhlaslah menjalani kehidupan ini, berserah diri,
lalu bermuhasabah mengevaluasi. Kita tak pernah tau siapa lagi yang datang
menghampiri kehidupan kita selanjutnya, jika ia baik maka kebaikan itu
sejatinya ujian apakah kita akan bersyukur dengan nikmat yang diberikan. Jika
yang datang tak baik, maka itupun sejatinya ujian apakah kita bisa ridho dan
tetap dekat dengan sang pencipta. Namun satu hal kawan, tak akan pernah ada
ujian, jika kita belum melewati lembaran-lembaran pelajaran.
Kami melaju pelan. Aku
kira kisah ini selesai. Akan tetapi belum. Komang memberhentikan kendaraannya
di sebuah coffeshop tepat menghadap siring persawahan di kawasan Ubud. Sebuah
cara tradisional petani Bali yang menggarap persawahan di tanah berundak. ‘Hanya’
persawahan, tetapi bukan Bali namanya jika tak mengundang decak kagum
wisatawan. Di tepi jalan arteri ini, sudah banyak penjaja souvenir. Juga
kantong-kantong parkir yang memudahkan bagi turis untuk bisa mengambil gambar.
Aku menikmati pemandangan ini. Sama seperti gambar yang biasanya ada di
kalender-kalender perkantoran. Dua gelas kopi pesanan kami datang. Komang
memesan jenis lokal, sementara aku memilih espresso. Jenis kopi yang berasal
dari Italia dan diolah hanya dengan mengambil ekstraknya melalui mesin
espresso. Kopi ini juga dikenal dengan sebutan short black, atau istimewa. Kopi ini tak disarankan bagi pemula
karena diracik tanpa tambahan apapun.
Aku menghirup aroma
espresso dari slot yang mungil ini, kemudian menyeruputnya perlahanan. Pahit.
Sungguh pahit. Aku bahkan tak bisa membedakan, mana yang lebih pahit, kopi ini
ataukah ceritaku.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar