Saatnya Pulang
-Pendakian Gunung Ceremai V Habis-
Beberapa saat di puncak
Gunung Ceremai. Angin bertiup kencang. Beberapa pendaki mulai berdatangan.
Matahari bersinar tanpa terhalang. Kami masih berjalan santai mengitari bibir
kawah. Puncak ini luas, jadi meskipun banyak pendaki yang berdatangan tidak
terlalu merepotkan. Kami beberapa saat kembali bersiap untuk kembali turun dan
menuju tenda. Puji syukur kehadirat Tuhan, kami bisa di tanah tertinggi dengan
selamat. Selanjutnya, kami masih harus tetap berkonsentrasi agar tetap selamat
hingga di gerbang pendakian.
Cerita saat turun
disingkat. Tak ada yang berbeda seperti halnya turun naik gunung biasanya. Dari
puncak menuju tenda, tak begitu menyita tenaga. Satu hal yang berbeda buatku
kali ini. Aku masih belum BAB. Aku juga lebih hemat air minum. Bahkan saat akan
turun gunung dari Pos V, kami memberikan beberapa botol air minum ke pendaki
lainnya.
Seingatku, jalur
pendakian gunung ini terasa nyaman. Jalur yang bersih, lebar dan dilengkapi
dengan papan informasi yang lengkap. Saat penurunan, kami juga bertemu dengan
rombongan dari Dinas Kehutanan atau dari Taman Nasional yang akan membuat film
dokumenter. Bapak-bapak berseragam dinas, yang mendaki terpisah-pisah sesuai
dengan kemampuan dan stamina.
Sekitar jam 4 sore, kami
sudah sampai kembali di gerbang pendakian. Dengan selamat, dan membawa beberapa
kantong sampah. Berphoto lagi, dan berucap puji dan syukur kehadirat Illahi.
Dari gerbang pendakian,
kami kembali dijemput Kang Didik. Lalu beristirahat sejenak di rumahnya. Regu
Bandung langsung melanjutkan perjalanan, sementara aku dan Bang Togi masih
harus menunggu jemputan dari Sumber-Cirebon. Selama menunggu, kami beristirahat
di kediaman Kang Didik.
Di rumah Kang Didiklah
segala hasrat tersalurkan. Saya ke bagian belakang rumah, untuk buang hajat dan
mandi. Tak berbeda dengan suasana kamar mandi di daerah pegunungan seperti ini,
air di kamar mandi melimpah ruah dan sangat dingin. Kamar mandinya semi
terbuka. Bahkan saat buang air pun kalau tidak ada yang jaga pintu dapur, bisa
saja terjadi hal memilukan. Akan tetapi buatku, tak masalah. Aku tetap saja
bisa dengan lega melakukannya. Buang air dan mandi. Perut lega. Badanku kembali
bersih dan wangi. Mandi di kamar mandi dengan air gunung yang sangat dingin, di
sisi kanan ada kebun kentang, di bagian belakang pegunungan dengan kebun bawang
daun, dan juga beberapa sayuran.
Kelar mandi, bergantian
dengan Bang Togi. Sudah disiapkan makanan dengan menu kacang merah, telur
goreng, tempe dan tahu. Juga lebih dahulu disiapkan teh panas. Si ibu rumah
sepertinya sangat paham dengan kondisi kami, saya lebih tepatnya. Jadi buatkan
minuman tidak hanya satu gelas, tapi disuguhkan juga lengkap dengan termos air
panas, teh sachetan dan gula. Jadinya, habis satu gelas, aku seduh lagi
segelas. Habis lagi segelas, aku tuang lagi segelas. Begitu seterusnya hingga
termos air panas terasa ringan. Benar-benar lega.
Aku juga teringat
kejadian begini juga pernah saat turun dari pendakian Gunung Raung dan sampai
di sebuah desa. Disitu ada pondok ibu tua. Kami mampir di situ dan minta
dibuatkan segelas (besar) teh panas. Memang ada benarnya, ada kalanya uang jadi
tak ada gunanya. Kalau saat di pendakian, kamu kehabisan bekal, kehausan, tak
ada sumber air. Bawa uang tapi tak ada yang jual.
Balik lagi ke cerita saat
di rumah Kang Didik. Dijamu, terus disuguhi makanan. Si ibu dan Kang Didik
sangat ramah. Senang rasanya. Mereka menikah saat usia belum genap duapuluh.
Dan sekarang puteri pertamanya sudah lulus SMA. Salut, mereka keluarga yang
bahagia. Pantas untuk dicontoh, bersegeralah menikah karena pintu rezeki akan
terbuka setelah menikah. Meski di usia yang terbilang muda, menikah tetap
pilihan terbaik daripada pacaran apalagi hidup membujang. Kalau kata orang
menikah di usia muda akan rentan terhadap masalah, sepertinya tak harus
dijadikan alasan. Karena masalah akan menimpa siapa saja. Baik yang menikah di
usia mapan, atau di usia belia. Apalagi yang belum menikah, masalah datang dari
berbagai arah.
Tak beberapa lama,
jemputan kami tiba. Kami pamit dan mengucapkan banyak terima kasih. Kami
perlahan meninggalkan kediamanan Kang Didik yang tepatnya di Kabupaten
Majalengka lalu kami meneruskan perjalanan menuju ke kediamanan Budi di
Cirebon.
Hari sudah mulai senja,
menikmati perjalanan saat itu sungguh sebuah keasyikan tersendiri. Melewati
turunan dengan pemandangan perkebunan yang hijau. Satu cerita ingin aku
tuliskan lagi di sini. Jadi pada saat di perjalanan, si driver sudah menduga
saya akan mencari masjid untuk shalat. Saat itu memang sudah masuk waktu
maghrib. Hanya saja kami masih di daerah pedesaan, masih tak mudah menemukan
masjid di pinggir jalan. Si driver berjanji akan mengantarkan saya ke masjid
sebelum isya. Aku katakan, “santai saja, aku bisa menjama’nya saat di rumahm
nanti”.
Satu hal tentang si
driver ini. Orang kelahiran Jakarta. Yang kalau bicara logat Jakartanya kental
sekali. Beda dengan Bang Togi yang memang berdarah Sumatera Utara. Kalau aku,
kata Bang Togi terdengar berlogat melayu. Benar saja, negeri ini punya ragam
dialek yang unik. Tak ada yang superior dalam hal ini –harusnya-.
Seperti halnya dialek
orang Jakarta lainnya, si driver kudengar fasih jika bercerita. Tak jarang ada
makian dan gerutuan. Mungkin khas orang-orang sekarang, yang membubuhkan
sebutan-sebutan tak pantas menjadi kebiasaan. Aku yang memang sudah bisa maklum
dengan umumnya karakter seorang driver, -meski tidak bisa digeneralisir-, hanya
sesekali tersenyum mendengar kisah dan cerita-ceritanya. Cerita tentang akamsi,
klakson mobil, macet di Jakarta, perempuan Indramayu, sabung ayam di Cirebon
ataupun harga burung di Kalimantan. Si driver memang terlihat punya banyak
pengalaman. Akan tetapi satu hal sahabat pembaca, meski demikian si driver
tetap memikirkan dimana aku akan diantarnya untuk sembahyang.
Begitu juga saat pulang
ke esokannya, si driver juga yang mempersilakan aku shalat dulu di satu masjid
dan mereka menunggu di pom bensin pertamina.
Keren. Salut. Orang
seperti begini terasa jauh lebih menghargai dari mereka yang fasih berbicara
tentang ‘kebenaran’ setiap saat.
Balik lagi ke cerita saat
perjalanan pulang menuju kediaman Budi di Sumber. Hari sudah gelap, kami mampir
mencari makan malam. Cari yang spresial dan asli lokal tetapi tak ketemu.
Dapatnya yang dekat rumah Budi saja. Itupun menu yang kami pilih, yang tak
biasa. Saya lupa namanya, tapi yang jelas itu adalah nasi goreng yang dimasak
bersamaan dengan mie goreng. Dicampur dalam satu tempat. Enak.
Sampai di rumah Budi,
malam dan istirahat lagi sejenak.
Pagi. Bangun pagi. Kami
yang tidur di kamar lantai dua melihat ke luar jendela. Apa yang tampak. Ada
hamparan sawah yang hijau luas dengan latar Gunung Ceremai yang gagah. Sungguh
indah.
Aku mengajak Bang Togi
untuk jalan-jalan sekitaran rumah. Rumah Budi seperti komplek perumahan, yang
katanya tetangga-tetangganya adalah keluarga juga. Di ujung perumahan sudah
terbentang persawahan dan ada juga kolam
ikan. Aku dan Bang Togi berjalan lebih jauh. Tak lupa photo-photo lagi di
tengah sawah dengan latar gunung yang barusan kami daki. Berjalan terus hingga
mampir di satu warung. Kami menghabiskan dua gelas besar teh panas, segelas
kopi, dua bungkus nasi kuning, tempe goreng, pisang goreng, bakwan total tiga
belas ribu rupiah.
Sudah kenyang, kami
kembali ke rumah. Di rumah sudah disediakan juga sarapan pagi. Di desa itu yang
berbeda di tempatku saat sarapan adalah menu lontong. Lontong yang ukurannya
tak terlalu besar itu dibuat dengan daun pisang, dan biasa dijadikan menu
sarapan pagi.
Pagi, bersih-bersih dan
bersiap untuk kembali ke Jakarta. Saat akan pulang, bibinya Budi datang
mengantarkan makanan untuk kami santap lagi sebelum jalan. Rezeki, jangan
sampai diacuhkan. Kami tak buang waktu, segera cuci tangan dan menuntaskan
semuanya tanpa halangan. Alhamdulillah.
Perjalanan menuju Jakarta
terbilang lancar. Masih lewat tol yang sama. Yang jalannya panjang dan luas. Di
beberapa kilometer ada terlihat kecelakaan. Semoga pengemudi dan penumpangnya
selamat. Sampai di Jakarta, kami mampir makan lagi. Di rumah makan Ayam Geprek
Bensu yang ngartis itu. Setelah itu aku menunggu Damri untuk ke Soeta. Penerbangan
baru akan besok paginya. Jadinya seperti biasa, ngemper dulu di Soeta. Tapi
kali ini aku ada di terminal yang baru, mewah dan banyak fasilitas. Bisa
ngemper di kursi yang memang tak banyak penumpangnya. Di bawah kursi ada
colokan buat charge hape. Perjalanan
selesai. Tak sempat beli oleh-oleh karena perjalanan lewat tol. Aku sempatkan
beli makanan ala-ala kota. Beli di airport.
Bentuknya kayak pasta dan keju-keju mahal begitu. Ditaruh di oven, di tempat
yang ada kertas aluminiumnya. Harganya berkali lipat dari kue terang bulan yang
mangkal di gang rumah. Tapi kata orang rumah, enak. Aku pun coba, rasanya aneh,
tapi enak. Aku tak percaya, kucoba secuil lagi. Masih enak. Kuulangi dengan
potongan yang lebih besar lagi. Aku rasakan, dan kali ini rasanya memang
benar-benar enak.
Sekian dulu yak.
Terima kasih.
Terus lah menulis sahabat ...
BalasHapusPenasaran ama makanan trakhir yg di cicip di bandara hehehe
BalasHapusMakasih sahabat....
BalasHapusNgga tau apa itu nama makanannya, hehe