Laman

Kamis, 27 Maret 2014

Surat Untuk Kalet

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan yang berjudul Namaku Kalet sebagai Pemenang Ke-2 Lomba Penulisan Blog Hutan oleh Greenpeace Indonesia.


Dear Kalet.

Apa kabar di sana? Semoga bumi kalimantan masih hijau dan bertajuk tinggi. Yak, bukan sekadar hijau, seperti tanah Riau, tetapi juga harus memiliki batang pohon yang tinggi, ranting yang lebar serta ragam tanaman yang berbeda. Bumi Riau memang masih hijau, hanya saja Om Nugie jadi kuatir, dimanakah kawanan Owa yang terbiasa bermain di dahan berada, begitu juga dengan Rangkong yang lebih senang berada di pucuk-pucuk tertinggi.

Di satu kesempatan, Om Nugie berbicara banyak dengan Pak Dahlan warga Desa Dosan Kabupaten Siak, Riau. Di tengah hamparan kebun sawit ramah lingkungan yang luas, Pak Dahlan perlihatkan sebuah hutan kecil dimana ada danau di tengahnya. Nama danau ini Naga Sakti, lucu ya… mirip nama tokoh kartun yang biasa Kalet tonton. Nanti kalau Om Nugie sudah sampai di Borneo, akan Om ceritakan kenapa namanya Naga Sakti. Saat ini yang ingin Om katakan, bahwa kita di Borneo harus banyak-banyak bersyukur karena masih bisa melihat keindahan pohon yang tinggi dan banyak di sekitar tinggal kita. Sungguh, apa yang diperlihatkan Pak Dahlan saat itu membuat Om Nugie merasa sangat prihatin dengan kondisi di sana. Bagaimana tidak, hutan kecil dengan danau kecil*) menjadi satu-satunya lokasi ‘penghibur’ diantara bergantinya hutan dengan kebun-kebun sawit yang luas.

Danau Naga Sakti


Dari rumah Pak Dahlan, Om Nugie bersama rombongan **), menuju Desa Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan. Dalam perjalanan itu, terlihat kepulan asap membumbung sangat tinggi. Lahan di tanah ini masih terbakar. Sungguh sedih melihatnya. Dan karena jenis tanah di Riau ini berupa gambut seperti halnya yang tersebar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, cara memadamkan apinya juga berbeda dengan di tanah aluvial atau non gambut. Tidak seperti membuang air dari dalam ember saja, tetapi harus gunakan pipa air, lalu pipanya dimasukkan ke dalam tanah, supaya apinya benar-benar mati. Karena kalau tidak, api akan terus membakar dari dalam tanah, meskipun di permukaannya sudah terlihat padam.

Kebakaran Lahan Riau

Setiba di Desa Teluk Meranti, Om Nugie disambut warga setempat yang ramah, dan mereka bercerita banyak tentang kehidupannya. Tak jauh berbeda dengan kehidupan kita di Kalimantan, hanya saja mereka lebih menggantungkan hidupnya dari hasil Sungai Kampar. Dan perbedaannya, sekarang ini hasil tangkapan ikan mereka menjadi lebih sedikit.

Keberadaan hutan di sekitar desa ini juga semakin berkurang, dengan beralih fungsinya beberapa lahan menjadi kebun sawit dan tanaman akasia. Om Nugie kembali membayangkan, jika di tempat kita suatu saat akan berubah seperti di Riau ini, kita tak akan lagi bisa berenang di sungai dengan nyaman, kita tak akan lagi bisa melihat ragam burung-burung di pucuk dahan, dan kita tak mungkin lagi bisa menikmati buah-buahan hutan yang manis itu. Yak, itu kalau hutan-hutan kita berubah jadi kebun sawit ataupun akasia.

Di desa ini juga terkenal dengan fenomena gelombang air sungai yang biasa dibuat untuk berselancar. Dan beberapa bulan terakhir, Bono (nama gelombang ini) semakin ramai dikunjungi wisatawan. Hanya saja sayang, Bono-nya hanya ada di bulan nopember – desember saja, jadi Om Nugie belum bisa melihatnya.

Dari Desa Teluk Meranti, perjalanan lanjut ke Suaka Margasatwa Kerumutan.  Suaka Margasatwa itu hutan yang tidak boleh ditebang pohon-pohonnya, begitu juga dengan binatang-binatangnya tidak boleh diburu. Om Nugie dan teman-teman menyusuri sungai ini pagi-pagi sekali. Sungai yang indah, dengan tampilan hutan di kanan kirinya yang masih asri. Begitu banyak jenis burung yang melintas, kera dan tupai juga tampak menyambut. Pohon-pohon di sini juga masih rindang, tak jauh berbeda dengan pohon-pohon yang ada saat menuju ke desa Kalet di pedalaman Kalimantan ***).

Di beberapa bagian, terlihat rumah apung. Ada Nenek Rosma yang Om Nugie kunjungi. Nenek ini sungguh baik. Beliau bercerita banyak tentang kehidupannya di hutan ini. Mencari ikan dengan cara meletakkan jala ataupun jerat. Hasilnya sudah tak banyak lagi, sudah berbeda dengan beberapa tahun silam. Meski demikian Nenek Rosma, masih tetap mensyukuri hidupnya seperti ini.

Nenek Rosma

Selain Nenek Rosma, di hulu sungai Om Nugie juga berbincang dengan Ibu Nenen. Bu Nenen ini sedang mengambil hasil tangkapan ikannya dengan perahu. Bu Nenen bersemangat ketika ada ikan-ikan salai yang menyangkut di jeratannya. Bu Nenen ini kalau bercerita selalu sambil tertawa. Sungguh senang mendengar cerita dan keceriannya.

Bu Nenen di Sungai Kerumutan

Lalu, Om Nugie diajak untuk melihat sebuah lokasi pencurian kayu di hutan yang seharusnya tidak boleh menebang pohon. Ada Pak Awaludin yang cerita banyak tentang perilaku pencuri kayu ini. Mereka, selain mencuri kayu, juga sering merusak jerat ikan nelayan saat melintas membawa kayu-kayu ilegalnya di aliran sungai ini. Dan tak jarang, mereka juga mencuri ikan yang ada di jeratan para nelayan. Sungguh miris. Kalau di tempat kita, para pencuri ini sudah dikenakan sangsi adat yak.

Pembalakan Liar di Kerumutan

Perjalanan selanjutnya, Om Nugie tiba di tempat gajah-gajah sumatra mandi ****). Hehe, Om Nugie ikut menunggang gajah juga. Iya, karena gajahnya besar sekali, jadi tetap kuat untuk ditunggangi meski Om Nugie juga sudah berat yak. Om Nugie juga berkenalan dengan Mahot. Mahot itu orang yang selalu menemani si Gajah mandi dan kegitan lainnya. Masing-masing mahot itu, diberi tugas menemani satu gajah. Lucu, gajah-gajah ini juga punya nama. Yang besar namanya Rahman, lalu ada Tessa, Nayla, Imot dan lain-lain. Kalau sama gajah, itu bicaranya sama seperti manusia. Gajahnya mengerti bahasa Indonesia, hehe.

Para Mahot Cantik bersama Tesso dan Nayla

Selain gajah-gajah yang dirawat, di tempat ini juga banyak gajah liar. Om Nugie melintas hutan untuk melihat jejak-jejak gajah liar. Jejaknya bisa berupa jejak kaki, dan ada juga jejak kotorannya. Di sana, kotoran gajah disebut Bolu, mungkin karena bentuknya seperti kue bolu tapi versi jumbo.

Kalet di Kalimantan, cerita Om Nugie segini dulu. Nanti kalau Om Nugie tiba di Kalimantan, akan diceritakan lebih lengkap. Bercerita di pinggir Sungai Sekatak, sambil berenang tentu lebih asyik. Om Nugie masih di Jakarta, dan besok akan mendaki gunung lagi ke Sindoro. Setelah dari sini, Om Nugie akan berusaha meyakinkan bahwa Kebun Kelapa Sawit bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf ekonomi. Jikapun harus menanam sawit, untuk mendapatkan hasil yang baik bukan dengan cara meluaskan lahannya, tetapi dengan perawatan yang benar. Seperti satu pohon tomat, bisa menghasilkan banyak buah, tidak harus dengan menanam banyak pohon tomatnya, tetapi dengan pemupukan dan pemilihan bibit unggul. Seperti itu kira-kira. Dan satu lagi, kalau areal hutan sudah berubah menjadi kebun sawit semua seperti yang Om Nugie lihat, suhu udara jadi lebih panas, yang akhirnya kita akan butuh listrik lagi dan beli kipas angin. Masih lebih enak di tempat Kalet, meski tanpa kipas angin, udara dari Pohon Manggeris yang rindang itu cukup menyeka peluh keringat kita.

Udah dulu ya ceritanya, kita sambung lagi nanti di sana.




Om Nugie, di Jakarta.


-----------------------------


Catatan :

*)            : Kawasan Konservasi Danau Naga Sakti adalah kawasan hutan yang berada di Desa Dosan, Kecamatan Pusako, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Luas kawasan ini  adalah 400 ha, dengan danau di tengahnya seluas 4 ha. 

**)         : Rombongan ini dalam rangka mengikuti Perjalanan Bearing Witness oleh Greenpeace Indonesia. Perjalanan ini adalah hadiah bagi 3 orang pemenang Kompetisi Penulisan Blog Hutan oleh Greenpeace Indonesia. Selain diikuti 3 Blogger pemenang, agenda ini juga menyertakan Greeneration, MDBC (www.malesbanget.com), dan RACK Digital sebagai mitra Greenpeace untuk mengkampanyakan semangat #ProtectParadise

***)      : Desa si Kalet berada di Pedalaman Kalimantan Utara, tepatnya di hulu Sungai Sekatak, Kabupaten Bulungan. Nama desa ini adalah Desa Semeriot.

****)    : Gajah ini berada di Taman Nasional Tesso Nilo. Taman Nasional Tesso Nilo adalah sebuah taman nasional yang terletak di provinsi Riau, Indonesia. Taman nasional ini diresmikan pada 19 Juli 2004 dan mempunyai luas sebesar 38.576 hektare.
Kawasan yang masuk wilayah taman nasional ini adalah kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Hingga kini di sekelilingnya masih terdapat kawasan HPH.
Terdapat 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo. Tesso Nillo juga adalah salah satu sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan merupakan kawasan konservasi gajah.
Sepotong jalan milik PT. Riau Andalas Pulp and Paper membelah taman nasional ini. Dilaporkan bahwa pemerintah provinsi berencana untuk memutus jalan ini agar mengurangi kegiatan pembalakan liar (illegal logging). (Wikipedia)


11 komentar:

  1. Om, sudah sampai Kalimantan belum? Salam untuk Kalet :))

    BalasHapus
  2. seru kayaknya ke sana...salam kenal om

    BalasHapus
  3. Om Nugie apa kabar? salam kenal ya..saya temannya om Iman :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kabar baik. Oh temennya Om Iman? Om Imannya masih jalan, belom pulang-pulang.

      Hapus
  4. Ditunggu sambungan ceritanya om...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, sudah menunggu cerita selanjutnya.

      Hapus
  5. penasaran dengan cara pemadaman api nya, om nugie ada foto nya ga??
    btw jadi ingat 'gajah kerdil nya kalimantan :)

    BalasHapus
  6. Surat untuk kalet dikirim lewat Pos ya om? Nanti om ambilkan di Koperasi ya baru tak titip di kantornForestsry unt dikirim ke Sekatak...ingat ole2 dari Riau ya Om, ole2 Meminjam Catatan Ilalang baru sempat baca malam ini....

    BalasHapus
  7. Pengen jga dong angkat cerita tentang anak suku pedalaman katanya konon perawakan mereka itu unik dan pendek2

    BalasHapus