Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan yang berjudul Namaku Kalet sebagai Pemenang Ke-2 Lomba Penulisan Blog Hutan oleh Greenpeace Indonesia.
Dear Kalet.
Apa kabar di sana? Semoga bumi kalimantan masih hijau dan
bertajuk tinggi. Yak, bukan sekadar hijau, seperti tanah Riau, tetapi juga
harus memiliki batang pohon yang tinggi, ranting yang lebar serta ragam tanaman
yang berbeda. Bumi Riau memang masih hijau, hanya saja Om Nugie jadi kuatir,
dimanakah kawanan Owa yang terbiasa bermain di dahan berada, begitu juga dengan
Rangkong yang lebih senang berada di pucuk-pucuk tertinggi.
Di satu kesempatan, Om Nugie berbicara banyak dengan Pak
Dahlan warga Desa Dosan Kabupaten Siak, Riau. Di tengah hamparan kebun sawit
ramah lingkungan yang luas, Pak Dahlan perlihatkan sebuah hutan kecil dimana
ada danau di tengahnya. Nama danau ini Naga Sakti, lucu ya… mirip nama tokoh
kartun yang biasa Kalet tonton. Nanti kalau Om Nugie sudah sampai di Borneo,
akan Om ceritakan kenapa namanya Naga Sakti. Saat ini yang ingin Om katakan,
bahwa kita di Borneo harus banyak-banyak bersyukur karena masih bisa melihat
keindahan pohon yang tinggi dan banyak di sekitar tinggal kita. Sungguh, apa
yang diperlihatkan Pak Dahlan saat itu membuat Om Nugie merasa sangat prihatin
dengan kondisi di sana. Bagaimana tidak, hutan kecil dengan danau kecil*)
menjadi satu-satunya lokasi ‘penghibur’ diantara bergantinya hutan dengan
kebun-kebun sawit yang luas.
Danau Naga Sakti |
Dari rumah Pak Dahlan, Om Nugie bersama rombongan **),
menuju Desa Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan. Dalam perjalanan itu, terlihat
kepulan asap membumbung sangat tinggi. Lahan di tanah ini masih terbakar.
Sungguh sedih melihatnya. Dan karena jenis tanah di Riau ini berupa gambut seperti halnya yang
tersebar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, cara memadamkan
apinya juga berbeda dengan di tanah aluvial atau non gambut. Tidak
seperti membuang air dari dalam ember saja, tetapi harus gunakan pipa air, lalu
pipanya dimasukkan ke dalam tanah, supaya apinya benar-benar mati. Karena kalau
tidak, api akan terus membakar dari dalam tanah, meskipun di permukaannya sudah
terlihat padam.
Kebakaran Lahan Riau |
Setiba di Desa Teluk Meranti, Om Nugie disambut warga
setempat yang ramah, dan mereka bercerita banyak tentang kehidupannya. Tak jauh
berbeda dengan kehidupan kita di Kalimantan, hanya saja mereka lebih menggantungkan
hidupnya dari hasil Sungai Kampar. Dan perbedaannya, sekarang ini hasil
tangkapan ikan mereka menjadi lebih sedikit.
Keberadaan hutan di sekitar desa ini juga semakin berkurang,
dengan beralih fungsinya beberapa lahan menjadi kebun sawit dan tanaman akasia.
Om Nugie kembali membayangkan, jika di tempat kita suatu saat akan berubah
seperti di Riau ini, kita tak akan lagi bisa berenang di sungai dengan nyaman,
kita tak akan lagi bisa melihat ragam burung-burung di pucuk dahan, dan kita
tak mungkin lagi bisa menikmati buah-buahan hutan yang manis itu. Yak, itu
kalau hutan-hutan kita berubah jadi kebun sawit ataupun akasia.
Di desa ini juga terkenal dengan fenomena gelombang air
sungai yang biasa dibuat untuk berselancar. Dan beberapa bulan terakhir, Bono
(nama gelombang ini) semakin ramai dikunjungi wisatawan. Hanya saja sayang,
Bono-nya hanya ada di bulan nopember – desember saja, jadi Om Nugie belum bisa
melihatnya.
Dari Desa Teluk Meranti, perjalanan lanjut ke Suaka
Margasatwa Kerumutan. Suaka Margasatwa
itu hutan yang tidak boleh ditebang pohon-pohonnya, begitu juga dengan
binatang-binatangnya tidak boleh diburu. Om Nugie dan teman-teman menyusuri
sungai ini pagi-pagi sekali. Sungai yang indah, dengan tampilan hutan di kanan
kirinya yang masih asri. Begitu banyak jenis burung yang melintas, kera dan
tupai juga tampak menyambut. Pohon-pohon di sini juga masih rindang, tak jauh
berbeda dengan pohon-pohon yang ada saat menuju ke desa Kalet di pedalaman
Kalimantan ***).
Di beberapa bagian, terlihat rumah apung. Ada Nenek Rosma
yang Om Nugie kunjungi. Nenek ini sungguh baik. Beliau bercerita banyak tentang
kehidupannya di hutan ini. Mencari ikan dengan cara meletakkan jala ataupun
jerat. Hasilnya sudah tak banyak lagi, sudah berbeda dengan beberapa tahun
silam. Meski demikian Nenek Rosma, masih tetap mensyukuri hidupnya seperti ini.
Nenek Rosma |
Selain Nenek Rosma, di hulu sungai Om Nugie juga berbincang
dengan Ibu Nenen. Bu Nenen ini sedang mengambil hasil tangkapan ikannya dengan
perahu. Bu Nenen bersemangat ketika ada ikan-ikan salai yang menyangkut di
jeratannya. Bu Nenen ini kalau bercerita selalu sambil tertawa. Sungguh senang
mendengar cerita dan keceriannya.
Bu Nenen di Sungai Kerumutan |
Lalu, Om Nugie diajak untuk melihat sebuah lokasi pencurian
kayu di hutan yang seharusnya tidak boleh menebang pohon. Ada Pak Awaludin yang
cerita banyak tentang perilaku pencuri kayu ini. Mereka, selain mencuri kayu,
juga sering merusak jerat ikan nelayan saat melintas membawa kayu-kayu
ilegalnya di aliran sungai ini. Dan tak jarang, mereka juga mencuri ikan yang
ada di jeratan para nelayan. Sungguh miris. Kalau di tempat kita, para pencuri
ini sudah dikenakan sangsi adat yak.
Pembalakan Liar di Kerumutan |
Perjalanan selanjutnya, Om Nugie tiba di tempat gajah-gajah sumatra
mandi ****). Hehe, Om Nugie ikut menunggang gajah juga. Iya, karena gajahnya
besar sekali, jadi tetap kuat untuk ditunggangi meski Om Nugie juga sudah berat
yak. Om Nugie juga berkenalan dengan Mahot. Mahot itu orang yang selalu
menemani si Gajah mandi dan kegitan lainnya. Masing-masing mahot itu, diberi
tugas menemani satu gajah. Lucu, gajah-gajah ini juga punya nama. Yang besar
namanya Rahman, lalu ada Tessa, Nayla, Imot dan lain-lain. Kalau sama gajah,
itu bicaranya sama seperti manusia. Gajahnya mengerti bahasa Indonesia, hehe.
Para Mahot Cantik bersama Tesso dan Nayla |
Selain gajah-gajah yang dirawat, di tempat ini juga banyak
gajah liar. Om Nugie melintas hutan untuk melihat jejak-jejak gajah liar. Jejaknya
bisa berupa jejak kaki, dan ada juga jejak kotorannya. Di sana, kotoran gajah
disebut Bolu, mungkin karena bentuknya seperti kue bolu tapi versi jumbo.
Kalet di Kalimantan, cerita Om Nugie segini dulu. Nanti kalau
Om Nugie tiba di Kalimantan, akan diceritakan lebih lengkap. Bercerita di
pinggir Sungai Sekatak, sambil berenang tentu lebih asyik. Om Nugie masih di
Jakarta, dan besok akan mendaki gunung lagi ke Sindoro. Setelah dari sini, Om
Nugie akan berusaha meyakinkan bahwa Kebun Kelapa Sawit bukan satu-satunya
jalan untuk meningkatkan taraf ekonomi. Jikapun harus menanam sawit, untuk
mendapatkan hasil yang baik bukan dengan cara meluaskan lahannya, tetapi dengan
perawatan yang benar. Seperti satu pohon tomat, bisa menghasilkan banyak buah,
tidak harus dengan menanam banyak pohon tomatnya, tetapi dengan pemupukan dan
pemilihan bibit unggul. Seperti itu kira-kira. Dan satu lagi, kalau areal hutan
sudah berubah menjadi kebun sawit semua seperti yang Om Nugie lihat, suhu udara
jadi lebih panas, yang akhirnya kita akan butuh listrik lagi dan beli kipas
angin. Masih lebih enak di tempat Kalet, meski tanpa kipas angin, udara dari
Pohon Manggeris yang rindang itu cukup menyeka peluh keringat kita.
Udah dulu ya ceritanya, kita sambung lagi nanti di sana.
Om Nugie, di Jakarta.
-----------------------------
Catatan :
*) : Kawasan
Konservasi Danau Naga Sakti adalah kawasan hutan yang berada di Desa Dosan, Kecamatan
Pusako, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Luas kawasan ini adalah 400 ha, dengan danau di tengahnya
seluas 4 ha.
**) : Rombongan
ini dalam rangka mengikuti Perjalanan Bearing Witness oleh Greenpeace Indonesia.
Perjalanan ini adalah hadiah bagi 3 orang pemenang Kompetisi Penulisan Blog
Hutan oleh Greenpeace Indonesia. Selain diikuti 3 Blogger pemenang, agenda ini
juga menyertakan Greeneration, MDBC (www.malesbanget.com),
dan RACK Digital sebagai mitra Greenpeace untuk mengkampanyakan semangat
#ProtectParadise
***) : Desa si Kalet
berada di Pedalaman Kalimantan Utara, tepatnya di hulu Sungai Sekatak,
Kabupaten Bulungan. Nama desa ini adalah Desa Semeriot.
****) : Gajah ini berada di Taman Nasional Tesso Nilo. Taman
Nasional Tesso Nilo adalah sebuah taman
nasional yang terletak di provinsi Riau, Indonesia.
Taman nasional ini diresmikan pada 19 Juli 2004 dan mempunyai luas sebesar
38.576 hektare.
Kawasan yang masuk wilayah taman
nasional ini adalah kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri
Hulu. Hingga kini di sekelilingnya masih terdapat kawasan HPH.
Terdapat 360 jenis flora yang
tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, tiga
jenis primata,
50 jenis ikan, 15
jenis reptilia
dan 18 jenis amfibia
di setiap hektare Taman Nasional Tesso Nilo. Tesso Nillo juga adalah salah satu
sisa hutan dataran rendah yang menjadi tempat tinggal 60-80 ekor gajah dan merupakan
kawasan konservasi gajah.
Sepotong jalan milik PT. Riau Andalas
Pulp and Paper membelah taman nasional ini. Dilaporkan bahwa pemerintah
provinsi berencana untuk memutus jalan ini agar mengurangi kegiatan pembalakan
liar (illegal logging). (Wikipedia)
Om, sudah sampai Kalimantan belum? Salam untuk Kalet :))
BalasHapusBelum, Om-nya masih ngeluyur.hehe.
Hapusseru kayaknya ke sana...salam kenal om
BalasHapusSalam kenal juga. Makasih.
HapusOm Nugie apa kabar? salam kenal ya..saya temannya om Iman :-D
BalasHapusKabar baik. Oh temennya Om Iman? Om Imannya masih jalan, belom pulang-pulang.
HapusDitunggu sambungan ceritanya om...:)
BalasHapusTerima kasih, sudah menunggu cerita selanjutnya.
Hapuspenasaran dengan cara pemadaman api nya, om nugie ada foto nya ga??
BalasHapusbtw jadi ingat 'gajah kerdil nya kalimantan :)
Surat untuk kalet dikirim lewat Pos ya om? Nanti om ambilkan di Koperasi ya baru tak titip di kantornForestsry unt dikirim ke Sekatak...ingat ole2 dari Riau ya Om, ole2 Meminjam Catatan Ilalang baru sempat baca malam ini....
BalasHapusPengen jga dong angkat cerita tentang anak suku pedalaman katanya konon perawakan mereka itu unik dan pendek2
BalasHapus