Sebiji dzarrah, sepuluh imbalan
ataukah tujuh naungan seakan kembali menohok dan menikam mempertanyakan. Sekali
lagi, ini bukan tentang seberapa kuat melalap tumpukkan kitab atau tegaknya
rakaat, tetapi ini tentang sebuah aksi nyata tanpa tanya yang akan bersaing
dengan kebaikan seorang pelacur yang memberikan minum pada seekor anjing yang
kehausan lalu mendapatkan syurga.
Badannya kurus dan tampak kusam. Rambutnya
ikal tak beraturan. Selimut tipis dibiarkan tak menutupi keseluruhan badannya. Selang
infuse, air mineral hingga roti sobek menjadi pemandangan disampingnya,
membuatku memberanikan diri memasuki ruangannya lalu menyapa. Ia memang sering
terlihat sendiri di ruangan yang seharusnya berisikan dua orang pasien. Tanpa
teman, tanpa sanak keluarga. Setelah kusapa akhirnya ia bercerita.
Demam tinggi yang terkadang
menyerang tanpa aba-aba, menggigil bagaikan berada di dalam sebuah lemari es
dua pintu, hingga nyeri sakit kepala yang tiada tara. Belum ditambah harus
buang air besar berkali-kali, atau seakan bibirnya bergerak menyerong ke kiri
atau ke kanan akibat demam panas di badan. Ia baru beberapa hari di kampung
ini, bekerja memikul kayu hasil gesekan di hutan yang dilansir ke pinggir jalan
atau ke muara sungai. Sebuah aktivitas “illegal logging” berkedok kebutuhan
masyarakat lokal, yang nyatanya melibatkan pekerja dari pulau seberang dan
di”boss”in oleh pengusaha setempat. Berlakulah kegiatan penebangan kayu di
hutan alam secara terorganisir dan terlihat natural.
Seperti pria muda ini, adalah
seorang dari tanah bugis datang mencari rupiah dengan menjual kekuatan
tubuhnya. Hingga sebuah penyakit khas hutan tropis malaria, menyerangnya. Ia
sendirian melawannya, tanpa kawan, atau isteri tersayang.
***
Hari ini adalah hari ke tigabelas
aku mendampingi seorang teman berjuang menormalkan kembali suhu badannya,
tekanan darahnya atau pening di kepalanya. Positif idap typoid membuatnya harus
beristirahat panjang. Dalam tigabelas hari, dua kali harus masuk kembali ke
puskesmas dan satu kali dirujuk ke rumah sakit di kota masih belum mampu
membuat kesehatannya stabil.
Dalam satu episod, kukerahkan
segenap yang aku bisa untuk meringankan segala bebannya. Menyeka keringat di
dahinya, menyuapkan sirup obat hingga membiarkan kepalanya ada di pangkuan saat
merujuknya menggunakan kendaraan. Tak ada yang istimewa memang, selain di satu
kesempatan aku hanya merasa ada bagian yang tertinggal dalam kehidupanku kini
seakan terulang kembali. Bagian yang seharusnya aku berada di adegan itu dan
mendedikasikan semuanya sebagai timbal balas atau keharusan sebagai seorang
anak tercinta.
Ya!, satu adegan dimana aku
menyadari begitu “lelahnya” menjadi perawat. Lelah, jika hal itu menjadi beban,
tetapi nikmat jika yang kau lakukan adalah sebuah perwujudan dari penebus
kesalahan di masa lalu. Adegan dimana seharusnya kedua orang terbaik dan
tercinta di dalam hidupku harus berjuang melawan sakitnya, sementara aku, anaknya
tak begitu optimal atau bahkan tak memiliki andil apapun hingga akhir napasnya.
Kepergian sang bunda memang
kusaksikan dengan seksama. Namun mungkin usia yang masih menggendong ransel
sekolah membuatku seakan linglung atau tak mengerti apa yang tengah berlaku
atau takdir yang terjadi. Sementara beberapa waktu kemudian, sang ayahpun
menyusul juga dengan drama terbaring sakit sementara aku tak berada di sisinya.
Sudahlah.
Sudah terjadi memang.
Tak
perlu disesali.
Dan tak perlu mengucap kata ‘seandainya’.
Sudah.
Kini yang ada di hadapanku adalah
sama. Sesosok manusia yang juga butuh bukti apa arti sebuah pertemanan. Sebuah
janji yang seakan menagih apa artinya komitmen keimanan. Secarik ulasan tentang
refleksi barisan redaksi hadits nilai-nilai kebajikan. Sebiji dzarrah, sepuluh
imbalan ataukah tujuh naungan seakan kembali menohok dan menikam
mempertanyakan. Sekali lagi, ini bukan tentang seberapa kuat melalap tumpukkan
kitab atau tegaknya rakaat, tetapi ini tentang sebuah aksi nyata tanpa tanya
yang akan bersaing dengan kebaikan seorang pelacur yang memberikan minum pada
seekor anjing yang kehausan lalu mendapatkan syurga.
Kembali aku bergegas meninggalkan
meja kerja lalu meletakkan semua kebutuhan ke dalam daypack. Bubur ayam, teh
manis dan beberapa roti sudah siap kubawa kembali. Melaju pelan dengan sepeda
motor pinjaman, harapku semoga aku tetap diberi kesempatan melewati setiap hari
dengan manfaat untuk sesama.
***
Tulisan ini kusempatkan untuk
menyapa beberapa pembaca yang sudah ingin mendengar kisahku di media ini.
Tulisan ternyata bisa mempererat tali silaturahmi antar sesama, selain itu
tulisan ini bisa menjadi hikmah buat siapa saja yang mau mencarinya. Bahkan
tidak mustahil sebuah hidayah, perubahan bahkan sebuah keyakinan bisa saja
berawal dari sebuah tulisan.
Tulisan kali ini saya maksudkan
agar teruslah melakukan kebajikan. Tak perlu memilah dan memilih kepada siapa,
tapi tak perlu juga berlebihan hingga engkaupun harus kelelahan. Semua ada
kadarnya. Setidaknya, apa yang aku lewati kali ini seakan kembali mengingatkan
suatu saat kita juga mungkin akan melewati masa-masa sulit dan membutuhkan
bantuan orang lain, suatu saat kitapun dibutuhkan orang lain. Jangan berharap
mendapat balasan apapun, ikhlaslah dengan cara melupakan semua yang pernah
dilakukan. Untuk kalian yang masih memiliki orang tua, bersyukurlah jika kalian
diberi kesempatan untuk merawat masa tuanya. Bersyukurlah, lalu berbuat banyaklah
untuk mereka.
“Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia” – hadits -
Salam.
Iman Rabinata
terima kasih sudah berbagi... tulisanmu menjadi pengingat dan menginspirasi....
BalasHapus