Sepuluh tahun
yang lalu, tepat berada di depanku tinggal saat itu adalah air terjun setinggi puluhan
meter. Debitnya tak terlalu banyak, namun tekstur bebatuan di belakangnya dan
juga rindang pepohonan kerdil membuatnya tetap terlihat indah dan megah.
Terlebih lagi jika habis hujan semalam, air terjun yang tak dikenal itupun
menjadi sahabat setiap pagiku saat menyapu halaman luas ini ataupun mengepel
lantai papannya.
Air terjun Rian
namanya, dan aku tinggal di masjid Al-Jihad. Ada cerita tersendiri tentang
penamaan masjid yang berdiri tepat di sisi terluar kampung Dayak yang berada di
tengah hutan tanaman industri dan juga hutan alam Kalimantan ini. Masjid ini
berada terpisah dari lingkungan mess tempatku tinggal, berdampingan dengan jalan
poros Kalimantan, bertetangga dengan lahan hijau tempat sesekali si burung
rabun itu datang bertandang.
Masjid ini
dibuat dari bahan kayu seluruhnya, sangat besar untuk ukuran jumlah warga
muslim yang mendiami sekitarnya. Di bagian luarnya dibuat teras luas selebar dua
meter mengelilingi ke tiga sisi masjidnya. Terdapat kamar kecil yang di bangun
terpisah dari bangunan masjid, dan beberapa drum air sebagai tampungan air
wudhunya. Di kedua sisi bagian mihrab imam terdapat kamar, satu berfungsi
tempat menyimpan perlengkapan masjid, satu kamar menjadi tempatku tinggal. Kamarku
memang tak terlalu luas. Panjangnya seukuran dengan kasur busaku, namun masih
memuat lemari dan meja bacaku. Di sinilah aku mengisi waktu di luar jam
kerjaku. Membersihkan ruangan masjid, memompa air dari sungai untuk diisi ke
dalam drum, hingga mengolesi memar si burung rabun itu dengan minyak gosok.
Entah burung apa
namanya, mungkin salahnya kami meletakan kaca-kaca masjid yang berada di area
tempatnya bermain. Kaca yang begitu mengkilap membuatnya sering menabrak hingga
pingsan. Hampir setiap sore ada saja burung yang tergeletak di teras masjid
sepulangku dari kantor. Itu sebabnya selalu kusiapkan perlengkapan P3K
seperlunya untuk merawat sakitnya.
***
Perlengkapan P3K
yang kupunya ternyata tidak hanya bermanfaat untuk si burung rabun itu saja.
Perkenalanku dengan seorang pemuda pekerja dari perusahaan tetangga juga
berawal dari perlengkapan K3 tersebut. Ceritanya bermula saat aku pulang kantor
seperti biasa, terlihat seorang pemuda yang sedang duduk di tangga masjid
dengan beberapa luka lecet di bagian lengannya. Ia terjatuh di tikungan yang
berada tak jauh dari lokasi masjid tempatku berada. Jika biasanya aku merawat
seekor burung rabun setiap harinya, kali ini aku merawat seorang pemuda yang
akhirnya kutahu berdomisili di kabupaten tetangga.
Lukanya tak
terlalu serius, berbekal cairan pembersih, kapas, plester hingga obat luka aku
rawat ia sebanyak yang bisa aku lakukan. Awalnya aku ajak ia ke klinik
perusahaan, tapi ia menolak. Ia hanya perlu istirahat sejenak lalu melanjutkan
perjalanan.
Pemuda tersebut
bekerja di perusahaan perkebunan. Areal kerjanya berada sekitar seratus kilometer dari kediamannya di Kabupaten Malinau. Jarak segitu memang tak
terlalu jauh jika perjalanannya adalah jalanan beraspal dan di tengah
pemukiman. Namun jarak seperti itu akan menjadi riskan jika medannya hanya
berbentuk pengerasan temporal dan sebagian besarnya melewati hutan.
Setiap hari
sabtu sore ia biasa melewati dan mampir ke tempatku, begitu juga di hari senin
menjelang pagi ia juga menyempatkan diri mampir sekadar menyapaku. Begitulah
persahabatanku dengannya, meski sampai sekarang aku tak tau siapa namanya.
Pemuda itu selalu menyempatkan ke rumahnya setiap akhir pekan untuk pulang. Pulang
untuk menempuh perjalanan panjang menuju huniannya yang penuh kedamaian. Pulang
untuk melepaskan segala penat ditubuhnya. Pulang untuk menyembuhkan sakit rindu
di hatinya. Pulang untuk menemui sosok yang begitu dicintainya. Keluarganya.
Ibundanya.
Pulang, tema
inilah yang akhirnya kutuangkan kali ini. Sebagai seorang petualang, kata
pulang adalah ukuran suksesnya sebuah perjalanan. Bagi seorang pejuang, pulang
menjadi tanda sebuah kemenangan. Sementara bagi perantau, pulang tentu saja
sebagai bukti ia masih memiliki tempat asal atau belum terbuang dari kampung
halaman.
***
Pulang. Kata ini
juga dijadikan alasan oleh teman sekantorku beberapa tahun lalu. Kesehatan yang
terganggu membuatnya memutuskan resign
lalu pulang ke pangkuan sang bunda ke tanah Kupang. Pulang menjadi kata kunci
dan penyemangat buat kawanku yang sedang terbaring sakit dan merindukan racikan
jamu dari pucuk daun salak dari ibunya. Pulang, adalah satu-satunya kata yang
bisa membuat sahabatku mampu melewati berbagai rintangan menerobos jalanan Kalimantan yang masih mencekam. Pulang, sahabat-sahabat mudaku itu selalu
memegang kata itu, pulang untuk melepas rindu, rindu kepada sang ibu.
Begitu hebatkah
mereka. Atau memang begitukah fitrah manusia. Sejauh mana kaki kita melangkah
selalu kata pulang yang terngiang diingatan. Pulang untuk sesuatu yang
mendamaikan. Pulang untuk kembali ke dalam buaian. Entah berhasil atau gagal di
negeri orang. Pulang ke pangkuan adalah puncak dari semua jawaban. Akhir dari
semua perjalanan. Semua dari kita akan menemui kata itu di akhir kehidupan
nanti. Pulang.
***
Senin menjelang
pagi. Seperti biasa aku kedatangan sahabatku lagi. Kali ini ia bersama seorang
wanita yang ia kenalkan adalah ibunya. Wanita paruh baya itu sengaja ikut untuk
sekadar tahu tempat anaknya mencari nafkah untuk keluarga. Kusambut mereka
dengan hangat. Lalu membiarkan mereka merapikan beberapa perbekalannya untuk
perjalanan selanjutnya. Merekapun bercerita bahwa di perjalanan tadi mereka
sempat menabrak seekor babi hutan yang sedang melintas. Sang ibu sedikit shock
tetapi terlihat riang menceritakan.
Mereka
berpamitan agar tak terlambat di tempat tujuan. Salam hangat dijabat tangan,
dan juga senyum indah sang ibu tersayang. Kuhantar mereka dengan berdiri di
ujung halaman, dengan doa dan juga senyuman. Sungguh indah perjalananmu kawan.
Seindah caramu membuat sang ibu merasa senang. Sungguh damai hati dan jiwamu
kawan. Sedamai kasih ibumu yang senantiasa menunggumu pulang.
Aku kembali
membalikkan badan. Menunduk sejenak lalu berbisik lirih kepadaNya. Tuhan, aku
juga rindu pulang. Pulang ke tempat dimana kini ibuku tinggal.
***
he..he..he... jd ingat... kl lg ngerasa sedih sering bgt bergumam "pulang"... pdhl dah drumah... bingung sendiri... tq... btw lama gak ngeblog lg?
BalasHapushe..he..he... jd ingat... kl lg ngerasa sedih sering bgt bergumam "pulang"... pdhl dah drumah... bingung sendiri... tq... btw lama gak ngeblog lg?
BalasHapus