Laman

Jumat, 19 Februari 2016

Pulang





Sepuluh tahun yang lalu, tepat berada di depanku tinggal saat itu adalah air terjun setinggi puluhan meter. Debitnya tak terlalu banyak, namun tekstur bebatuan di belakangnya dan juga rindang pepohonan kerdil membuatnya tetap terlihat indah dan megah. Terlebih lagi jika habis hujan semalam, air terjun yang tak dikenal itupun menjadi sahabat setiap pagiku saat menyapu halaman luas ini ataupun mengepel lantai papannya.



Air terjun Rian namanya, dan aku tinggal di masjid Al-Jihad. Ada cerita tersendiri tentang penamaan masjid yang berdiri tepat di sisi terluar kampung Dayak yang berada di tengah hutan tanaman industri dan juga hutan alam Kalimantan ini. Masjid ini berada terpisah dari lingkungan mess tempatku tinggal, berdampingan dengan jalan poros Kalimantan, bertetangga dengan lahan hijau tempat sesekali si burung rabun itu datang bertandang.


Masjid ini dibuat dari bahan kayu seluruhnya, sangat besar untuk ukuran jumlah warga muslim yang mendiami sekitarnya. Di bagian luarnya dibuat teras luas selebar dua meter mengelilingi ke tiga sisi masjidnya. Terdapat kamar kecil yang di bangun terpisah dari bangunan masjid, dan beberapa drum air sebagai tampungan air wudhunya. Di kedua sisi bagian mihrab imam terdapat kamar, satu berfungsi tempat menyimpan perlengkapan masjid, satu kamar menjadi tempatku tinggal. Kamarku memang tak terlalu luas. Panjangnya seukuran dengan kasur busaku, namun masih memuat lemari dan meja bacaku. Di sinilah aku mengisi waktu di luar jam kerjaku. Membersihkan ruangan masjid, memompa air dari sungai untuk diisi ke dalam drum, hingga mengolesi memar si burung rabun itu dengan minyak gosok.


Entah burung apa namanya, mungkin salahnya kami meletakan kaca-kaca masjid yang berada di area tempatnya bermain. Kaca yang begitu mengkilap membuatnya sering menabrak hingga pingsan. Hampir setiap sore ada saja burung yang tergeletak di teras masjid sepulangku dari kantor. Itu sebabnya selalu kusiapkan perlengkapan P3K seperlunya untuk merawat sakitnya.


***


Perlengkapan P3K yang kupunya ternyata tidak hanya bermanfaat untuk si burung rabun itu saja. Perkenalanku dengan seorang pemuda pekerja dari perusahaan tetangga juga berawal dari perlengkapan K3 tersebut. Ceritanya bermula saat aku pulang kantor seperti biasa, terlihat seorang pemuda yang sedang duduk di tangga masjid dengan beberapa luka lecet di bagian lengannya. Ia terjatuh di tikungan yang berada tak jauh dari lokasi masjid tempatku berada. Jika biasanya aku merawat seekor burung rabun setiap harinya, kali ini aku merawat seorang pemuda yang akhirnya kutahu berdomisili di kabupaten tetangga.


Lukanya tak terlalu serius, berbekal cairan pembersih, kapas, plester hingga obat luka aku rawat ia sebanyak yang bisa aku lakukan. Awalnya aku ajak ia ke klinik perusahaan, tapi ia menolak. Ia hanya perlu istirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan.


Pemuda tersebut bekerja di perusahaan perkebunan. Areal kerjanya berada sekitar seratus kilometer dari kediamannya di Kabupaten Malinau. Jarak segitu memang tak terlalu jauh jika perjalanannya adalah jalanan beraspal dan di tengah pemukiman. Namun jarak seperti itu akan menjadi riskan jika medannya hanya berbentuk pengerasan temporal dan sebagian besarnya melewati hutan.


Setiap hari sabtu sore ia biasa melewati dan mampir ke tempatku, begitu juga di hari senin menjelang pagi ia juga menyempatkan diri mampir sekadar menyapaku. Begitulah persahabatanku dengannya, meski sampai sekarang aku tak tau siapa namanya. Pemuda itu selalu menyempatkan ke rumahnya setiap akhir pekan untuk pulang. Pulang untuk menempuh perjalanan panjang menuju huniannya yang penuh kedamaian. Pulang untuk melepaskan segala penat ditubuhnya. Pulang untuk menyembuhkan sakit rindu di hatinya. Pulang untuk menemui sosok yang begitu dicintainya. Keluarganya. Ibundanya.


Pulang, tema inilah yang akhirnya kutuangkan kali ini. Sebagai seorang petualang, kata pulang adalah ukuran suksesnya sebuah perjalanan. Bagi seorang pejuang, pulang menjadi tanda sebuah kemenangan. Sementara bagi perantau, pulang tentu saja sebagai bukti ia masih memiliki tempat asal atau belum terbuang dari kampung halaman.


***


Pulang. Kata ini juga dijadikan alasan oleh teman sekantorku beberapa tahun lalu. Kesehatan yang terganggu membuatnya memutuskan resign lalu pulang ke pangkuan sang bunda ke tanah Kupang. Pulang menjadi kata kunci dan penyemangat buat kawanku yang sedang terbaring sakit dan merindukan racikan jamu dari pucuk daun salak dari ibunya. Pulang, adalah satu-satunya kata yang bisa membuat sahabatku mampu melewati berbagai rintangan menerobos jalanan Kalimantan yang masih mencekam. Pulang, sahabat-sahabat mudaku itu selalu memegang kata itu, pulang untuk melepas rindu, rindu kepada sang ibu.


Begitu hebatkah mereka. Atau memang begitukah fitrah manusia. Sejauh mana kaki kita melangkah selalu kata pulang yang terngiang diingatan. Pulang untuk sesuatu yang mendamaikan. Pulang untuk kembali ke dalam buaian. Entah berhasil atau gagal di negeri orang. Pulang ke pangkuan adalah puncak dari semua jawaban. Akhir dari semua perjalanan. Semua dari kita akan menemui kata itu di akhir kehidupan nanti. Pulang.


***


Senin menjelang pagi. Seperti biasa aku kedatangan sahabatku lagi. Kali ini ia bersama seorang wanita yang ia kenalkan adalah ibunya. Wanita paruh baya itu sengaja ikut untuk sekadar tahu tempat anaknya mencari nafkah untuk keluarga. Kusambut mereka dengan hangat. Lalu membiarkan mereka merapikan beberapa perbekalannya untuk perjalanan selanjutnya. Merekapun bercerita bahwa di perjalanan tadi mereka sempat menabrak seekor babi hutan yang sedang melintas. Sang ibu sedikit shock tetapi terlihat riang menceritakan.


Mereka berpamitan agar tak terlambat di tempat tujuan. Salam hangat dijabat tangan, dan juga senyum indah sang ibu tersayang. Kuhantar mereka dengan berdiri di ujung halaman, dengan doa dan juga senyuman. Sungguh indah perjalananmu kawan. Seindah caramu membuat sang ibu merasa senang. Sungguh damai hati dan jiwamu kawan. Sedamai kasih ibumu yang senantiasa menunggumu pulang.


Aku kembali membalikkan badan. Menunduk sejenak lalu berbisik lirih kepadaNya. Tuhan, aku juga rindu pulang. Pulang ke tempat dimana kini ibuku tinggal.


***

2 komentar:

  1. he..he..he... jd ingat... kl lg ngerasa sedih sering bgt bergumam "pulang"... pdhl dah drumah... bingung sendiri... tq... btw lama gak ngeblog lg?

    BalasHapus
  2. he..he..he... jd ingat... kl lg ngerasa sedih sering bgt bergumam "pulang"... pdhl dah drumah... bingung sendiri... tq... btw lama gak ngeblog lg?

    BalasHapus