Danau Gunung Tujuh - Jambi |
Kebun teh Kayu Aro. Pagi. Aku berdiri diantara pagar tanaman
sejajar, dan bunga merah merekah yang terlihat sangat padu. Rangkai pegunungan
di sisi timur, letak danau indah yang akan aku tuju hari ini. Danau di ketinggian 1.950 mdpl ini, bukan danau
yang mudah dijumpai. Ia berdiam cantik di sana, jarang ada yang menyentuh
sendirinya. Danau yang berdiam di dalam hutan, dan membutuhkan tenaga untuk
mencapainya. Ia bukan Toba dengan segala keramaiannya, iapun bukan Batur yang
dapat kau saksikan dari kursi mobil yang kau parkirkan. Ia menantangmu mendaki
untuk buktikan kesungguhanmu menyentuh sejuk bening airnya.
Daypack Eiger Tosca telah terisi beberapa keperluan yang
akan kubawa menuju danau hari itu. Raincoat, wafer cokelat, air mineral dan
beberapa gadget telah terbungkus lengkap dengan raincovernya. Mobil carry L-300
membawa kami melaju menuju Desa Pelompek dengan landscape hijau dan gagahnya
pegunungan. Segera kuraih smartphone bercasing orange, sekadar memberi kabar
padanya. “saya sedang menuju danau, saya sehat selalu disini, semoga hari ini
indah untukku, untukmu juga”.
***
Pesan itu aku buka. Syukurlah ia baik-baik saja disana. Ia
seorang pendaki. Ia seorang pria sejati. Tentu saja doa ini terus mengalir
untuknya. Ia baik-baik saja setelah tiga hari ia mendaki Gunung Kerinci di
sana. Mendaki di saat curah hujan sedang tinggi-tingginya, tentu saja membuat
khawatir aku disini. Pagi ini cuaca cerah. Aktivitas perkantoran seperti biasa
aku jalani. Beberapa lembar pengajuan cost kegiatan lapangan aku validasi untuk
selanjutnya menyetorkan semua berkas ini ke kantor pusat. Aktivitas rutin,
berada di ruang kecil dengan tirai cokelat disisi lemari brangkas dan meja
kerja. Dari sini hanya terlihat ribuan pohon akasia yang ditanam menjadi hutan
buatan. Saat seperti ini memang terasa meneduhkan. Namun jika musim panen kayu
telah tiba, semua berubah menjadi gersang, panas dan terang. Perusahaan
perkebunan tanaman industri memang menanam satu jenis kayu di lahan luas yang
dulunya adalah hutan alam.
Dari sini terlihat sungai kecil yang sering menjadi sahabat
ketika ia hadir berwajah bening. Ada pohon-pohon madu berdiri di seberang sana.
Suku Bulusu menyebutnya pohon madu, karena hanya di
pohon itulah lebah-lebah menyimpan sari bunga setiap
harinya. Pohon madu itupun selalu terlihat besar
dan indah, karena memang dilindungi untuk tidak dimanfaatkan
batang pohonnya.
Aku membalas pesan singkat darinya, “sayapun baik-baik saja
disini, semoga petualangannya berkesan, selalu menunggu cerita indahmu disini.
Indahmu, indahku juga”.
***
Mobil mengantarkan kami di depan gerbang bertuliskan lokasi
wisata Danau Gunung Tujuh - Jambi. Mataku dimanjakan oleh kebun penduduk yang
tampak subur. Kami berjalan beriringan. Jalan setapak, dengan rumput-rumput
semata kaki, beberapa bagian tampak becek dan berlumpur. Udara segar
pegunungan, seekor kerbau diantara kebun kacang, sungai mengalir deras
menciptakan bunyi riak yang menghentak, dan rimbun pepohonan di depan mata siap
menerima hadirku bersama teman-teman sesaat lagi
Aku masih baik-baik saja saat itu. Meski baru turun Gunung
Kerinci semalam, tubuhku masih bugar dan sehat. Kembali saya menjejaki setapak
demi setapak jalan mendaki diantara rimbun hutan belantara. Aku bersemangat,
namun entah ada yang tak genap dalam otak. Ada sesuatu yang akupun tak tahu
apakah itu. Aku membuang perasaan tak menentu itu. Tetap melaju bersama sahabat
pendaki lainnya. Ada apa denganku. Ada apa dengannya, disana. Semoga ia
baik-baik saja.
***
Telepon itu aku angkat. Suara ibu di seberang sana. Tak
biasanya ibu memintaku segera pulang. Sementara jam kerja masih membentang. Ibu
memaksa segera tinggalkan. Aku meminta ijin meninggalkan kerja ke bagian
personalia. Hati sedikit gundah dengan seribu tanya.
Aku melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos jalanan yang
berbukit dengan aspal yang telah berlubang. Tak beberapa lama aku sampai. Ada
yang berbeda di halaman rumah. Aku semakin bertanya tanpa jawab. Tujuh unit
kendaraan minibus berbaris di halaman rumah. Siapakah?. Ada apakah. Ada apa
denganku. Ada apa dengannya, disana. Semoga ia baik-baik saja.
***
Aku telah berada di atas puncak. Hanya hutan. Sempat bimbang
kemana arah selanjutnya. Guide lokal masih berada di barisan belakang. Ada
jalan kecil menuruni lereng. Tak terlalu terjal. Terdengar suara riuh air. Seperti
air terjun. Kemanakah kita. Benarkah jalur yang kita lalui. Bersama dua sahabat
lainnya, kami memutuskan melalui jalan menurun ini. semakin jauh, semakin
terdengar deras suara itu. Suara air terjun. Apakah danau indah itu berada di
dekat air terjun. Aku semakin mempercepat langkah. Menuju sumber suara berharap
bertemu indahnya.
***
Ada adikku di sana. Ada keluarga menyambutku di sana. Aku
dijemput. Terlihat beberapa tamu telah hadir. Beberapa dari mereka aku kenal.
Sebagian besar, tidak. Aku hanya digiring menuju ruang tidur. Aku dibiarkan di
dalam kamar. Sendiri. Dan dikunci dari luar.
***
Aku tertegun. Serpihan surga di depan mata. Danau itu. Kini
dihadapanku. Aku telah sampai. Sebuah cekungan dalam yang tenang. Kabut
menutupi tepinya. Semakin tebal semakin membuatku terpesona. Hening. Tak ada
sesiapa. Danau indah. Yang dikelilingi pepohonan yang tak kalah indah. Airnya
yang jernih. Sebongkah batu besar berada di tepinya. Semakin menambah indah
pesonanya. Aku tertegun. Terdiam. Terhenti. Ada apa denganku. Ada apa dengan
hati ini. ada apa dengan dia disana.
***
Aku hanya bisa berkomunikasi via pesan singkat dengan adik
perempuanku di ruang tamu. Aku mencerca ribuan tanya padanya. Siapakah mereka.
Apa maunya. Mengapa aku diisolasi sendiri disini.
Pesan singkat itu tiba. Ada gemuruh dalam dada. Mereka
adalah tamu dari seberang sana. Mereka datang menentukan hari pernikahanku
kelak. Aku tertegun. Terdiam. Terhenti. Ada apa denganku. Ada apa dengan hati
ini. ada apa dengan dia disana.
***
Hujan mengguyur deras. Aku berdiam di tepi danau. Perasaan
semakin berkecamuk tanpa alasan. Aku masih membereskan raincoat yang aku pakai
sebagai tikar sembahyang. Hujan membasahi sebagian wajahku. Air langit ini
membantuku menyembunyikan tangis kecilku. Ada apa ini. ada apa dengan hatiku.
Ada apa dengannya disana.
***
Pria itu rekan kerja ibu berbisnis. Pria yang pernah gagal
dalam mahligai rumah tangga. Keputusan ibu jauh lebih kuat dari titah baginda
Raja Sriwijaya. Meski bukan jaman Siti Nurbaya, tapi kehendak ibu tak mengenal
tanda koma. Aku masih dikunci di kamar ini. Adat negeri memang memberlakukan
demikian. Ketika mempelai pria datang menentukan mahar dan hari pernikaahan,
mempelai wanita tak boleh unjuk diri apalagi memberikan argumentasi. Semua
menjadi urusan keluarga. Sementara aku bagaikan serdadu atau mungkin domba.
Hanya ada sebuah jendela. Inginku berlari keluar sana. Tapi cinta pada bunda
bertarung dengan itu semua. Hanya berdiam. Teringat akan dia yang sedang berada
di tepi danau di hutan belantara. Adakah ia rasakan yang aku rasakan juga. Ada
apa ini. ada apa dengan hatiku. Ada apa dengannya disana.
***
Kami kembali menuju pulang. Kembali melewati jalan mendaki
lalu turunan. Rapat pepohonan dan rintik hujan. Membuatku terus mencari sebab
hati yang sedang dilanda galau. Dua jam perjalanan, aku berada di kendaraan.
Segera kuraih smartphone dari dalam daypack. Menuliskan pesan untuknya di sana.
“saya dalam perjalanan pulang. Saya sehat selalu. Danaunya sungguh indah. Akan
lebih indah bila bersamamu.
Ada yang tak genap di kepalaku. Ada apa denganmu disana. Apa
kau baik-baik saja. Aku akan merasa gundah jika kaupun gundah.”
***
Tujuh unit minibus berlalu. Tamu telah pergi. Pintu kamar
kini tak terkunci. Aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Aku menjadi titik temu
semua pandang. Aku seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan. Ibu angkat
bicara. Hari pernikahan ditentukan. Tak ada alasan untuk menggagalkannya. Aku
tertunduk lesu. Aku hanya diam. Aku tahu apa yang harus aku perbuat. Aku hanya
mengangguk. Lalu kembali ke kamar menenangkan diri. Ponsel silverku berbunyi.
Ada pesan singkat dari pendakiku disana. Kubaca dengan seksama. Aku balas
dengan penuh ketegaran jiwa. “syukurlah jika kau baik-baik saja disana. Sayapun
sehat selalu disini. Danaunya sungguh indah ya?, tanpa saya, danau itupun akan tetap
indah. Ada apa denganmu disana. Aku baik-baik saja disini. Indahmu, indahku
juga disini.”
***
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar