Kehilangan
Aku mendapatkan kabar itu saat bangun pagi.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Bergeming sesaat. Mengingat kembali garis
usia di setiap lekuk wajahnya. Aku beranjak ke kamar mandi, lalu bersiap untuk
satu qunut di dua rakaat menjelang pagi.
Aku memutuskan untuk meninggalkan basecamp. Jadwal
keberangkatan speedboat hanya ada di jam-jam pagi. Semoga saja aku masih bisa
hadir di pemakamannya nanti.
Ijin kantor diperoleh, aku menuju lanting perhentian
perahu di tepi sungai. Tak banyak yang harus aku lakukan, selain berharap
kedatanganku dapat membuat sahabatku tak terlalu larut dalam kedukaan.
Lebih dari pukul sepuluh pagi aku sampai di kota
itu. Segera bergegas menuju rumah duka. Deretan kursi plastik telah penuh
terisi di halaman rumahnya. Tak ada lagi aktivitas persiapan pengetaman kayu
untuk liang lahat. Semua sudah selesai. Aku belum melihat La, sahabatku itu.
Kupikir ia berada di dalam rumah.
Sesaat kulihat jenazah telah selesai dimandikan. Aku
bergegas membantu memindahkan beliau ke dalam rumah untuk disembahyangkan. Sebelumnya,
proses yang harus dilakukan adalah mengkafani jenazah. Aku menanti sesaat,
hingga ajakan untuk tiga shaft segera dilakukan.
Saat ini ia yang di depan
Suatu saat kitalah yang di
depan
Di depan sang imam
Disembahyangkan orang-orang
beriman
Tak beberapa lama, jenazah diletakkan di keranda.
Diusung lalu diantar menuju merahnya tanah. Diiringi lantunan tahlil hingga
shalawat kepada sang baginda. Para pelayat dengan sigap memanggul keranda.
Sebagian membawa lembaran papan, sebagian membawa untaian kembang.
Hingga di pemakaman, terlihat sebuah tenda di tengah
ribuan pusara. Dimanakah kelak kita disemayamkan. Terlintaskah di benak kita
jika suatu saat kitalah yang disemayamkan. Aku bersegera menuju lubang yang
dipersiapkan. Bersama anak bungsunya, aku kini berada di dalam lubang untuk
menyambut jenazah di tanah terakhirnya. Tertutup kain putih, ia kami semayamkan
menghadap kibat. Ikatan putih kami lepaskan. Lembaran papan kami susun
berdampingan. Satu persatu, gundukkan tanah diturunkan. Perlahan. Pelan-pelan.
Hingga tak terlihat lagi tubuhnya dari pandangan.
Selesai sudah prosesi pemakaman. Lunaslah sudah
kewajiban sebagian orang-orang beriman. Satu persatu pengantar meninggalkan
pemakaman. Memanjatkan doa kemudian pulang. Hanya pusara dan taburan kembang
yang tak pulang.
Apa setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan
Membiarkan Tuhan membaca isi hati ini. Meminta Tuhan
untuk meringankan kedatangannya. Memohon Tuhan untuk mengikhlaskan
kepergiannya.
Aku melihat La begitu berairmata. Aku berusaha
menghentikan deras dukanya. Aku sudah pernah seperti apa yang ia alami saat
ini. Kehilangan satu persatu orang yang kita cintai.
Apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan
Aku tau benar apa itu kehilangan. Saat pagi bertandang.
Kulihat ia masih di kasur busa. Sesekali aku yang menggodanya, terkadang ia
yang menyapa. Sebungkus roti untuknya, segelas kopi darinya. Pagi yang seperti
itu bukan sudah tak ada. Ia selalu ada. Meski tak nyata.
Apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan
Aku ingat betul apa itu kehilangan. Jika siang
menghadang. Kulihat ia duduk di bangku. Kuhampiri ia sambil menunggu. Menunggu
ia bercerita. Menunggu ia berkeluh atas kisahnya. Nada suaranya tak pernah
hilang di telinga. Apa lagi senyumannya. Ia memang telah tiada. Tapi ia selalu
ada. Meski tak nyata.
Lantas apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan
Aku suka ia ketika sore. Keringat lelahnya. Debu di
baju kerjanya. Aku selalu datang untuknya. Seakan semua bukanlah keletihan.
Tapi hidup memang selayaknya demikian. Asal kita bersama, semua bisa terasa
bahagia. Mimpinya. Cita-citanya. Namun apa semua itu masih ada. Semua memang
masih ada. Masih begitu dekat wajahnya di ingatanku. Masih begitu terasa asanya
di benakku. Masih begitu lekat napasnya di telingaku. Ia masih ada. Ia akan
selalu ada. Meski kini tak nyata.
Lantas apa lagi setelah ini
Mengenang
Mengusap genangan
Bahkan ketika malam kan menjelang. Saat semua
tertidur terlentang. Aku tak mungkin nyenyak jika masih melihatnya. Melihatnya
ada di sampingku. Melihat bibirnya bergetar menahan panas di tubuhnya. Melihat
semua yang pernah ia rasakan di tempat ini. Aku benar-benar masih melihatnya,
meski tak nyata.
Ini bukan sekadar mengenang. Ini juga bukan tentang lemahnya
hati lalu hanya bisa mengusap airmata yang tergenang. Bukan. Ini hanyalah
sebuah rindu, sebulir penghibur ketika semua harus kusadari, bahwa hidup hanya
tentang dua hal. Meninggalkan ataukah ditinggalkan.
Ini memang hanya sebait tulisan. Tulisan rindu untuk
yang tersayang. Tak akan lekang, tak akan mungkin hilang. Telah terukir begitu
dalam.
Namun takdir bagaikan suratan yang tak akan salah
alamat pengiriman. Sudah tertera kapan waktunya sampai di tangan. Meninggalkan
ataukah ditinggalkan. Dua hal yang berbeda namun tak akan luput dari kenyataan.
Biarlah rindu mengukir kesedihan. Biarkan doa
bertarung bersama pedihnya kenyataan. Tak akan sendiri meski telah tiada. Tak
akan berhenti meski harus hidup sendiri. Semua karena satu keyakinan. Dia tak
akan menguji diluar batas kemampuan.
***
Aku pamit pada La di hari ke dua. Aku harus kembali
ke tempat kerja esok harinya. Aku hanya bisa berbagi cerita agar ia bisa
tertawa. Tertawa untuk luka yang disembunyikannya.
Sepertimu
Sepertiku juga
Kehilangan
Seakan menjadi menu yang
berulang
ooOoo
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar