“Udah, nurut aja”.
“Ah, ini mau diapain….”.
“Udah, lewat sini teh”.
“Pelan-pelan teh,
ngikut aja”.
Perempuan berkerudung
putih itu dituntun oleh tiga orang temannya. Bukan karena ia buta, tapi karena
kedua matanya ditutup selembar kain. Seperti biasa, suara mereka mendominasi
tempat ini. Tempat yang mayoritas penghuninya adalah laki-laki. Tanpa sungkan
mereka tertawa lepas. Dengan atau tanpa sengaja memperlihatkan perbuatannya.
Perempuan berkerudung
putih itu terus bertanya. Akan diapakan dirinya, mau dibawa kemana, atau
sederet pertanyaan lainnya. Mulai dari keluar kamar tinggal, kini ia dituntun
menuruni anak tangga yang terbuat dari papan bangkirai. Satu-persatu ia
dituntun menapaki anak tangga. Perlahan hingga sampai di halaman.
Ketiga teman
perempuannya yang juga bertudung kain di kepala terus mendampinginya.
Mengapitnya, mengarahkannya. Mereka masih tertawa di antara percapakan yang
terdengar oleh seisi penghuni tempat ini. Tiba di tengah halaman, ketika banyak pasang
mata memandang, perempuan itu ditinggal sendirian. Ia berdiam. Ia bertanya. Sementara
ketiga perempuan lainnya, hanya tertawa.
Tak beberapa lama,
datang seorang laki-laki muda. Juga berasal dari kampus yang sama namun lebih
dulu mengecap gelar sarjana. Laki-laki muda itu dengan ceria memecahkan telur
ayam tepat di kepalanya. Seorang lainnya datang dengan membawa seember air.
Setengah berlari mendekati perempuan berkerudung putih yang kotor oleh lelehan
amis telur ayam. Kemudian menyiramkan isi ember tepat di kepalanya. Si
perempuan berkerudung putih basah, namun itu belum berakhir. Beberapa dari
mereka menaburkan tepung yang ada di genggaman. Satu persatu. Secara
bergantian.
Mereka tertawa.
Mereka bersorak gembira.
“Happy birthday, teh”.
“Selamat ulang tahun ya teh”.
Kain ikatan di mata
sudah dilepas. Ucapan selamat disemat. Mereka berangkulan. Berpelukan seperti Tinky
Winky, Dypsi, Po dan Lala. Kerudung putihnya yang kini ternoda tak ia
masalahkan. Ia maklum. Ia hanya tersenyum.
**
Memperingati hari
kelahiran, atau merayakan hari ulang tahun menjadi hal yang sangat lumrah. Jauh
sebelum hari ini, bangsa Romawi kuno sudah menggelarnya dengan perayaan yang
mewah. Dari catatan agama ‘langit’ perayaan ini pun menjadi dualisme pemahaman,
ada yang membolehkan ada yang menyarankan untuk lebih berhemat. Kaum yahudi
mengenalkan perayaan Bar Mitzvah untuk anak lelaki yang berusia 13 tahun, yang
erat kaitannya dengan peringatan hari kelahiran. Rabbi Yissocher Frand
berpendapat bahwa di hari kelahiran, seseorang dapat berdoa secara khusus
karena di hari itu doa seseorang lebih cepat dikabulkan. Bagaimana dengan umat
dari agama samawi yang lain ataupun dari agama ‘bumi’, tentu saja kita bisa
melihatnya dengan nyata. Bukan hanya peringatan hari kelahiran, hari kematian
seseorangpun bisa ‘dirayakan’.
Sahabat, tulisan ini
tidak bermaksud untuk menyimpulkan tentang boleh tidaknya perayaan itu,
dianjurkan atau ditentang, dipuja ataukah dicela. Apatah lagi jika sampai pada
dua kalimat sakral (halal ataukah haram). Sungguh, bukan kapasitas kita di
ranah itu. Masing-masing akan bertanggungjawab pada pilihannya. Dan tulisan ini
hanya menceritakan sisi lain dari sebuah pilihan.
Seorang ibu di sebuah
kota kecil menceritakan bahwa setidaknya anak perempuannya yang masih
bersekolah di bangku Sekolah Dasar dalam satu tahun menghadiri tiga kali
undangan acara ulang tahun di rumah yang sama. Hal itu dikarenakan si tuan
rumah memang rutin merayakan untuk ke tiga orang anaknya. Tentu saja ini
menjadi urusan masing-masing orang, namun tentu akan menjadi budget tambahan dari keluarga dengan
penghasilan pas-pasan. Buat mereka yang berasal dari penghasilan sederhana,
anak-anaknya hanya akan menjadi tamu undangan tanpa pernah menjadi tuan rumah. Anak-anaknya
hanya akan terus memberikan sebungkus kado indah tanpa mungkin menjadi
penerima. Anak-anaknya hanya akan melihat balon-balon indah di rumah temannya,
bukan di rumah mungilnya. Ia tak bisa merayakannya, tentu saja alasannya adalah
biaya.
Di sebuah kantor juga
tengah berlaku tradisi menjamu teman-teman satu kantor ketika hari ulang
tahunnya. Hitung saja berapa jumlah staf kantor itu maka sejumlah itulah jamuan
makannya. Itu artinya setiap karyawan akan ‘merayakan’ hari ulang tahunnya
saban tahun, perayaan yang mungkin saja tidak dirayakan oleh isteri atau
anak-anaknya di rumah ketika mereka berada di pengulangan hari lahirnya setiap
tahunnya.
Satu waktu dalam
sebuah percakapan di pesawat telepon, seorang teman menanyakan kapan tanggal
lahirku. Kapan hari ulang tahunku.
“Tapi aku tidak pernah merayakannya bang”, kilahku saat itu.
“Iya nggak papa. Yang penting ini saya noted aja dulu”.
“Jadi gimana, kapan kita bisa travelling bareng. Ke Thailand kayaknya seru loh dek. Hidup itu
harus ada jedanya, jangan serius mulu”, suara dari seberang telepon terus kudengar.
“Hehe, iya bang. Bukannya sedang sibuk sekarang bang?”, tanyaku.
“Iya betul, ini juga abis ikuti tranning. Dapat beasiswa dari Aussie. Jadi orang jangan hanya
pinter dek, tapi juga cerdas. Beda loh, pinter dengan cerdas”. Ia menambahkan.
Si abang satu ini
memang kukenal begitu sibuk. Owner
sebuah majalah, wara-wiri di partai berwarna biru dan sederet urusan lainnya.
Ia banyak berikan petuah hidup selama berbincang di telepon, tentang manfaat, kesempatan
atau cerita anaknya di Jogja. Dari keseluruhan berbagi kisahnya itu, hari ulang
tahunkupun menjadi catatannya. Aku memang tidak mencantumkan identitas itu di
beberapa profil media sosial yang aku buat. Bukan tak ingin diketahui semakin
tua, tapi tak sanggup saja rasanya harus membalas kebaikan budi teman-teman
semua yang mengucapkan doa itu di beranda.
Perayaan hari ulang
tahun, aku memang menolerirnya meski sulit untuk memaknainya. Jika sekadar
untuk memaknai hari-hari yang telah berlalu, kemudian menyiapkan masa mendatang
agar lebih matang maka aku lebih setuju dengan pemahaman yang dipilih oleh
‘halaqah cingkrang’. Mereka memilih memperbanyak langkah untuk membesuk atau
melayat agar semakin mengerti akan makna usia di sepanjang hayat.
**
Perempuan berkerudung
putih lalu diarahkan ke ruang bersantai. Ruangan ini tepat berada di
tengah-tengah mess karyawan yang berbentuk huruf ‘u’. Ruangan yang juga
digunakan untuk menonton acara TV, gaplekan
atau sekadar bersenda gurau. Ruangan itu kini didekorasi dengan properti
seadanya. Kertas buffalo berwarna digantung di tengah ruangan. Setiap
kertas berisi satu huruf banner yang
jika dirangkaikan bertuliskan ‘Happy Birthday’. Sementara di meja, sudah ada
sebuah cake persegi empat lengkap
dengan lilinnya. Perempuan berkerudung putih terkejut, terharu, kemudian
meneteskan airmata.
“Happy birthday
sayang, silakan make a wish
sekarang”.
Mereka berdiam
sesaat. Mengucap seperti mantra. Mata tertutup lalu dibuka. Nyala lilin
kemudian dipadamkan.
Mereka bertepuk tangan.
Bernyanyi.
Berdendang.
Semua larut dalam party kecil di pedalaman Kalimantan.
Mahasiswi dari kota besar yang sedang menimba ilmu di lingkungan perusahaan
kayu itu menjadi pusat perhatian. Didampingi sang senior yang kini menjadi
bagian dari perusahaan, mereka sedang mempertontonkan sebuah pertunjukkan yang
belum pernah kami saksikan. Pernah, tapi hanya di layar kaca.
**
Di antara keriuhan
suara, makanan kecil, canda hingga tawa membahana. Aku hanya tepekur pada satu
objek dari keselurahan itu semua. Tak jauh dari mereka bersuka, tiga bocah
perempuan sedang menyaksikan dari awal. Tubuhnya disanggah pada balok pagar
teras. Rambutnya kering terkena sinar matahari. Pakaian berdebu dengan bau apek
keringat karena bermain seharian. Mereka diam menyaksikan. Tertegun.
Tercengang. Mengamati penuh ketelitian. Entah apa yang ada di dalam benaknya.
Apakah begini jika merekapun kelak menempuh pendidikan tinggi di kota. Apakah
ini yang disebut kekinian. Apakah ini yang mereka labelkan sebagai jaman now.
Kedua tangannya
dilipat sedada. Lalu diletakkan di atas pagar balok teras. Tubuhnya kini seakan
tergantung karena lebih rendah dari pagar. Hanya bertopang pada kedua tangannya,
bocah-bocah itu tanpa terusik sedikitpun memerhatikan. Seksama. Khidmat. Tanpa
suara. Kedua mata mereka terus melihat objek perempuan-perempuan berkerudung
putih. Mulai saat mereka meruntuhkan kesunyian dengan histerianya, saat
selembar kain menutup kedua matanya, ceplokkan telur, seember air ataupun taburan
tepung. Mereka terus mengikutinya hingga di acara ‘ceremony’ dan makan-makannya.
Ketiga bocah
perempuan itu beranjak pergi. Entah apa yang ada dibenaknya. Entah apa yang
sedang mereka cerna. Entah apa yang berkecamuk dalam imajinasinya.
Ketiga bocah
perempuan itupun berlalu. Menuruni anak tangga dari papan bangkirai. Melewati
halaman dengan sisa-sisa taburan tepung yang bertebaran. Menuju sungai dengan arus
air yang tenang. Berlari, lalu menceburkan diri. Aku hanya berharap apa yang
mereka saksikan tadi bisa segera hilang tak berbekas. Seperti debu di kulitnya
yang larut saat berenang di pinggiran sungai. Aku hanya berharap apa yang mereka
dapatkan dari orang-orang terpelajar dari kota besar itu tak akan mengikis
nilai-nilai budi pekerti dari ajaran leluhurnya, dari petuah adatnya, dari
wejangan tetuanya. Aku hanya bisa berharap bahwa apa yang mereka lihat dapat
memilah mana yang hak mana yang tidak. Mana yang layak untuk diserap mana yang
harus ditolak.
Dan aku, hanya bisa menuliskan itu semua.
Hanya.
ooOoo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar