Penjahit dan
Legian Street
Penjahit tanpa nama. Mungkin tak terlalu berlebihan aku katakan demikian, karena tidak ada plang nama dan lokasi jasa jahitnya terpisah dari komplek perbelanjaan umumnya. Lebih tepatnya, dari jalan menuju komplek perbelanjaan Gusher, yang searah juga dengan lokasi wisata Hutan Mangrove Tarakan, ada satu jalan sebelah kiri tepat sebelum pintu masuk komplek Gusher, sekitar seratus meter ke dalam. Ada sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari susunan seng, luasnya kutaksir dua kali tiga meter saja. Disitulah penjahit itu berada.
Malam itu, untuk yang ketiga kalinya aku
mampir lagi ke tempatnya. Memendekkan celana panjang yang melebihi ukuran
panjang kakiku. Saat aku tiba, ia dengan segera mematikan kompor gasnya. Ya, di
tempat yang kecil itu, ia menempatkan beberapa peralatan masaknya di sudut
ruang kerjanya. Satu unit kompor gas, dengan tabung melon tiga kilogram. Di atasnya sebuah wajan berukuran kecil, dan
di dalamnya aku melihat beberapa potong ikan asin gulama yang tak jadi mengering
karena lebih dulu dimatikan karena kedatanganku. Saat itu memang saatnya jam
makan malam.
Ia bergegas menyapa. Menawarkan jasanya.
Dengan sigap ia melaksanakan pekerjaannya. Mengambil meteran kain, mengukur
panjang dari pinggang hingga matakakiku. Ia kemudian memilih warna benang
sesuai dengan warna celana. Menggulungnya ke sekoci, memotong ujung celana,
hingga mengkapurkan bagian yang menjadi batas jadinya. Hanya dalam hitungan
menit, celanaku sudah selesai dipermak. Ia menyerahkan kepadaku, aku
menyerahkan dua lembar rupiah kepadanya.
Setelah itu, ia berkata,” Mas ini yang
pernah ke sini ya?”.
“Iya benar, ini yang ketiga kalinya”.
“Tinggal di mana?”
“Di Sekatak pak, dua jam lewat laut dari
sini”.
“Oh, jauh. Jadi kapan kembali ke sana
mas?”
“InsyaAllah besok. Ya udah, saya pamit
pak, terima kasih”.
“Oh iya, terima kasih banyak, semoga
rezekinya mas lancar, kerjaannya lancar, besok juga semoga perjalannya selamat
ya?”
“Iya pak, aamiin. Terima kasih banyak”.
Secarik doa. Ya, kawan. Seuntai doa yang
sangat ringan diucapkan tetapi tahukah kita bahwa itu sangat berat di
timbangan. Dan aku percaya itu.
Entah apa alasannya, aku memilih penjahit
itu untuk mempermak pakaianku. Akan tetapi, dari keramahannya, kesederhanaannya
dan daya ingatnya mengingatku sebagai konsumennya kini menjadi daya tariknya.
Ia masih mengingatku karena pernah beberapa bulan atau mungkin tahun lalu
menggunakan jasanya juga. Ini sangat jauh berbeda dengan pangkas rambut
langgananku, yang sepertinya hampir setiap bulan aku menggunakan jasanya, dan
harus setiap kali itu juga aku menjelaskan seperti apa model rambut yang sesuai
dengan keinginanku. Dan satu hal yang menginspirasiku menuliskan kisah di laman
ini, tentu saja dari seuntai doa yang ia haturkan. Sungguh, kata-kata itu begitu
meneduhkan, begitu ringan terdengar, seakan memberi semangat yang datang secara
tiba-tiba dari sebuah keletihan aktivitas sehari-hari. Aku mengamini, dan
melakukan hal yang sama untuknya.
Sahabat pembaca, begitu indah ya hidup
kita jika yang keluar dari mulut kita adalah sebuah kata-kata positif,
kata-kata penyemangat, kata-kata yang saling menguatkan. Tak perlu mencari ilmu
hingga ke dasar samudra sepertinya untuk bisa melantunkan sebuah doa, tak harus
hingga ke puncak tertinggi juga untuk bisa bersikap santun kepada sesama. Meski
memang perjalanan menuju kedua tempat tadi seyogyanya bisa membentuk kita
menjadi pribadi yang lebih teduh, rendah hati dan bertutur lembut bersahaja.
Namun belajar dari seorang penjahit di pinggiran kota kecil ini pun sudah sungguh
sebuah mata kuliah yang sangat mahal harganya. Aku belajar untuk mendoakan
orang lain meski seharusnya si penjahit itulah yang lebih pantas memanjatkan
doa sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri.
Kawan, bahasan tentang nilai-nilai
kebaikan dalam kehidupan sehari-hari akan sangat mudah kita temukan. Searah
dengan tema ini, aku ceritakan juga pengalamanku saat berada di Jalan Raya
Legian Kuta, Bali beberapa hari yang lalu. Kali itu aku dan kedua temanku,
memilih sebuah tempat nongkrong yang lebih tepatnya bukan buat tempat
nongkrong. Legian street memang
sebuah area nongkrong dan sejenisnya. Di sepanjang jalan ini, lebih tepatnya
sekitaran lokasi Monumen Bom Bali, berderet macam-macam tempat nongkrong yang
menawarkan sejumlah hiburan malam. Mulai dari Paddy’s Pub, Sky Garden, Bounty
Discotheque, Engine Room Bali Super Club, Vi Ai Pi hingga Apache Reggae Bar. Ingar
bingar musik saling bersautan. Mulai yang dari sound system super keras, hingga live music dari band-band lokal yang meneriakkan lagu-lagu barat.
Di jalan raya satu arah ini, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Legian
Street, merupakan kawasan wisata malam. Tepat di kawasan monumen eks
peristiwa kelam peledakkan bom beberapa tahun silam, di jalan ini pun terdapat
dua gang populer wisatawan backpacker,
yaitu gang poppies I dan poppies II. Di gang tersebut terdapat hotel-hotel
dengan harga bersaing. Selain hotel atau guesthouese,
kawasan legian juga dijejali pertokoan cinderamata, minimarket, spa dan massage, hingga restauran.
Jika ingin menemukan jajanan lokal khas jawa, bisa blusukkan ke jalan sebelah, lewat gang kecil. Jalan Mataram
namanya. Di jalan ini banyak penjaja makanan lokal ditawarkan.
Kembali di legian street, aku menawarkan untuk memilih nongkrong di sebuah
balkon minimart, tepat di sisi monumen. Minimart di sepanjang jalan kawasan
wisata di Bali biasanya menyediakan beberapa kursi di berandanya. Hanya kisaran
empat hingga enam kursi saja, disesuaikan area minimart yang memang biasanya
berukuran mini. Entahlah apakah kedua partnerku kali ini merasa nyaman dengan
tawaranku atau tidak. Mereka mengiyakan saja. Bagaimana tidak, diantara kawasan
tempat nongkrong modern dengan suguhan beraneka ragam minuman dan pramusaji
yang aduhai, aku malah memilih sebuah balkon di lantai dua minimart dengan menu
softdrink ala anak-anak santri.
Sebutlah minuman dingin rasa jeruk, vanila atau cokelat. Atau sekaleng kopi instant yang sudah mendekam di lemari
pendingin.
Dari tempat inilah aku melihat arus
manusia dari hulu ke hilir, dari barat ke timur, dari orang barat hingga orang
timur. Kedua partnerku terlihat begitu asik dengan gadget, sosmed atau game-nya,
sebuah aktivitas yang sudah lama aku tinggalkan apalagi disaat-saat
‘kebersamaan’ seperti ini. Aku memilih meneguk sedikit minuman dingin, lalu
kembali melihat aktivitas manusia di depanku. Balkon ini sepertinya bekas
sebuah café atau kedai fastfood.
Sebetulnya kami menaksir untuk bisa nongkrong di teras depan minimart itu, tapi
karena penuh, kami disarankan pramuniaga untuk ke lantai dua. Di lantai dua,
memang sebuah bangunan kosong, namun masih terdapat meja dan kursi. Beberapa
orang juga terlihat di tempat itu. Termasuk di balkon tempat kami membunuh
waktu saat itu.
Dari balkon, masih terlihat dua menara
dari permainan adrenalin baru berlabel gethigh5GH.
Sebuah permainan yang melempar peminatnya hingga di ketinggian. Sejenis rollercoster atau bungyjumping. Di seberang minimart ini, atau lebih tepatnya berada
di depanku saat itu adalah sebuah lahan kosong tempat parkir milik pub tertentu. Di kedua sisinya ada
outlet Polo dan Guardian Pharmacy, sementara di sudut trotoarnya ada ibu
penjual nasi pincuk dan seorang bapak penjual kacang rebus. Kuperhatikan,
penjual nasi pincuk memang mengambil lokasi berjualan di tempat itu, sementara
si penjual kacang rebus sepertinya tidak menetap.
Entah berapa ratus manusia yang sudah
terekam di mataku sejak aku ‘nongkrong’ di tempat ‘nongkrong’ ini. Mulai yang
berkulit putih, hingga berambut putih. Mulai yang bercelana pendek hingga
berkaki pendek. Atau yang sedang menenteng sebotol Captain Morgan hingga
sekaleng Adem Sari. Aku hanya ikut tersenyum bahagia ketika si penjual nasi
pincuk kedatangan pelanggan, atau tersenyum prihatin mendengar turis lokal yang
lebih memilih kata ‘sorry’ daripada
kata ‘maaf’ saat berpaspasan dengan sesama turis lokal. Sedih, bahagia, suntuk,
ribut, sepi, musik, asing, senyum, minum, hape, lampu, klakson, paha, dan
begitu banyak kosakata yang berbaur dalam satu frame sekaligus. Aku tentu saja bukan Jati Wesi atau Tanaya Suma
dalam buku Dee Lestari yang bisa membaui semua itu, namun setidaknya satu objek
kecil kali ini menjadi catatan tersendiri buatku.
Dari sekian banyak manusia yang lewat,
seorang turis jepang menghentikan langkahnya di depan penjual kacang rebus.
Penjual itu duduk di tepi trotoar, atau di bibir bak bunga di bagian tepi
trotoar legian street. Aku dengan
seksama melihat pemandangan ini. Turis wanita jepang itu hanya mengenakan tanktop dan rok mini berwarna hitam
dengan mozaik putih. Dengan seutas tas tangan yang ia sangkutkan di lengan
kanannya, ia setengah menunduk bernegosiasi dengan sang penjual. Sementara
teman-teman tournya sudah lebih dulu
beberapa langkah meninggalkan, namun akhirnya kembali lagi menemani si turis
jepang itu. Diantara kerumunan turis jepang yang sedang membeli kacang rebus,
di sisi kiri penjual datang juga seorang pembeli. Pembeli lokal. Sendirian,
tanpa tanktop dan rokmini tentunya.
Tanpa rombongan, tanpa gelaktawa, dan tanpa kedua kakinya!.
Pria lokal pembeli kacang rebus tanpa
kedua kaki itu berhenti sejenak kemudian menawar sebungkus kacang rebus. Tak
banyak nego sepertinya, karena setelah itu ia lebih dulu berlalu dengan
tentengan kacang rebus yang ia selipkan di punggungnya. Ia kemudian berlalu,
diantara keramaian trotoar legian street.
Hanya beberapa detik, turis wanita jepang
baru menyadari pembeli lokal disabilitas itu. Ia kuperhatikan memperhatikan si
pembeli lokal yang berjalan dengan penyangga kedua tangannya. Sebungkus kacang
rebus yang terlihat disangkutkan di belakangnya, si turis jepang seperti
tertegun melihat. Ia dengan segera meninggalkan lagi teman-teman tournya, meninggalkan sejenak penjual
kacang rebus lalu bergegas mengejar si pembeli lokal tadi. Entah apa yang ia
sampaikan, ia hanya berusaha untuk menghentikan sejenak si pembeli lokal.
Menyadari teman tournya pergi lagi, beberapa orang dari rombongan si turis jepang
tadi kembali memperhatikan dengan seksama apa yang sedang dilakukan temannya
lagi. Bukan hanya itu, apa yang dilakukan si turis wanita jepang tadi juga
menarik perhatian beberapa turis lainnya di sekitar lokasi itu. Si turis wanita
jepang ternyata memberikan sejumlah uang kepada si pembeli disabilitas tadi. Si
pembeli lokal menerimanya, kemudian berlalu begitu saja.
Melihat apa yang diperbuat si turis
jepang, ternyata mengundang secara spontan beberapa turis lainnya. Satu orang
turis yang berdiri di depan pintu masuk area parkir, teman si turis yang
berdiri di sampingnya, juga dengan spontan mengambil sesuatu dari tasnya
kemudian dengan sedikit berlari menyelipkan ke kantong si pembeli lokal
tersebut.
Perlu diketahui, si pembeli disabilitas
jelas bukan pengemis. Bukan pengiba. Ia entah hanya lewat saja di jalan itu dan
tak tahu ingin kemana. Ia berlalu, dari bingkai pandanganku yang terbatas.
Entah apakah ia mendapatkan terus derma itu, ataukah ada kisah menarik lainnya.
Aku, seperti biasa, hanya bisa melihat,
merasakan, kemudian menuliskan semua kisah itu. Aku yang tepat berada di tempat
yang lebih tinggi saat itu memang tak perlu buru-buru meninggalkan teman-temanku
untuk ikut-ikutan memberikan selembar rupiah kepadanya. Aku hanya bisa
mengambil kembali kopi instant dalam
kaleng kemasan 300ml dihadapanku, meneguknya lalu meletakkannya kembali. Aku
memang harus senantiasa bersyukur semasif mungkin atas sebuah pelajaran dari sebuah
tempat yang identik dengan suguhuan ‘surga’ malam. Suatu tempat dimana mungkin
empati bukan menjadi bagian dari gemerlapnya hiburan di tempat itu. Namun,
siapa sangka, bahwa nilai kebaikan tak akan pernah mengenal tempat, ras, agama,
warna rambut hingga situasi apapun. Bahwa melakukan kebaikan memang tak harus
menyerahkan selembar mata uang, atau materi lainnya. Kebaikan yang dilakukan si
penjahit di pinggiran komplek perbelanjaan di cerita awal memang ‘hanya’
seuantai doa, tanpa rupiah, tanpa benda berdimensi lainnya. Namun pengaruh
ucapan baik itu begitu kuatnya, yang bisa saja menjadi penyembuh dan pelipur
segala gundah. Begitupun apa yang dilakukan si turis wanita jepang di legian street berikutnya, telah
mengundang orang lain untuk melakukan hal yang serupa. Mungkin ia tak
menyadari, bahwa ketika orang lain melakukan perbuatan seperti ia lakukan
akibat meniru perbuatan baiknya, maka ia berhak mendapatkan ganjaran serupa,
tanpa mengurangi hak yang orang lain terima.
Kita tinggalkan sejenak kisah si
penjahit, dan apa yang terlihat di legian
street. Kisah diatas sebenarnya sangat sederhana dan (seharusnya) mudah
kita jumpai, namun akan menjadi lebih indah jika kitapun melibatkan diri dari
perbuatan-perbuatan baik kepada sesama. Berbuat baik kepada orang sekitar, berbuat
baik kepada orang yang baru dikenal hingga kepada orang yang belum dikenal.
Beberapa tingkat diatasnya, kita bisa berbuat baik pada sekaleng bekas minuman,
dengan tidak menelantarkannya begitu saja setelah dahaga kita terpuaskan.
Berbuat baik pada rintik hujan dengan tidak mengeluhkan kedatangannya, atau
berbuat baik pada sehelai rumput ilalang dengan tidak menyerabutnya tanpa
kepentingan.
Aku bergegas. Menghela napas. Kembali
berbaur diantara dentuman dan kerumunan. Membiarkan semua yang terlihat hanya
bisa menguap. Lalu menyeruak bagaikan aroma dari sebuah bejana. Membaui semua
penciuman, penginderaan, dan ketajaman mata hati. Bahwa semua peristiwa yang
kita lalui berjalan di atas takdirnya sendiri-sendiri. Tugas kita hanyalah
menjalani semuanya dengan segenap pengetahuan. Kita begitu lemah, kita begitu
tak berpengetahuan. Kita hanya segumpal daging dengan kecenderungan yang
merugikan. Kita, tak akan pernah berhasil melalui semua ini tanpa saling
mengingatkan, tanpa saling mendoakan, tanpa saling memuliakan.
Terima kasih sudah membaca tulisan saya
kali ini. Sampai berjumpa di lain kesempatan. InsyaAllah.
" Berbuat baik pada sekaleng bekas minuman, berbuat baik pada rintik hujan, berbuat baik pada sehelai rumput ilalang.. " Tertegun bacanya mas, tulisan yg menggetarkan hati
BalasHapus- Nurmina -
Terima kasih mba, benar untuk menjadi baik bisa dimulai dari hal2 yang mungkin sepele, tapi sebetulnya tdk ada yang sepele. Sy masih ingat dari sebuah bacaan atau ceramah, bahwa kalau lagi jalan di alam terbuka, trus lewati rumput2 atau daun2, maka jangan iseng untuk memetik, mematah atau nyabut dedaunan atau rerumputan, kalau tidak ada kepentingannya maka itu termasuk perbuatan sia2, hehe. Begitupun dgn perbuatan lainnya.
BalasHapusBahkan bukan hanya dgn kaleng bekas minum kita sendiri, sy ingin meniru sebuah keluarga yg membiasakan merapikan piring gelas makannya setelah selesai, padahal makannya di restauran hehe, ya itu sebetulnya simpel, bisa meringankan pekerjaan org lain kan, ya ga sampe harus dicuci juga hehe, beresin yang di meja saja. Menurut saya itu keren.
Terima kasih sudah membaca.