J a l a n
Yang terlihat di sosial media memang pose-pose photo ketika
sedang berada di puncak. Dengan balutan jaket outdoor ‘mahal’, rangkulan teman dari berbagai kalangan, latar
belakang barisan awan hingga banner
seakan bertanya ‘kamu kapan?’. Kelihatan bahagia, sumringah, ceria dan sedikit
rasa bangga. Yang terlihat di sosial media memang seakan hidup hanya tentang
jalan-jalan, tentang menghabiskan uang, tentang aneka kulineran. Dari satu
tempat berpindah ke tempat lain, dari satu bandara hingga ke terminal
keberangkatan yang lain. Yang kalian lihat di sosial media seperti parade hobi
yang butuh modal, tak perlu pikir masa depan, yang penting hepi, upload photo
lalu caption penuh kebanggaan.
Akan tetapi, taukah bahwa ada cerita yang tak terlihat di
sosial media. Cerita-cerita gigih, kisah-kisah seperti petualang, rasa penat,
kram otot, perut mual, asam lambung meningkat, mabuk kendaraan, ketinggalan
pesawat, tidak kebagian dek kapal, reskejul penerbangan, mengejar bus antar
kota antar propinsi, dibentak-bentak kernet, dicaloin saudara sebangsa, dilecehkan,
dibohongi tukang ojek, masuk angin, kehujanan, ngemper di terminal, bermalam di
polsek, terlantar di pelabuhan, kabut tebal, angin kencang, ombak laut
mengguncang, hingga rasa haus seharian dimana segepok uang bukanlah jaminan.
Begitulah cerita seorang pejalan, kawan. Banyak hal. Sangat
banyak. Jadi ini bukan hanya seperti yang terlihat di photo-photo saja. Bukan
tentang kesenangan saja. Bukan tentang menghabiskan waktu dan duit saja. Bukan.
Ada banyak hal yang terjadi. Ada banyak hal yang ditemukan.
Tentang rasa sakit, rasa kecewa, pergulatan waktu, pertaruhan janji, atau
realita kehidupan. Namun, kami tak perlu memperlihatkan itu semua. Tak perlu
beberkan itu secara detail mendalam. Tak perlu meyakinkan orang lain tentang
jalan yang kami pilih. Sosial media cukup tau bahwa kami hanya berbagi
kebahagian, kami hidup senang, kami selalu berhasil dalam pencapaian. Kami
bukan pecundang.
Cobalah lakukan perjalanan. Mulailah dengan secermat mungkin
mengatur dana yang tak banyak,
mempelajari rute-rute keberangkatan, mengemas barang-barang bawaan.
Kelak engkau akan tau bahwa perjalanan itu adalah separuh penyiksaan. Sekali
lagi separuh penyiksaan. Bukan aku yang bilang. Tapi sejak seribu empat ratus tahun
lalu sudah disampaikan. Dalam sebuah perjalanan, kelak kita dapatkan banyak
hal. Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang baru kita temui,
bagaimana caranya mengatur ibadah saat tak mukim, bagaimana trik beradu
argumentasi dengan para penipu, bagaimana caranya agar stamina tetap terjaga.
Kelak, di dalam perjalanan kita baru tau apa itu tayamum, apa itu jama takdim.
Apa itu sedekah, apa itu rasa iba. Apa itu syukur, apa itu takdir.
Aku,
bukan tak pernah lewati cerita-cerita itu. Harus berhadapan dengan empat
perampok bersenjata, harus dirazia, disemprit petugas, diusir pak satpam, diintimidasi
empat preman terminal, kehilangan camera digital, digerayangi pekerja salon, atau ditawari kenikmatan
semalam. Begitu juga jika sedang dalam pendakian. Jalan berhari-berhari. Saat
pagi, saat petang, saat orang lain sedang dalam buaian. Istirahat hanya
hitungan jam. Buang air besar di antara semak dan bebatuan. Kekurangan air.
Kehabisan spirtus. Puyeng, kaki lecet, celana sobek, ditempelin nyamuk
sekecamatan, digonggong anjing, dikejar monyet, dilalui ular melewati kedua
kaki dan rentetan cerita indah lainnya.
Lantas,
apakah semua itu alasan untuk berdiam diri?, bukan. Apakah semua itu menjadi
halangan, menjadi sebab untuk berhenti lalu disitu saja berhari-hari bermain
jari. Tidak. Sekali lagi tidak. Cerita-cerita tak nyaman itu kami biarkan
tersimpan. Kami yakini itu hanya sebentar, hanya sementara. Rasa sakit itu
hanya bagian kecil dari kehidupan ini, perut mules, kotoran susah keluar, bibir
pecah-pecah atau ingus mengeras, semua itu hanya sementara. Semua menjadi indah
saat kita sadari bahwa rasa apapun yang menghinggapi di hidup kita adalah
takdir. Adalah suratan. Adalah bagian dari kehidupan ini. Mau disesali, rasa
itu juga akan datang. Mau berdiam diri di depan layar LED pun tak ada jaminan
hidupmu tak dirundung malang. Hidup ini berwarna kawan, takdir buruk ataukah
takdir senang adalah kebutuhan. Hidup ini tak sedatar perut Zheng Siwei, semua
pasti ada lekuknya, semua ada lika likunya. Capek, sedih, perih. Tapi ada juga
saatnya kita tertawa, bahagia, bersuka cita layaknya berada di atas puncak.
Puncak gunung atau puncak segalanya. Semua hanya bisa diraih setelah melewati
perjalanan panjang, melalui rasa sakit, perut kembung, muntah angin dan ingin
berbalik arah untuk kembali pulang. Namun orang lain tak perlu tau itu semua
kawan, tak perlu!. Sosial media hanya melihat kita selalu bahagia, kita sedang
berada di atas puncak, selfie dengan
gulungan ombak, dengan rekanan hebat dan warna warni pakaian penuh corak.
Tentang rasa sakit itu, cukup kita saja yang tau. Kelak ketika mereka ingin
lakukan perjalanan itu, barulah mereka sadar bahwa perjalanan itu bukan tentang
biaya, bukan tentang gaya. Tapi tentang mencari nilai-nilai kehidupan itu
sendiri. Tentang kualitas diri di luar zona kenyamananmu sendiri. Tentang
toleransi, tentang berbagi, tentang menahan diri dari nafsu mengomentari.
Menjadi
seorang pejalan itu harus tangguh, harus kuat, harus cerdas, dan jangan mudah
molor. Maka itu, seorang pejalan harus rajin berolahraga, jaga stamina. Supaya
tidak mudah masuk angin, tidak mudah mencret, tidak mudah sakit pencernaan,
tidak mudah batuk filek dan lain sebagainya. Seorang pejalan itu juga harus
tetap berolahraga, supaya tidak mudah terkilir, tidak sering keseleo, tidak
melulu dehidrasi. Seorang pejalan itu memang harus terus berolahraga, jangan
sebentar-sebentar pakai sepeda motor, jarak dekat pakai kendaraan, selain
pemborosan bahan bakar, otot betis tidak berfungsi sempurna. Seorang pejalan
itu identik dengan olahraga, bukan sebagai kesenangan semata, tapi kebutuhan
nyata.
Menjadi
seorang pejalan itu harus bersih. Menyukai kebersihan, menjaga kebersihan.
Menyukai alam, kabut pagi ataupun rintik hujan. Iapun bergembira saat air hujan
langsung meresap ke bumi, bukannya meluncur di semenisasi. Seorang pejalan
senantiasa membiarkan hewan hidup tanpa kurungan, entah yang melata atau yang
bisa terbang. Seorang pejalan tak akan buang puntung rokok sembarangan, apalagi
asap rokoknya ke hidung teman, atau petikkan apinya ke pengendara motor
belakang. Seorang pejalan selalu menghabiskan air mineral minuman pada gelas
kemasan, memilih tidak menggunakan pipet, mengurangi pemakaian kresek belanja
berlebihan apalagi buang bungkus permen ke sungai. Seorang pejalan tak harus
bawel lalu sibuk mengkampanyekan slogan-slogan. Cukup dari dirinya dulu, menjadi
warga yang tidak dihindari tetangganya, menjadi pekerja yang tidak memberatkan teamwork-nya, menjadi anggota keluarga
yang dikenal santun dan ringan tangannya.
Menjadi
seorang pejalan itu harus pintar, harus cerdas, harus empati. Pintar
berkomunikasi, cerdas membaca situasi, dan empati terhadap kondisi. Siapapun
dapat ditemukan dalam sebuah perjalanan. Orang yang lebih tua, lebih muda atau
seusia. Dari suku yang sama, dari ras yang berbeda, atau dari akidah selain
kita. Mau berteman dengan cina, budha ataupun duda, semua bukan hal yang
menjadi tanya. Kecuali yang berhijab, tentu ada syariat yang menyekat.
Perjalanan
terakhirku kala itu bersama etnis tionghoa, warga jepang, suku batak dan sunda.
Ada yang lebih tua, ada yang lebih muda. Ada yang pria, ada juga wanita. Meski
sebagian besar beragama nashara, saat subuh menjelang kami berdua dipersilakan
berjamaah diantara bebetuan. Dan mereka menunggu dengan tenang. Kami punya
banyak perbedaan, tapi bukan menjadi alasan untuk mengintimidasi satu
pemahaman.
Perjalanan
juga yang akhirnya menuliskan kisah pertemuanku dengan Rosma, ibu tua di
pedalaman Sumatera, Komang di Kintamani Bali, Safa di Pantoloan yang berjuang
untuk kesembuhan ibunya melawan kanker tulang, atau Rezy di Universitas
Airlangga Surabaya. Bukan hanya tentang persahabatan, tentang makan-makan, atau
photo-photo kebersamaan. Perjalanan pula lah yang menemukanku pada seorang
pengusaha tembakau, pemborong di kawasan tambang Nunukan, aktivis pemberontakan
pada masa Kahar Muzakar, atau para penjaga gajah yang disebut mahot di Taman
Nasional di Riau. Perjalananku bukan hanya tentang capture dalam pesawat
Garuda, tapi juga tentang sepeda motor yang harus masuk bengkel setelah
kehujanan dalam perjalanan di dataran tinggi Dieng, tentang bentor yang tak tau
arah saat di Rantepao, Jalanan putus akibat letusan Gunung Karangetang di Siau,
diturunkan di tengah jalan akibat kelewatan hendak ke Lawang Sewu Semarang.
Perjalananku
bukan sekadar melihat matahari terbit dari Bromo Pananjakan, atau tenggelamnya
sang surya dari Pantai Kuta. Perjalananku juga tentang menyaksikan proses
melahirkan di sebuah kapal cepat di tengah lautan, rumah-rumah yang dihujani
abu dari erupsi Merapi, atau secuil areal konservasi di tengah ekspansi
perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak.
Perjalananku
bukan tentang keindahan pantai, danau ataukah bau belerang. Perjalananku hanya
tentang sebuah mata pelajaran bagaimana seharusnya kita hidup dengan penuh
kebahagian, dengan rasa syukur, dengan ketulusan, dan dengan seluruh keyakinan
bahwa kita hanya sementara di dunia ini. Sama seperti sedang dalam perjalanan,
jadi tak perlu menumpuk sesuatu yang tak akan diperlukan, tak terlalu kuatir
untuk sesuatu yang belum tentu datang, tak melulu menyesali untuk semua yang
telah dilewatkan. Cukup ilmu lalu amalkan.
Tulisan
ini bukan tentang kekesalan, hanya media untuk saling mengingatkan. Aku mungkin
keliru, engkau bisa saja salah paham. Terima kasih sudah mengingatkan, agar
setiap jejak langkah tak salah saat diperjalanan. Perjalanan, kami tau ini
mahal, tetapi dari situlah kami mulai mengenal kesederhanaan. Kami tau ini
sakit, namun dari situlah kami mulai menjaga kesehatan. Jalan adalah tempat
kita bertemu sesaat lalu berpisah menuju masing-masing arah tujuan. Jalan adalah cara kita
menentukan pilihan untuk cita-cita yang sudah ada di dalam keinginan. Jalan
adalah tempat dimana kita bebas menentukan apakah ingin lebih cepat sampai
tanpa hambatan, atau bersenang-senang dahulu menikmati keletihan sepanjang
jalan. Apapun definisimu, jalan adalah asasimu sendiri. Kita yang memilih jalan
ini. Kita juga yang menjalaninya. Maka kitalah yang paling bertanggungjawab
untuk bahagia atas pilihan jalan ini.
Terima
kasih
Wassalam
Artikel Terkait
Tulisan keren..
BalasHapus- Nurmina -
Masya Allah. Teruslah menulis mas iman. Tulisanmu selalu memberi inspirasi, selalu menjadi pengingat dan nasehat yang berisi
BalasHapus