Cawang
-Pendakian Gunung Ceremai II-
Hari ke-dua di Cileungsi. Aku berpamitan kepada tuan rumah.
Seperti biasa, menit-menit terakhir aku masih saja merepotkan. Diantar sampai
terminal bayangan. Jadwal yang tadinya akan ketemuan di jam 15.00, diubah
menjadi satu jam lebih awal. Itu artinya sebelum Dzuhur aku sudah harus mulai
menuju terminal. Terminal bayangan adalah istilah terminal kendaraan yang bukan
resmi, di situ sudah ada elf, atau
jenis minibus untuk rute tertentu. Terminal bayangan tempat ngetemnya elf jurusan Cawang UKI di Cileungsi itu ada di
pasar tradisional. Pasar-pasarnya juga
sebetulnya berada di bawah jembatan tol –sepertinya-, maklum aku masih sulit
membedakan mana yang mereka sebut dengan underpass,
fly over, atau jembatan layang. Yang
aku tau, dimana ada jembatan disitu ada air sungai yang mengalir. Begitulah
yang ada di tempatku.
Kami sampai di terminal bayangan. Aku sempatkan membeli
beberapa buah sebagai bekal. Kemudian pamit kepada sahabat yang telah
mengantarkanku sampai di tempat itu. Kami berpisah, dan aku kemudian menuju
kendaraan elf yang sedang menunggu
penuhnya penumpang.
Cuaca panas saat siang itu. Aku yang sudah masuk di elf, kemudian keluar kembali untuk
membeli sebotol air mineral. Suara klakson, asap knalpot, teriakan penjual
tisu, atau kosrek-kosrek suara musik dari penyanyi jalanan. Satu persatu penumpang
berdatangan. Dua remaja puteri, duduk di dekat pintu, satu pekerja kantoran,
tiga ibu-ibu rumahan, dan sepasang muda mudi mengenakan kaos putih seragam
seolah memaklumatkan kami ini sepasang, jadi bajunyapun pasangan. Aku, tepat di
sudut belakang, berdampingan dengan ibu paruh baya perantauan dari tanah Medan.
Elf itu jenis kendaraan umum jarak menengah –mungkin-, karena
kalau jaraknya jauh, transportasinya jenis bus, sementara kalau jarak dekat
pakai angkot. Si elf ini (atau di
lidah orang Indonesia dibaca elep), sepertinya jarak menengah. Di dalamnya
seperti angkot, duduknya berhadap-hadapan. Lebih besar dari angkot, dan lebih
kecil dari bus. Elf yang aku tumpangi
kemarin itu tanpa AC, atau mungkin semua elf
tidak ber-AC. Kenapa jadi membahas elf,
karena di tempatku tidak ada transportasi umum jenis ini. Adanya juga
ketinting, dongpeng, speedboat, kapal motor, tugboat, atau tongkang. Buat
kalian yang jauh dari perairan sungai dan laut, juga tentu asing dengan jenis
kendaraan tadi. Akan tetapi memang begitulah yang ada di negeri kita, negeri
kepulauan, banyak ragamnya.
Ongkos yang harus dibayarkan adalah delapan ribu rupiah. Ibu
yang berada disebelahku menagih. Katanya biar lebih mudah nantinya kalau sudah
sampai. Tinggal keluar angkutan saja, lalu pergi. Tidak lagi berurusan dengan
uang kembalian atau antre membayar. Pikirku, bagus juga.
Selama di perjalanan, ngobrolah daku dengan si ibu dari
Medan ini. Aku tak sungkan perkenalkan diri yang memang sering linglung dengan
ramainya ibukota. Ini trik sesungguhnya, dapat kenalan warga lokal, lalu
bertanya tentang hal penting untuk menghindar bertanya dengan orang yang tak
dikenal di jalanan. Pertanyaanku adalah, yang mana itu si Cawang UKI. Si ibu
membantuku, menginformasikan kalau aku sudah akan sampai di tempat yang aku
maksud. Aku katakan aku akan bertemu teman dan mepo yang disepakati adalah Halte Cawang UKI.
Aku sampai. Persis di dekat tangga penyeberangan. Jalanan di
ibukota memang ramai. Jalan raya lebar, mobil-mobil bergerak laju. Aku mencari
tempat untuk nongkrong, persis di bawah tangga penyeberangan. Aku sudah sampai
sebelum jam janjian. Tak apalah, lebih baik menunggu, dari pada ditunggu. Sambil
menunggu, aku perhatikan sekelilingku. Di depan halte dengan bus-bus panjang
yang bergantian datang dan pergi. Mirip seperti kehidupan yang kita lalui. Kita
akan selalu kedatangan orang-orang dalam kehidupan kita, tanpa pernah tahu
cerita apa yang akan digoreskan saat bersamanya. Bahagiakah, ataukah sedih.
Semua memang harus diterima dengan ikhlas, dengan ridha. Tidak ada yang terjadi
diluar takdir kehendakNya, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Bertemu orang
baik, bukan karena kita yang baik tetapi karena Allah yang maha baik memberikan
kita kesempatan untuk belajar langsung bagaimana menjadi baik. Saat bertemu
orang tak baik, bisa saja karena kita selama ini menyangka telah menjadi baik.
Kehadirannya hanya sebuah pertanda, bahwa begitu banyak yang harus disesali,
diperbaiki akibat khilaf dan kelalaian kita di masa lalu. Kehadirannya adalah
cara yang berikan semesta agar kita bisa menginsafi kesalahan yang kita kira
awalnya adalah pilihan yang tepat.
Waktu bergulir, Bang Togi tak kunjung tiba di jam janjian,
aku tak bertanya karena biasanya jawabannya adalah macet. Aku tetap di bawah
jembatan penyeberangan. Teduh, ada angin dari arah halaman kampus UKI yang
rindang. Tidak ada warkop, tak terlihat masjid. Hanya sirine mobil pejabat yang
minta ruas jalan agar lebih didahulukan. Aku melihat jam di tangan. Aku belum
shalat dzuhur, nanti ashar bagaimana. Aku lihat di aplikasi handphone lokasi
masjid tak ada yang dekat. Ada, tetapi aku kuatir dengan jalur kendaraan di
ibukota, walaupun dekat tapi kalau jalanannya satu arah biasanya jadi jauh
karena memutar. Apalagi kalau di jalanan ibukota tidak bisa menyeberang di
sebarang tempat. Aku gelisah, nanti shalatnya bagaimana.
Biasa-biasanya untuk urusan kewajiban shalat, aku tak pernah
resah. Aku tipe orang yang mengutamakan rukhsah,
sesuai ajaran sunnah. Aku juga biasanya tak menunjukan keribetan ibadah saat
sedang bersama teman. Sebisanya, kewajiban ibadahku tak menyita waktu orang
lain, tak sampai membuat orang lain menunggu meskipun itu seorang muslim
sekalipun. Sebisaku, ibadahku bahkan sejenis mahdoh pun kalau bisa tak diketahui teman-teman perjalanannku.
Aku semakin kuatir, karena kalau misalkan saat ashar Bang
Togi baru datang, rasanya tak elok perjalanan baru dimulai aku sudah minta
diantar ke masjid dulu, tapi kalau tidak gelisahku pasti tak akan terobati.
Waktu ashar sudah semakin dekat, aku menghubungi Bang Togi untuk pamit ke
masjid terdekat, Bang Togi mengiyakan. Aku buka Aplikasi Ojek Online, belum
sempat mengisi lokasi seorang perempuan muda datang menghampiri. Dia datang
minta tolong pinjam aplikasi ojek online, karena telepon selularnya hang. Aku setuju, aku iyakan. Hasilnya,
aku tak bisa menggunakan Aplikasi itu sebelum dia sampai di tujuan. Aku tak
jadi ke masjid, kembali aku gundah.
Aku celingak celinguk. Di depan jalan raya dengan kendaraan
padat merayap. Sisi kanan juga sama. Sisi kiri iya juga. Di belakang adalah
halaman dengan beberapa pohon besar dan mobil-mobil parkir. Tak terlihat
gedungnya. Aku lihat di aplikasi gedung itu adalah kampus UKI, ingin aku masuk
lalu menumpang shalat. Tapi aku ragu apa kampus itu ada musholanya. Bukankah
UKI itu Universitas Kristen Indonesia.
Aku duduk lagi, aku bingung. Aku tak tahu Bang Togi
sampainya jam berapa. Kalau aku pergi, aku kuatir Bang Togi jadi menunggu.
Apalagi jalanan di Jakarta tak boleh sembarangan kalau parkir. Beda dengan
jalanan di tempatku. Otakku terus berputar, mencari alternatif. Salah satunya adalah
shalat di dalam kendaraan, seperti kalau aku sedang di dalam bus atau pesawat
udara. Tapi aku ragu lagi, karena di kendaraan nanti hanya ada aku, sopir dan
Bang Togi. Pastinya nanti ngobrol-ngobrol karena lama tak bertemu. Tapi ya
sudahlah, semoga saja bisa saja nanti menyempatkan diri shalat saat di
perjalanan.
Aku berjalan membeli sebotol air mineral di pintu keluar
kampus. Kugunakan untuk berwudhu, supaya nanti di mobil Bang Togi aku tinggal
shalat saja. Tapi bagaimana kalau nanti bertemu Bang Togi, pastinya kita
bersalaman. Bang Togi yang nonmuslim menurut pemahamanku akan membatalkan
wudhuku. Duh, Tuhan kenapa jadi begini, aku membatin sendiri.
Wudhuku luntur. Tapi ya sudah. Langit masih cerah, masih ada
waktu untuk dzuhur dan ashar. Seperti biasa, obrolan sahabat lama dimulai.
Terakhir kami bersama saat pendakian Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mulailah
kami mengabsen satu persatu teman-teman pendakian dari dua komunitas yang
berbeda, yaitu komunitas pendaki Elkape dan Narkopian. Dua komunitas pendaki
yang aku dan Bang Togi pernah ada dalam event mereka. Xenia putih melaju pelan
di barisan pintu tol Jakarta. Entah apa namanya, aku tak mencatatnya, tetapi
tol ini akan terus mengantarkan kami hingga ke timur Jakarta. Seingatku ada
pintu tol Cikarang 3 Utama yang besar itu. Tujuan kami adalah Kabupaten Cirebon.
Tak beberapa lama, Bang Togi dan temannya sepakat untuk istirahat sejenak di
Rest Area. Padahal baru beberapa menit saja kami berkendara. Entah apa
alasannya aku tak bertanya. Aku seperti hendak melompat gembira karena akhirnya
aku bisa menemukan mushola untuk shalat sejenak. Xenia berbelok ke kiri jalan.
Ada Rest Area yang luar biasa megahnya (buatku). Benar-benar megah. Kayak pusat
pertokoan saja. Ada restoran, ada tempat makan seperti kantin, minimart dan
outlet-outlet belanja terkenal dan mewah lainnya. Gedungnya bertingkat. Aku
melihat sambil mendongak. Hebat. Aku pamit ke Bang Togi untuk mencari mushola.
Bang Togi iyakan dan mengurus isi voucher kartu tol. Aku masuk ke sebuah
restoran mewah, bertanya ke petugas di mana letak mushola. Aku ke lantai dua
seperti yang disampaikan. Meniti satu persatu tangga yang berbelok bentuknya.
Aku sampai. Di depan mushola yang besar, yang meneduhkan. Aku mengambil air
untuk wudhu, lalu masuk ke mushola yang lebih indah dari masjid di tempatku.
Kudahulukan kaki kananku, kuucapkan doa atas hadirku. Kaki terasa ngilu
menginjak karpetnya yang lembut. Sejuk oleh pendingin ruangan. Teduh orang
orang-orang yang hadir penuh keimanan.
Aku bersimpuh
Berucap penuh syukur
Aku yang hadir dengan
busana kekhilafan ini
Begitu lancang hadir di
sini
Apalagi kalau bukan untuk
meminta
Meminta agar semua salah
dan lupa bisa dimaafkan olehNya
Terima kasih tak terhingga aku patrikan di hati. Kegelisahan
mencari tempat menunaikan ibadah ini harus dihadiahi tempat yang begitu
mewahnya. Karpetnya wangi, udaranya sejuk. Gratis. Semoga yang membangun
mushola ini selalu dimudahkan oleh Allah segala urusannya, dimurahkan
rezekinya, dan dilimpahkan kesehatan atasnya amiin.
Terima kasih sahabat
pembaca, semoga bermanfaat ya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar