Pagi di pelataran bukit desa Jalai, di beranda orange yang mulai kecokelatan kusandarkan malasku dengan melepas pandang pada sekumpulan Shorea leprosula bertampuk layak tebang berharap jadi penambah rasa syukurku atas kesempatan mencerna setiap ‘perbuatan’Nya. Embun menguap berpacu dengan derasnya sungai sekatak yang tak lagi mempesona dengan ketidakjernihan airnya, aku tak akan mencari kambing hitam atas eksploitasi alam ini, karena hanya akan menghabiskan energi jika keberanianku hanya tertahan pada tuts kibor Logitech hitam ini. Aku memilih meneruskan tasbihku atas nyanyian burung peregam yang berbulu cokelat kehitaman, burung bertubuh bongsor yang pernah menjadi santap makan malamku saat berbalut dengan jahe, cuka dan garam.’mmmhhh, daapnya….’,kenangku.
Keasyikanku menikmati alam terusik dengan tangis keras Lincau, yup….anak Dayak Kenyah usia 5 tahunan itu berontak dan berairmata di depan klinik perusahaan tak jauh dari beranda tempatku bersantai. Ia berteriak, menangis bahkan menghujat. Aku mencoba menebak apa yang ada dalam fikirnya. Ia mungkin tak percaya, bagaimana mungkin Ayah yang senantiasa melindunginya, kini dengan tega menyerahkannya pada sesosok manusia yang dengan terang-terangan menyakitinya….. bagaimana ia harus mengadu sementara Ayah tempatnya berlindung malah menjadi orang yang tak membelanya. Ia memang melihat ada aku di sekitarnya, tapi ia tak meminta pertolongan denganku atas ‘penganiayaan’ yang dialaminya, ia tetap memeluk sembari memukul pundak Ayahnya, membenci tapi tetap meminta perlindungan kepada Ayahnya.
Ah…..aku sudah dapat menebak sedikit, luka yang mulai infeksi di betis kanannya adalah penyebab tangisnya. Sang Ayah dan Paramedis perusahaan memang mau tidak mau harus memaksa mengobati lukanya. Pedih memang tapi kita pasti tahu maksudnya, yah….untuk kesembuhan luka kakinya. Sakit untuk saat ini, tapi untuk kesembuhan selamanya.
Tangis Lincau belum reda, tapi lambat laun berlalu dari pandanganku, dan aku kembali menatap jauh rindang pepohonan yang sedikit demi sedikit dichainsaw warga setempat dengan alasan hutan adat meski dengan kelerangan yang curam. Aku berfikir sejenak atas polah tingkah si anak Kenyah tadi.
Aku tersenyum dalam hati, mungkin aku -atau kita- sering berbuat demikian, kepada Tuhan tepatnya. Ada kalanya kita tidak mengerti ‘perbuatan’ (baca takdir) Tuhan. Kita mencari jawab atas tak siapnya kita dengan sebuah kejadian, kita menangis, menangis dan mengulang tangis. Hari ini, malam dan mungkin hingga esoknya…..masih menangis. Bukan hanya itu, kita berucap lirih hingga meraung dalam balutan sajadah di sepertiga malam untuk mengajukan tanya dengan item berderet layaknya sebuah proposal karnaval. Berbisik padaNya, bersimpuh hingga lendir bening di hidung mengalir berlomba dengan derasnya airmata, bertanya atas ketidakmengertian kita terhadap mauNya Tuhan. Bahkan mungkin kita berontak tak percaya, tetapi kita tak akan pernah meminta perlindungan kepada selainNya, karena kita yakin Dialah sebaik baik Pelindung.
Aku sedikit mengerti atas alur kehidupan, karena ada kalanya kita menangis mencari sebuah jawaban namun sulit menemukannya tapi kita musti percaya bahwa ada kebaikan di balik peristiwa yang mungkin sulit kita terima.
Beranda orange di pelataran bukit Jalai, aku bertasbih atas nikmatNya.
--oo0O0oo--
Artikel Terkait
"Aku sedikit mengerti atas alur kehidupan, karena ada kalanya kita menangis mencari sebuah jawaban namun sulit menemukannya tapi kita musti percaya bahwa ada kebaikan di balik peristiwa yang mungkin sulit kita terima."
BalasHapusaku suka kata2 ini,,,
sepertinya seorang traveler yang mencari jati diri atas kehidupan.... :)
so touchfull..
私は好きですねええ絵。。いい書き方です。。。。:)
Wah, ada tulisan jepangnya. Artinya apa ya? Hehe, trims banget gan Uϑªh ♏αŮ maen ќε lapak ane.
Hapusartinya : aku suka banget tulisanmu... cara menulisa yang bagus.... :)
BalasHapus