Kamis, 17 Desember 2015

Jangan Datang Januari



Aku berdua dengannya. Berdiri tepat di tepi sungai yang tampak tenang membentang. Di seberangnya masih terjaga hutan yang sesekali terlihat anak-anak kera bermain di dahan lalu jatuh tercebur ke air sungai. Kabut tipis masih menutupi sebagian daun meranti dan tengkawang. Sebagiannya lagi menutup telinga manusia yang terbuai kelelahan berpesta pora satu malam.


Photo Pribadi | Lokasi Forestry Tarakan

Hampir tak ada manusia selain kami berdua saat itu. Temanku ini pun sesungguhnya belum tidur hingga kami tunaikan shalat subuh berjamaah. Ia ceritakan, bahwa ia berada di suatu pesta kecil-kecilan yang awalnya menu hanya berupa sebaskom bebek rica-rica namun perlahan berubah menjadi hidangan beralkohol dengan beragam persentase kandungannya. Mulai yang dikemas dalam kaleng hingga botol kaca. Pesta yang hampir semua umat manusia kini menyambutnya, mereka rayakan dengan menenggak minuman yang dilarang, terlarang, karena memabukkan. Mereka ‘menikmatinya’ , meminumnya meski kadang memuntahkannya kembali.


Aku hanya diam bergeming. Ada rasa sedih, prihatin ataupun juga kemarahan yang tertanam. Pesta yang sejatinya milik kaum tertentu kini menjadi agenda bersama. Malam yang diklaim hanya untuk setahun sekali itupun tak ayal bercampur kemaksiatan secara bersamaan. Malam yang seakan-akan anak gadis dibebaskan untuk beredar tanpa batasan jam.


Tak hanya di kota, di desa pedalaman seperti hunianku pun tak terlepas dari euphoria gemerlap pesta manusia sejagad raya itu. Tak ada kembang api memang, tapi suara mesin chainsaw menjadi tanda pergantian tahun saat dibunyikan secara bersamaan, bersahutan dan menimbulkan bunyi-bunyian yang memekakkan.


Tahun telah berganti, api unggun setinggi rumah dua lantai dikobarkan. Mereka saling berucap selamat, tak jarang pula berdoa berjamaah. Tak ada yang kupertentangkan akan hal itu. Siapalah aku yang berani beropini tentang suatu keyakinan tertentu. Akan tetapi jika setelahnya adalah aktivitas saling merugikan, saling melecehkan tentu saja akan membuatku terluka begitu dalam. Malam dimana keperawanan terkadang menjadi sebuah taruhan.


Pesta mulai usai, sebagian kembali ke peristirahatan. Tak tentu apakah dikasur sendiri mereka merebahkan diri. Kelelahan. Kekenyangan. Seakan-akan tak pernah takut jika ajal bisa saja datang. Tak jarang pula mereka mengisi jalanan yang memang sepi karena di tepi hutan. Gas kopling ditarik bergantian, lengkap dengan klakson yang dibunyikan meski tak ada sesuatu yang melintang di jalanan. Mereka hilang kesadaran, parit yang dalam terlihat seperti sebuah tanah yang lapang, hingga akhirnya mereka menghabiskan sisa pesta semalam dalam sebuah genangan selokan.


Adzan subuh dikumandangkan, tapi siapakah yang berani datang. Gendang telinga sudah menjadi tempat air kencing anak-anak setan. Mereka terbuai, mereka lupa bahwa mereka pernah bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah melainkan Tuhan. Andai saja mereka merenungkan bahwa dua rakaat itu lebih baik dari dunia beserta isinya, tentu saja mereka akan menggapainya meski dengan merangkak. Meski dengan merangkak!.


Tetapi sudahlah, kejadian itu setahun yang lalu. Kejadian yang bisa saja terulang kembali beberapa hari lagi. Siapalah aku yang hanya bisa menumpahkan kegelisahan lewat secarik tulisan. Seorang yang hanya bisa membenam harapan, lalu bermimpi jika saja satu januari tak pernah datang.



 ooOoo
Artikel Terkait
Comments
1 Comments

1 komentar: