Senin, 15 Februari 2016

Sebiji Dzarrah




Sebiji dzarrah, sepuluh imbalan ataukah tujuh naungan seakan kembali menohok dan menikam mempertanyakan. Sekali lagi, ini bukan tentang seberapa kuat melalap tumpukkan kitab atau tegaknya rakaat, tetapi ini tentang sebuah aksi nyata tanpa tanya yang akan bersaing dengan kebaikan seorang pelacur yang memberikan minum pada seekor anjing yang kehausan lalu mendapatkan syurga.
 






Badannya kurus dan tampak kusam. Rambutnya ikal tak beraturan. Selimut tipis dibiarkan tak menutupi keseluruhan badannya. Selang infuse, air mineral hingga roti sobek menjadi pemandangan disampingnya, membuatku memberanikan diri memasuki ruangannya lalu menyapa. Ia memang sering terlihat sendiri di ruangan yang seharusnya berisikan dua orang pasien. Tanpa teman, tanpa sanak keluarga. Setelah kusapa akhirnya ia bercerita.


Demam tinggi yang terkadang menyerang tanpa aba-aba, menggigil bagaikan berada di dalam sebuah lemari es dua pintu, hingga nyeri sakit kepala yang tiada tara. Belum ditambah harus buang air besar berkali-kali, atau seakan bibirnya bergerak menyerong ke kiri atau ke kanan akibat demam panas di badan. Ia baru beberapa hari di kampung ini, bekerja memikul kayu hasil gesekan di hutan yang dilansir ke pinggir jalan atau ke muara sungai. Sebuah aktivitas “illegal logging” berkedok kebutuhan masyarakat lokal, yang nyatanya melibatkan pekerja dari pulau seberang dan di”boss”in oleh pengusaha setempat. Berlakulah kegiatan penebangan kayu di hutan alam secara terorganisir dan terlihat natural.


Seperti pria muda ini, adalah seorang dari tanah bugis datang mencari rupiah dengan menjual kekuatan tubuhnya. Hingga sebuah penyakit khas hutan tropis malaria, menyerangnya. Ia sendirian melawannya, tanpa kawan, atau isteri tersayang.


***


Hari ini adalah hari ke tigabelas aku mendampingi seorang teman berjuang menormalkan kembali suhu badannya, tekanan darahnya atau pening di kepalanya. Positif idap typoid membuatnya harus beristirahat panjang. Dalam tigabelas hari, dua kali harus masuk kembali ke puskesmas dan satu kali dirujuk ke rumah sakit di kota masih belum mampu membuat kesehatannya stabil.


Dalam satu episod, kukerahkan segenap yang aku bisa untuk meringankan segala bebannya. Menyeka keringat di dahinya, menyuapkan sirup obat hingga membiarkan kepalanya ada di pangkuan saat merujuknya menggunakan kendaraan. Tak ada yang istimewa memang, selain di satu kesempatan aku hanya merasa ada bagian yang tertinggal dalam kehidupanku kini seakan terulang kembali. Bagian yang seharusnya aku berada di adegan itu dan mendedikasikan semuanya sebagai timbal balas atau keharusan sebagai seorang anak tercinta.


Ya!, satu adegan dimana aku menyadari begitu “lelahnya” menjadi perawat. Lelah, jika hal itu menjadi beban, tetapi nikmat jika yang kau lakukan adalah sebuah perwujudan dari penebus kesalahan di masa lalu. Adegan dimana seharusnya kedua orang terbaik dan tercinta di dalam hidupku harus berjuang melawan sakitnya, sementara aku, anaknya tak begitu optimal atau bahkan tak memiliki andil apapun hingga akhir napasnya.


Kepergian sang bunda memang kusaksikan dengan seksama. Namun mungkin usia yang masih menggendong ransel sekolah membuatku seakan linglung atau tak mengerti apa yang tengah berlaku atau takdir yang terjadi. Sementara beberapa waktu kemudian, sang ayahpun menyusul juga dengan drama terbaring sakit sementara aku tak berada di sisinya.


Sudahlah. 
Sudah terjadi memang. 
Tak perlu disesali. 
Dan tak perlu mengucap kata ‘seandainya’. 
Sudah.


Kini yang ada di hadapanku adalah sama. Sesosok manusia yang juga butuh bukti apa arti sebuah pertemanan. Sebuah janji yang seakan menagih apa artinya komitmen keimanan. Secarik ulasan tentang refleksi barisan redaksi hadits nilai-nilai kebajikan. Sebiji dzarrah, sepuluh imbalan ataukah tujuh naungan seakan kembali menohok dan menikam mempertanyakan. Sekali lagi, ini bukan tentang seberapa kuat melalap tumpukkan kitab atau tegaknya rakaat, tetapi ini tentang sebuah aksi nyata tanpa tanya yang akan bersaing dengan kebaikan seorang pelacur yang memberikan minum pada seekor anjing yang kehausan lalu mendapatkan syurga.


Kembali aku bergegas meninggalkan meja kerja lalu meletakkan semua kebutuhan ke dalam daypack. Bubur ayam, teh manis dan beberapa roti sudah siap kubawa kembali. Melaju pelan dengan sepeda motor pinjaman, harapku semoga aku tetap diberi kesempatan melewati setiap hari dengan manfaat untuk sesama.


***


Tulisan ini kusempatkan untuk menyapa beberapa pembaca yang sudah ingin mendengar kisahku di media ini. Tulisan ternyata bisa mempererat tali silaturahmi antar sesama, selain itu tulisan ini bisa menjadi hikmah buat siapa saja yang mau mencarinya. Bahkan tidak mustahil sebuah hidayah, perubahan bahkan sebuah keyakinan bisa saja berawal dari sebuah tulisan.


Tulisan kali ini saya maksudkan agar teruslah melakukan kebajikan. Tak perlu memilah dan memilih kepada siapa, tapi tak perlu juga berlebihan hingga engkaupun harus kelelahan. Semua ada kadarnya. Setidaknya, apa yang aku lewati kali ini seakan kembali mengingatkan suatu saat kita juga mungkin akan melewati masa-masa sulit dan membutuhkan bantuan orang lain, suatu saat kitapun dibutuhkan orang lain. Jangan berharap mendapat balasan apapun, ikhlaslah dengan cara melupakan semua yang pernah dilakukan. Untuk kalian yang masih memiliki orang tua, bersyukurlah jika kalian diberi kesempatan untuk merawat masa tuanya. Bersyukurlah, lalu berbuat banyaklah untuk mereka.


“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” – hadits -



Salam.
Iman Rabinata 




Artikel Terkait
Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. terima kasih sudah berbagi... tulisanmu menjadi pengingat dan menginspirasi....

    BalasHapus