Kamis, 07 Juni 2018

Jalan


J a l a n


Yang terlihat di sosial media memang pose-pose photo ketika sedang berada di puncak. Dengan balutan jaket outdoor ‘mahal’, rangkulan teman dari berbagai kalangan, latar belakang barisan awan hingga banner seakan bertanya ‘kamu kapan?’. Kelihatan bahagia, sumringah, ceria dan sedikit rasa bangga. Yang terlihat di sosial media memang seakan hidup hanya tentang jalan-jalan, tentang menghabiskan uang, tentang aneka kulineran. Dari satu tempat berpindah ke tempat lain, dari satu bandara hingga ke terminal keberangkatan yang lain. Yang kalian lihat di sosial media seperti parade hobi yang butuh modal, tak perlu pikir masa depan, yang penting hepi, upload photo lalu caption penuh kebanggaan.



Akan tetapi, taukah bahwa ada cerita yang tak terlihat di sosial media. Cerita-cerita gigih, kisah-kisah seperti petualang, rasa penat, kram otot, perut mual, asam lambung meningkat, mabuk kendaraan, ketinggalan pesawat, tidak kebagian dek kapal, reskejul penerbangan, mengejar bus antar kota antar propinsi, dibentak-bentak kernet, dicaloin saudara sebangsa, dilecehkan, dibohongi tukang ojek, masuk angin, kehujanan, ngemper di terminal, bermalam di polsek, terlantar di pelabuhan, kabut tebal, angin kencang, ombak laut mengguncang, hingga rasa haus seharian dimana segepok uang bukanlah jaminan.



Begitulah cerita seorang pejalan, kawan. Banyak hal. Sangat banyak. Jadi ini bukan hanya seperti yang terlihat di photo-photo saja. Bukan tentang kesenangan saja. Bukan tentang menghabiskan waktu dan duit saja. Bukan.

 
Ada banyak hal yang terjadi. Ada banyak hal yang ditemukan. Tentang rasa sakit, rasa kecewa, pergulatan waktu, pertaruhan janji, atau realita kehidupan. Namun, kami tak perlu memperlihatkan itu semua. Tak perlu beberkan itu secara detail mendalam. Tak perlu meyakinkan orang lain tentang jalan yang kami pilih. Sosial media cukup tau bahwa kami hanya berbagi kebahagian, kami hidup senang, kami selalu berhasil dalam pencapaian. Kami bukan pecundang.


Cobalah lakukan perjalanan. Mulailah dengan secermat mungkin mengatur dana yang tak banyak,  mempelajari rute-rute keberangkatan, mengemas barang-barang bawaan. Kelak engkau akan tau bahwa perjalanan itu adalah separuh penyiksaan. Sekali lagi separuh penyiksaan. Bukan aku yang bilang. Tapi sejak seribu empat ratus tahun lalu sudah disampaikan. Dalam sebuah perjalanan, kelak kita dapatkan banyak hal. Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang-orang yang baru kita temui, bagaimana caranya mengatur ibadah saat tak mukim, bagaimana trik beradu argumentasi dengan para penipu, bagaimana caranya agar stamina tetap terjaga. Kelak, di dalam perjalanan kita baru tau apa itu tayamum, apa itu jama takdim. Apa itu sedekah, apa itu rasa iba. Apa itu syukur, apa itu takdir.


Aku, bukan tak pernah lewati cerita-cerita itu. Harus berhadapan dengan empat perampok bersenjata, harus dirazia, disemprit petugas, diusir pak satpam, diintimidasi empat preman terminal, kehilangan camera digital,  digerayangi pekerja salon, atau ditawari kenikmatan semalam. Begitu juga jika sedang dalam pendakian. Jalan berhari-berhari. Saat pagi, saat petang, saat orang lain sedang dalam buaian. Istirahat hanya hitungan jam. Buang air besar di antara semak dan bebatuan. Kekurangan air. Kehabisan spirtus. Puyeng, kaki lecet, celana sobek, ditempelin nyamuk sekecamatan, digonggong anjing, dikejar monyet, dilalui ular melewati kedua kaki dan rentetan cerita indah lainnya.


Lantas, apakah semua itu alasan untuk berdiam diri?, bukan. Apakah semua itu menjadi halangan, menjadi sebab untuk berhenti lalu disitu saja berhari-hari bermain jari. Tidak. Sekali lagi tidak. Cerita-cerita tak nyaman itu kami biarkan tersimpan. Kami yakini itu hanya sebentar, hanya sementara. Rasa sakit itu hanya bagian kecil dari kehidupan ini, perut mules, kotoran susah keluar, bibir pecah-pecah atau ingus mengeras, semua itu hanya sementara. Semua menjadi indah saat kita sadari bahwa rasa apapun yang menghinggapi di hidup kita adalah takdir. Adalah suratan. Adalah bagian dari kehidupan ini. Mau disesali, rasa itu juga akan datang. Mau berdiam diri di depan layar LED pun tak ada jaminan hidupmu tak dirundung malang. Hidup ini berwarna kawan, takdir buruk ataukah takdir senang adalah kebutuhan. Hidup ini tak sedatar perut Zheng Siwei, semua pasti ada lekuknya, semua ada lika likunya. Capek, sedih, perih. Tapi ada juga saatnya kita tertawa, bahagia, bersuka cita layaknya berada di atas puncak. Puncak gunung atau puncak segalanya. Semua hanya bisa diraih setelah melewati perjalanan panjang, melalui rasa sakit, perut kembung, muntah angin dan ingin berbalik arah untuk kembali pulang. Namun orang lain tak perlu tau itu semua kawan, tak perlu!. Sosial media hanya melihat kita selalu bahagia, kita sedang berada di atas puncak, selfie dengan gulungan ombak, dengan rekanan hebat dan warna warni pakaian penuh corak. Tentang rasa sakit itu, cukup kita saja yang tau. Kelak ketika mereka ingin lakukan perjalanan itu, barulah mereka sadar bahwa perjalanan itu bukan tentang biaya, bukan tentang gaya. Tapi tentang mencari nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Tentang kualitas diri di luar zona kenyamananmu sendiri. Tentang toleransi, tentang berbagi, tentang menahan diri dari nafsu mengomentari.


Menjadi seorang pejalan itu harus tangguh, harus kuat, harus cerdas, dan jangan mudah molor. Maka itu, seorang pejalan harus rajin berolahraga, jaga stamina. Supaya tidak mudah masuk angin, tidak mudah mencret, tidak mudah sakit pencernaan, tidak mudah batuk filek dan lain sebagainya. Seorang pejalan itu juga harus tetap berolahraga, supaya tidak mudah terkilir, tidak sering keseleo, tidak melulu dehidrasi. Seorang pejalan itu memang harus terus berolahraga, jangan sebentar-sebentar pakai sepeda motor, jarak dekat pakai kendaraan, selain pemborosan bahan bakar, otot betis tidak berfungsi sempurna. Seorang pejalan itu identik dengan olahraga, bukan sebagai kesenangan semata, tapi kebutuhan nyata.


Menjadi seorang pejalan itu harus bersih. Menyukai kebersihan, menjaga kebersihan. Menyukai alam, kabut pagi ataupun rintik hujan. Iapun bergembira saat air hujan langsung meresap ke bumi, bukannya meluncur di semenisasi. Seorang pejalan senantiasa membiarkan hewan hidup tanpa kurungan, entah yang melata atau yang bisa terbang. Seorang pejalan tak akan buang puntung rokok sembarangan, apalagi asap rokoknya ke hidung teman, atau petikkan apinya ke pengendara motor belakang. Seorang pejalan selalu menghabiskan air mineral minuman pada gelas kemasan, memilih tidak menggunakan pipet, mengurangi pemakaian kresek belanja berlebihan apalagi buang bungkus permen ke sungai. Seorang pejalan tak harus bawel lalu sibuk mengkampanyekan slogan-slogan. Cukup dari dirinya dulu, menjadi warga yang tidak dihindari tetangganya, menjadi pekerja yang tidak memberatkan teamwork-nya, menjadi anggota keluarga yang dikenal santun dan ringan tangannya.


Menjadi seorang pejalan itu harus pintar, harus cerdas, harus empati. Pintar berkomunikasi, cerdas membaca situasi, dan empati terhadap kondisi. Siapapun dapat ditemukan dalam sebuah perjalanan. Orang yang lebih tua, lebih muda atau seusia. Dari suku yang sama, dari ras yang berbeda, atau dari akidah selain kita. Mau berteman dengan cina, budha ataupun duda, semua bukan hal yang menjadi tanya. Kecuali yang berhijab, tentu ada syariat yang menyekat.


Perjalanan terakhirku kala itu bersama etnis tionghoa, warga jepang, suku batak dan sunda. Ada yang lebih tua, ada yang lebih muda. Ada yang pria, ada juga wanita. Meski sebagian besar beragama nashara, saat subuh menjelang kami berdua dipersilakan berjamaah diantara bebetuan. Dan mereka menunggu dengan tenang. Kami punya banyak perbedaan, tapi bukan menjadi alasan untuk mengintimidasi satu pemahaman.


Perjalanan juga yang akhirnya menuliskan kisah pertemuanku dengan Rosma, ibu tua di pedalaman Sumatera, Komang di Kintamani Bali, Safa di Pantoloan yang berjuang untuk kesembuhan ibunya melawan kanker tulang, atau Rezy di Universitas Airlangga Surabaya. Bukan hanya tentang persahabatan, tentang makan-makan, atau photo-photo kebersamaan. Perjalanan pula lah yang menemukanku pada seorang pengusaha tembakau, pemborong di kawasan tambang Nunukan, aktivis pemberontakan pada masa Kahar Muzakar, atau para penjaga gajah yang disebut mahot di Taman Nasional di Riau. Perjalananku bukan hanya tentang capture dalam pesawat Garuda, tapi juga tentang sepeda motor yang harus masuk bengkel setelah kehujanan dalam perjalanan di dataran tinggi Dieng, tentang bentor yang tak tau arah saat di Rantepao, Jalanan putus akibat letusan Gunung Karangetang di Siau, diturunkan di tengah jalan akibat kelewatan hendak ke Lawang Sewu Semarang.


Perjalananku bukan sekadar melihat matahari terbit dari Bromo Pananjakan, atau tenggelamnya sang surya dari Pantai Kuta. Perjalananku juga tentang menyaksikan proses melahirkan di sebuah kapal cepat di tengah lautan, rumah-rumah yang dihujani abu dari erupsi Merapi, atau secuil areal konservasi di tengah ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak.


Perjalananku bukan tentang keindahan pantai, danau ataukah bau belerang. Perjalananku hanya tentang sebuah mata pelajaran bagaimana seharusnya kita hidup dengan penuh kebahagian, dengan rasa syukur, dengan ketulusan, dan dengan seluruh keyakinan bahwa kita hanya sementara di dunia ini. Sama seperti sedang dalam perjalanan, jadi tak perlu menumpuk sesuatu yang tak akan diperlukan, tak terlalu kuatir untuk sesuatu yang belum tentu datang, tak melulu menyesali untuk semua yang telah dilewatkan. Cukup ilmu lalu amalkan.


Tulisan ini bukan tentang kekesalan, hanya media untuk saling mengingatkan. Aku mungkin keliru, engkau bisa saja salah paham. Terima kasih sudah mengingatkan, agar setiap jejak langkah tak salah saat diperjalanan. Perjalanan, kami tau ini mahal, tetapi dari situlah kami mulai mengenal kesederhanaan. Kami tau ini sakit, namun dari situlah kami mulai menjaga kesehatan. Jalan adalah tempat kita bertemu sesaat lalu berpisah menuju masing-masing  arah tujuan. Jalan adalah cara kita menentukan pilihan untuk cita-cita yang sudah ada di dalam keinginan. Jalan adalah tempat dimana kita bebas menentukan apakah ingin lebih cepat sampai tanpa hambatan, atau bersenang-senang dahulu menikmati keletihan sepanjang jalan. Apapun definisimu, jalan adalah asasimu sendiri. Kita yang memilih jalan ini. Kita juga yang menjalaninya. Maka kitalah yang paling bertanggungjawab untuk bahagia atas pilihan jalan ini.


Terima kasih
Wassalam

Artikel Terkait
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Tulisan keren..

    - Nurmina -

    BalasHapus
  2. Masya Allah. Teruslah menulis mas iman. Tulisanmu selalu memberi inspirasi, selalu menjadi pengingat dan nasehat yang berisi

    BalasHapus