“Selalu ada yang tertinggal di setiap pendakian, bukan…, mungkin bukan tertinggal, tetapi sengaja aku tinggalkan. Sepenggal hati. Aku sengaja meninggalkan sepenggal hati di setiap pendakian. Sehingga dapat aku jemput kembali, di pendakian berikutnya”.
eLKaPe Indonesia Adventure Team, Merapi 2012 |
Setelah pendakian semeru September tahun lalu, aku merasa menemukan tempatku di sini. Bukan perkara menikmati desir angin diantara pepohonan di pegunungan, bukan juga karena menikmati indahnya lereng dari ketinggian, dan bukan ingin terlihat gagah berada di tanah tinggi menjulang. Namun filosofi pendakian, adalah bertemunya sekian banyak jiwa dari sudut bumi, bertaruh mencari semangat yang terkikis, menampilkan toleran terbaik dan menyepakati persaudaraan, menerobos dimensi yang bersekat.
Berasal dari pedalaman Borneo, sebuah desa di tepi sungai Sekatak, kabupaten Bulungan, aku memulai ekspedisi ini. hanya ada satu sarana transportasi menuju kotamadya terdekat, Tarakan, dan itu mengharuskan aku mengatur sedemikian rapi rencana perjalanan kali ini. Selasa pagi, 03 April 2012 aku meninggalkan hunian dengan perlengkapan camping menuju Tarakan. Tiba di Tarakan, melengkapi beberapa keperluan agar tak terlalu merepotkan selama di tanah jawa. Keesokannya, Rabu, 04 April 2012, pesawat udara Lion Air JT 261 mengantarkanku ke bandara internasional Juanda Surabaya setelah sebelumnya transit terlebih dahulu di bandara internasional Sepinggan, Balikpapan. Seorang teman di Surabaya yang selalu aku repotkan malah terlebih dahulu menanyakan waktu landing di Juanda ingin mengatur penjemputan, yang akhirnya dijemput oleh teman baru sembilan puluh menit sesudah kedatanganku karena cuaca di Surabaya sedang turun hujan.
Diantara rintik hujan, kita menerobos keramaian jalan kota untuk menuju kediaman seorang teman di wisma pagesangan raya Surabaya. Suguhan ikan Lele dengan sambal khas menjadi penghangat pertemanan lintas daerah ini, kita bertiga, saling bertukar cerita, saling berbagi suka, menularkan perasaan sejiwa antar sesama manusia pengagum keindahan ciptaNya. Hingga di pukul 01.00 dini hari, aku berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju kabupaten Madiun Jawa Timur.
Diantar langsung hingga di depan pintu bus Mira jurusan Madiun, aku berpisah kembali dengan sahabat yang hanya sekejab kita bersua. Di sepertiga malam, aku memulai perjalanan menerobos keheningan menuju ‘tanah’ kerajaan Mataram. Fajar belum mendekat, aku sudah tiba di terminal Purboyo, Madiun. Bersiap menunaikan shalat subuh berjamaah di mushola terminal, aku merapikan carrier bag dan pakaian yang usang berdebu. Ba’da subuhan, aku merebahkan diri sambil menanti terang sang mentari. Pukul enam pagi, aku menghubungi teman memberitahukan bahwa aku telah sampai dan menunggu di terminal. Aku dijemput, untuk berisitirahat sejenak di kediamannya di desa Gandul, Pilangkenceng - Caruban, Madiun.
Tak terlalu lama berada di pemukiman tak padat ini, cuaca sedang tak mendukung untuk bepergian jauh, hingga ketika sinar mentari berada tepat di atas tombak (istilah waktu dzuhur, red), aku kembali berpamitan dengan keluarga pendidik yang sangat ramah ini. Siang, kamis 05 April 2012 aku melanjutkan perjalanan menuju negeri Jokowi, Surakarta. Di dalam bus Sumber Selamet, aku aktif berkomunikasi dengan pendaki lain yang akan bertemu di perempatan jalan kota Solo, begitu juga dengan teman pendaki yang berasal dari sidoarjo, yang sedang berada di dalam kereta api jurusan stasiun Jebres – Solo. Pukul tujuh malam waktu setempat, aku tiba di kota keraton ini dan bertemu dengan dua orang pendaki tampan dari kota Sragen – Jawa Tengah. Kita baru berkenalan, namun tak butuh waktu lama untuk mengakrabkan diri. Sembari menunggu pendaki lain yang datang, aku bersama dua pendaki ini, berputar-putar mengitari kota Solo yang tampak sangat rapi. Selanjutnya, kita memilih makan malam di sebuah beranda makan (bukan rumah makan), yang lebih dikenal sebagai angkringan. Memang, gaya makan dengan duduk lesehan seperti ini, adalah pemandangan yang sangat khas di tanah jawa, terasa santai dan menyatu dengan lingkungan.
Pukul sembilan malam, mba mayos, pendaki senior asal sidoarjo telah sampai di stasiun. Kami yang saat itu tengah menggelar matras di alun-alun selatan, kembali bergegas untuk menjemputnya. Tiba di stasiun, kami malah mendapat jamuan dari seorang teman yang bertugas di stasiun kereta. Segelas kopi hangat, menambah keakraban diantara kami semua.
Dari stasiun Jebres, perjalanan dilanjutkan mencari penginapan di sekitar stasiun paling populer seIndonesia, stasiun solo balapan. Penginapan bergaya losmen, Jayakarta menjadi pilihan. Dengan fasilitas double bed-room, lengkap dengan kamar mandi dalam, televisi dan fan, pengunjung hanya ditarik biaya tujuh puluh lima ribu rupiah. Penginapan yang asri, lengkap dengan beranda dan dua buah kursi, menjadi peristirahat sementara sebelum memulai pendakian keesokan harinya.
Jumat, 06 April 2012, pendakian dimulai dari base camp Bara Meru Merapi, Selo kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Menjelang sore, team leader, melepas kelompok pertama pendaki. Aku bergabung di kelompok (kecil) kedua. Pendakian kali ini memang terbagi dua bagian, karena masih menunggu teman-teman pendaki berasal dari Bandung yang belum tiba di base camp.
Lepas dari angka sepuluh malam, aku dan team memulai pendakian. Berdoa sebelum melangkah, adalah ritual wajib yang kami lakukan. Sinar rembulan begitu terang, langit malam tampak sangat cerah, sehingga sebagian kita tak perlu mengaktifkan headlamp selama pendakian. Jalur pendakian merapi memang tak sepanjang jalur semeru, namun jangan salah, jalur merapi begitu terjal dan curam. Dibutuhkan otot paha yang tangguh untuk menopang beban, diperlukan kecermatan mata agar tidak terpental di bebatuan, diharuskan miliki keseimbangan agar tak terdorong ke belakang.
Terdengar napas yang terengah-engah. Terlihat jelas bulir keringat di dahi dan wajah. Sedang pendaki wanita itu, duduk meluruskan kakinya sambil mencari air dan sepenggal gula jawa. Aku masih memiliki sedikit kekuatan di batas ini. waktu yang ada selalu bermanfaat untuk memulihkan rasa lelah dan penat. Kami kembali mendaki, bersama. Di beberapa saat, kami beristirahat, sekadar mengatur detak jantung dan napas.
Dari jalur ini, terlihat jelas kemerlap lampu kota di kaki gunung merbabu. Semakin tinggi, tampak juga kegagahan gunung sumbing dan sindoro di seberang sana. Sementara puncak merapi, mengharuskan kami mendongak lebih tinggi untuk melihat angkuhnya.
Aku kembali mendaki, memikul beban menyeret kaki, bebatuan terbentur tanpa henti, pohon tumbang mengharuskan aku merayap dengan hati-hati. Apa yang kau cari. Seakan pertanyaan itu hadir diantara lengan yang terus bertopang pada bebatuan. Tidakkah kau merasa lelah, tidakkah kau merasa payah. Apa yang kau cari. Seorang bidadari, ataukah rasa nyeri. Disaat manusia terbuai di dalam mimpi, aku merayap diantara vegetasi.
Aku memang menciptakan pertanyaan itu sendiri menyelinap di sanubari. Namun aku telah lebih dahulu memiliki jawaban atas pertanyaan mudah seperti itu. Aku memiliki tinta seluas samudera untuk menuliskan alasan pendakian ini. aku punya sejuta episode cerita tentang maksud pendakian ini. Aku punya ribuan tera untuk merekam argumentasi pendakian ini. Datanglah kesini, di puncak merapi, maka kau akan temukan semua pertanyaanmu, bahkan kau juga temukan jawaban atas pertanyaan yang belum engkau pertanyakan.
Dibutuhkan waktu tiga hingga empat jam untuk sampai di lokasi peristirahatan ‘pasar bubrah’. Pasar Bubrah, adalah lokasi datar berbatuan tepat berada di kaki puncak merapi. Tak ada pepohonan di sini, tak terlihat edelweiss di tempat ini. hanya ada bebatuan yang berserak dan desir angin yang bertiup kencang. Kelompok pertama telah berisitirahat di dalam tenda ketika kami tiba di pukul dua dini hari. Masih ada waktu untuk berisitirahat sebelum melanjutkan summit attack di pagi harinya. Aku bersama tiga pendaki lainnya, memilih berisitirahat tepat di balik batu yang besar. Hanya berselimut sleepingbag dan beralaskan selembar matras, merebahkan diri sambil menatap ribuan bintang yang tampak bersahabat.
Dusta,
Jika kau tak merasa lelah
Jika kau tak merasa gerah
Jika kau tak melipatkan tanganmu mencari hangat
Dusta,
Jika betismu tak membatu
Jika ujung jari kakimu tak melepuh
Jika tubuhmu tak berpeluh
Tapi kau lebih berdusta
Jika kau tak terenyuh
Jika kau tak mengenal siapa dirimu
Jika kau tak melihat Tuhanmu
Tahukah kau
Dia sedekat sulbi dan hati
Ketika bumi bercumbu dengan dahi
Menyentuh debu dibalik bebatuan gunung Merapi
Saat subuh menjelang, aku dibangunkan untuk segera memulai pendakian menuju puncak. Udara dingin menusuk tulang, sementara tubuh masih terasa pegal. Aku bergegas, merapikan peralatan yang akan dibawa selama pendakian. Beberapa teman pendaki lain, terlihat masih bergumul menekuk tubuh melawan hawa yang menusuk hingga ke relung terdalam.
Pendakian ke puncak merapi memang tak sesulit puncak mahameru, jika di semeru kita diberi batas waktu untuk menuju puncak, di merapi, pendaki bisa lebih bersantai sambil menikmati indahnya alam pegunungan. Tekstur tanah jalur pendakian menuju puncak juga beragam, ada yang berpasir berbatu, sebagiannya bertekstur lebih keras meski sedikit terjal. Tak selang beberapa lama, aku dan beberapa teman pendaki telah sampai di puncak. Terlihat kawah yang begitu luas, tercium bau belerang yang menyegat dan tampak kepulan asap dari sela-sela bebatuan. Tak jarang hawa panas keluar diantara lubang-lubang kecil di dinding kawah.
Sabtu, 07 April 2012, team perlahan mulai meninggalkan puncak merapi. Dengan semangat yang tak pernah padam, melewati jalur lumut yang terjal, mengharuskan pendaki terus berkonsentrasi agar tak terperosok diantara bebatuan. Satu persatu, pendaki tiba dengan selamat di base camp Selo. Kita berpisah, untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi yang berbeda. Begitupun denganku, kembali ke tanah borneo nun jauh di sana.
“Selalu ada yang tertinggal di setiap pendakian, bukan…, mungkin bukan tertinggal, tetapi sengaja aku tinggalkan. Sepenggal hati. Aku sengaja meninggalkan sepenggal hati di setiap pendakian. Sehingga dapat aku jemput kembali, di pendakian berikutnya”.
ooOoo
Artikel Terkait
akan selalu ada kenangan dan orang2 yg singgah di hati kita, dan kita tdk akan pernah sm lagi dgn kita sebelumnya...
BalasHapusSmg kita bs jumpa lg kawan
-anink-
kenangannya gak akan aku tinggal di merapi kog,akan slalu ku bawa sepanjang hidupku sodara2ku...insyaalloh kita berjumpa lain waktu..terimakasih atas semua kenangan2 indah bersama kalian,hehehe...
Hapus-fahrudin-
eh ada fotoku :D
BalasHapusSukses sellu n teruslah mendaki puncak2 lainnya :)
BalasHapusCerita mas Iman kali ini tak menyebut namaku, huft...
BalasHapusTp Selamat...mas Iman dah bs gapai 2 puncak d jawa,
terus semangkaaa...untuk napaki tanah tinggi berikutna.
bang iman, ak berkaca2 baca nya.....ijin repost di fb ku yaaa
BalasHapusYupssssssssssss,,, Mas Iman yg skrg g seperti mas Iman yg dulu ak kenal d Camp Sekatak-Bulungan-Kaltim,,
BalasHapusbuanyak berubah euy,,,, salut dahhhhhhhh,,,
atau ak dl memang belum betul2 mengenal mas Iman ya heheheee,,,,
Semangatmu mas,membuat ak jd ngiri,,,
wkt mas Iman upload Semeru,, emmm pingin,, akhirnya ak ikutin,, walau hNya nyampe d Bromo,,
tak pa2 lah,, bwt obat ngiler hehehehe,,,
skrg mas Iman k Merapi,, ak kpn??? malu euy,, yg ngakunya orang Jateng tp blm prnah kell Jateng hihihi,,,,
jangan kan Jeteng, Jepara ja blm tuntas,,(curhat.com)
semangaaaaaat..............
BalasHapusAnink : senang mengenalmu sobat, terimakasih, semoga bertemu di lain waktu
BalasHapusFahrudin : Terimakasih telah menemani selama di Solo, sukses untukmu brader
Ableh : Semoga bisa terus mendaki...
Uni : hehe, next trip ya.
Tyas : Silakan, dengan senang hati
Novi : saya berubah apa neh mba nov, lebih dewasa ya, hehe. makasih atas kunjungannya di tulisan saya mba nov, semoga sukse selalu
Anonim : Terimakasih.
Sepakat dengna Novi, kemampuan menulis mas Iman makin terasah, membaca blogx sprti membaca blogger ternama, memang seh, beliau sdh punya pengalaman layaknya blogger senior yg kmudian terbukti dgn bbrp penghargaan yg diraihnya, bahkan sy yakin suatu saat Mas Iman akan mempunyai buku yg terbit dn dkomersialkan, sisa menunggu ssat yg tepat dgn org yg tepat pula!Selamat mas Iman...sy harap suatu waktu dapat bersua dengannya lagi...
BalasHapus