Anak-Anak Bermain di Desa Bambang |
Ketika begitu banyak sahabat-sahabat saya yang memilih tinggal di
perkotaan, saya hingga saat ini masih menikmati hidup dari jauhnya
gemerlap lampu kota dan juga kebisingan. Bekerja pada areal konsesi
kehutanan, membuat saya bisa berinteraksi langsung dengan alam.
Mengawali aktivitas rutin dengan berlari pagi dapat memanjakan paru-paru
saya untuk menikmati oksigen yang melimpah ruah. Menikmati embun pagi
diantara rindang pepohonan dan juga suara gemericik air sungai yang
berlomba menuju muara. Sesekali saya membawa peralatan teropong dan juga
kamera untuk mengamati tingkah lucu binatang-binatang hutan dari
kejauhan. Canda ria satwa Owa hingga mengamati sepasang burung Enggan
yang hendak kembali ke sarang. Tak jauh dari hunian saya, adalah sebuah
desa tepi hutan, yang memiliki keunikan dalam hal perlakuan terhadap
mayat yang disemayamkan. Desa itu, bernama Bambang.
Desa Bambang berada di kecamatan Sekatak, kabupaten Bulungan propinsi
Kalimantan Timur. Sore itu saya berkesempatan untuk berkeliling desa
sambil melihat petani yang duduk di pondok-pondok sawah untuk mengusir
burung-burung yang hendak memakan bunga padi. Sawah yang tak luas ini,
terlihat padinya mulai menguning. Sore seperti ini banyak sekali burung
pemakan bunga padi yang hendak mencuri hasil sawah mereka. Saya bersama
seorang kawan tertarik untuk mendatangi sebuah jembatan panjang yang
terbuat dari kayu. Jembatan yang sempat membuat dahi saya berkerut
karena mencari jawab untuk menghubungkan tempat apakah jembatan ini.
Jembatan panjang tersebut membentang di atas persawahan. Satu sisinya
berada di tepi sawah atau di belakang pemukiman desa Bambang, sementara
satu sisi atau ujung jembatannya terlihat menuju sebuah kebun yang
telah tertutup oleh semak belukar. Tak terlihat badan jalan ataupun
juga bangunan. Entah apa maksud dibuatnya jembatan ini.
Jembatan desa Bambang, di sore hari juga digunakan anak-anak desa untuk
bermain. Permainan tradisional tentunya. Permainan-permainan yang tak
pernah dimainkan lagi oleh anak-anak perkotaan. Permainan yang dapat
mengajarkan anak-anak akan pentingnya kerjasama, ketangkasan ataupun
kecerdasan. Di tempat seperti inilah nuansa tersebut masih mudah saya
temukan. Saya menyusuri setapak demi setapak langkah seolah berjalan
menghitung lembar papan jembatan. Bunga padi yang telah berisi, mentari
cerah menyinari, anak-anak desa bercanda menari, hingga wanita dewasa
duduk mengusir sang 'pencuri'. Saya terus menuju ujung jembatan, hingga
sampai. Terlihat jalan setapak yang sedikit menanjak. Semak rerumputan
hampir menutupi badan jalan, terlihat pohon-pohon buah yang belum
berbuah, hingga satu areal lapang yang tetap dirimbuni banyak pepohonan
terlihat di depan saya. Pemakaman. Benar, yang ada di depan saya adalah
areal pemakaman. Meski tak luas, areal ini memang digunakan untuk
menyemayamkan jenazah atau tempat pemakaman umum desa. Sepintas, bentuk
kuburan hampir sama dengan kuburan lainnya. Bagian atas terlihat seperti
pondok atau atap setinggi satu hingga dua meter. Tetapi yang berbeda,
tak ada gundukan atau bangunan bersemen tempat batu nisan diletakkan
seperti umumnya pemakaman. Kuburan ini, hanya lubang persegi panjang
yang dibiarkan tetap berlubang. Tidak ditimbun tanah kembali. Dalam
lubang tersebut terlihat susunan papan sepertinya berfungsi sebagai
penutup jenazah yang disemayamkan, meskipun jenazah tersebut berada di
dalam sebuah peti mati. Ada lubang persegi panjang seukuran satu orang
jenazah, ada juga (lubang) kuburan yang berukuran besar, sepertinya,
jenis seperti ini diisi oleh lebih dari satu jenazah.
Buat sebagian orang, akan terasa angker atau menyeramkan. Sebuah tempat
pemakaman yang unik, berada di sebuah kebun tak terawat, hingga bentuk
kuburan yang dibuat lubang tetapi tak ditimbun kembali dengan tanah.
Saya mengamati satu persatu kuburan tersebut. Memang tak semua kuburan
memiliki rancang bentuk yang sama. Ada juga bentuk kuburan yang telah
disemen dan diberi nisan.
Cukup lama saya berada di areal pemakaman tersebut, berputar-putar
mengamati satu persatu bentuk pemakaman, hingga dirasa cukup, sayapun
keluar areal dan kembali menuju jembatan panjang tempat saya bermula. Di
atas jembatan, saya bertemu dengan banyak warga desa dengan aktivitas
persawahannya. Saya menyapa, dan akhirnya bercengkerama dengan seorang
pria dewasa warga desa setempat.
Kuburan unik desa Bambang menjadi tema perbincangan saya. Bersama
seorang bapak yang memiliki empat orang anak ini, banyak membantu saya
untuk menjelasan tentang bentuk kuburan suku Dayak desa Bambang. Seperti
alasan beberapa tindakan adat lainnya, model kuburan seperti inipun
tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, jawabannya hanyalah alasan
kebiasaan atau adat isiadat yang merupakan warisan pendahulunya. Kuburan
suku Dayak desa Bambang dibuat lubang yang cukup dalam, hal tersebut
dimaksudkan untuk diisi oleh beberapa jenazah. Satu lubang kubur, akan
diisi oleh beberapa kerabat dekat, jika memiliki kerabat yang cukup
banyak, maka akan dalamlah lubang kubur tersebut. Bentuk kuburan yang
dibiarkan berlubang, tidak ditimbun tanah kembali, agar ketika ada
kerabat yang meninggal dunia, maka jenazahnya akan diletakkan di atas
jenazah sebelumnya, dengan diberi batas papan. Di bagian atas kuburan
juga terdapat beberapa benda yang merupakan benda-benda kesayangan si
mendiang semasa hidupnya. Meski kuburan tersebut tidak ditimbun dengan
tanah, bagian atas dibangun semacam pagar yang membentuk menyerupai
pondok agar binatang tidak mengganggu jenazah yang semayamkan di
dalamnya.
Hari semakin sore, langit senja menyapa, para petani beranjak pulang ke
desa, bersama saya, seorang bapak yang dengan baiknya memberikan banyak
cerita tentang kehidupannya yang tentu saja bersahaja. Cerita tentang
pemakaman desa, tentang anaknya yang semakin dewasa, tentang hasil
sawahnya yang tak seberapa, juga tentang hewan buruan yang tak lagi
mudah mereka jumpa. Saya menikmati tuturnya dalam sebuah kemasan budaya
apa adaya. Sebuah perbincangan jujur dengan latar yang memperkaya jiwa,
sungguh sebuah perbincangan tanpa kepalsuan, bukan perbincangan tentang
materi yang diperlombakan, dan juga bukan perbincangan tentang manusia
hedonis yang semakin membingungkan.
Saya mengulur tangan untuk berjabat tangan dan berpamitan. Atas
pertemanan ini, biarkan saya tulis untuk berbagi cerita untuk semua.
Semoga kearifan lokal akan menjadi budaya yang terus dipertahankan.
ooOoo
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar