Tulisan ini entahlah mengapa sulit sekali selesainya. Ada beberapa skrip yang tak tuntas. Ada
beberapa alur yang buntu. Dan ada beberapa tuts kibor yang telah tersusun harus
saya backspace kembali. Terkadang saya menganggap apa pentingnya tulisan kali ini, sehingga
saya tinggalkan, tanpa perlu saya publish. Namun, di beberapa spot waktu seolah
ada rasa mengganggu seakan tulisan ini adalah 'pekerjaan rumah' yang harus saya
selesaikan
Beberapa pekan terakhir, saya 'seakan' berada di sebuah
dimensi yang membuat saya terus mengerutkan dahi, membuat saya menyambungkan bulu
alis, atau membuat saya menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Sebuah
dimensi dimana saya sadari membuat saya menaikkan nada suara saya, hingga
beberapa oktaf tingginya. Saya juga mungkin perlu memeriksakan tekanan darah, karena
kondisi yang berlaku saat ini seolah hanya bisa diselesaikan dengan kemarahan,
bentakkan, atau nada melengking lainnya. Saya sadari itu, dengan segala penyebabnya.
Dalam beberapa plot waktu yang lain, saya berada di sebuah dimensi
dimana saya hanya bisa menatap terdiam tanpa aksara. Saya yang biasanya penuh dengan
kalimat dan aksen, tiba-tiba harus membungkus semua analisa tersebut dengan
tatapan tajam. Tentu saja kembali dengan membuat parit di dahi dan juga
menyambungkan bulu alis, meski dalam konteks yang tidak sama. Sebuah dimensi,
dimana saya dihadapkan pada sebuah persoalan 'sederhana', problematika
kehidupan 'murahan' namun masih ada di sekitar saya. Tentang kemalasan,
sulitnya melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, nilai ujian tak
membanggakan, banyaknya undangan hajatan yang mengharuskan si penerima undangan
menyiapkan dana sebagai 'hadiah', dan hal-hal lainnya. Sebuah dimensi dimana
saya berada dalam durasi yang memang tak lama, tetapi berhasil membuat saya
'keluar' dari kehidupan saya sebenarnya.
Dalam beberapa plot waktu yang lain, saya berada di sebuah dimensi
dimana aktivitas ini demikian hebatnya menyita. Satu hari yang dilalui seakan
tak lagi sejumlah dua puluh empat jam lamanya. Pagi, pagi, dan sebentar lagi
saya telah bertemu pagi. Hingga entah apa yang telah aku raih dari berbagai
pagi yang ditemui.
Dimensi, dimensi dan dimensi dalam keseharian, seakan terus
merongrong untuk terus merekonstrusksi hati dan juga pikiran. Dan inilah dimana
saya merasa berada di sebuah dimensi yang membuat semua dimensi lainnya seakan
butuh pertanggungjawaban. Dimensi ini, terus menggerogoti pemikiran, terus mengajukan
ragam pertanyaan, terus menagih bak seorang penagih hutang. Dimensi dimana saya hanya
bisa tertunduk diam diantara orang lain yang berdiri dan bersedekap. Dimensi dimana
saya hanya bisa tertunduk lunglai diantara orang lain yang melafazhkan qiro
dengan indah. Dimensi dimana saya hanya bisa membendung tangis diantara orang
lain yang sibuk menghafal ayat-ayat madaniyah. Sebuah dimensi yang entah, mengajak saya
untuk segera merampungkan segala penat, jengah, lelah ataukah gundah yang belakangan
ini melanda.
Seperti hari ini, dan beberapa hari dalam beberapa pekan ini, cuaca terik dan sangat terik, di beberapa waktu lainnya, bisa saja terik ini berubah menjadi angin kencang dan hujan datang dengan derasnya. Pekan, dimana kegundahan aku tampilkan dalam sebuah kemasan yang sering membuat kesal orang lain. Saya sadari itu, sama seperti di awal tulisan ini aku tuliskan. Namun sekali lagi, apa yang bisa aku pertanggungjawabkan.
Hari ini, kemarin dan beberapa hari belakangan. Entah apa yang membuat aku kembali seperti seorang yang sangat lemah. Ketika sajadah tebal tak membuat saya 'betah'. Saya hanya ingin cepat beranjak pergi, berlalu dan menyembunyikan linangan ini. Saya bukan tak suka dengan tempat ini, tetapi entahlah, seolah ada dorongan dari dalam bagaikan air bah yang hendak menerobos ke lereng wajah. Tetapi sekali lagi, sekuat tenaga aku berdiri, ataupun mendongakkan kepala agar ia tak keluar lalu melabelkan aku sebagai seorang yang lemah, perasa atau mungkin seorang penakut.
Tetapi, di satu dimensi, seolah ada hutang yang tak terbayar, ketika semua kejadian ini tak aku tuliskan. Dan tulisan ini, adalah yang ke sekian dari beberapa rangkai kata yang pada akhirnya aku hapus kembali.
Aku terhenyak. Diantara sedikitnya jamaah. Semakin hari semakin terasa gundah. Ucapan selamat datang bulan suci yang saya temukan adalah awal kegundahan semua ini, awal kegelisahan semua ini.
Masa itu akan tiba, akan tiba, akan tiba. Sebentar lagi tiba. Itulah yang terus berkecamuk, seolah kedatangannya sebagai sesuatu yang sangat menakutkan. Mungkin berlebihan, tetapi inilah keadaannya. Aku merasa sangat ketakutan akan kedatangan bulan yang ditunggu oleh banyak orang beriman. Sangat teringat jelas bahwa begitu indahnya amalan dan aktivitas di bulan tersebut, namun tak akan ada indahnya jika tak pernah siap untuk menyambutnya. Mushaf yang tak terbaca, Musnad yang tak terkaji hingga Sirah yang tak lagi menemani.
Seperti hari ini, dan beberapa hari dalam beberapa pekan ini, cuaca terik dan sangat terik, di beberapa waktu lainnya, bisa saja terik ini berubah menjadi angin kencang dan hujan datang dengan derasnya. Pekan, dimana kegundahan aku tampilkan dalam sebuah kemasan yang sering membuat kesal orang lain. Saya sadari itu, sama seperti di awal tulisan ini aku tuliskan. Namun sekali lagi, apa yang bisa aku pertanggungjawabkan.
Hari ini, kemarin dan beberapa hari belakangan. Entah apa yang membuat aku kembali seperti seorang yang sangat lemah. Ketika sajadah tebal tak membuat saya 'betah'. Saya hanya ingin cepat beranjak pergi, berlalu dan menyembunyikan linangan ini. Saya bukan tak suka dengan tempat ini, tetapi entahlah, seolah ada dorongan dari dalam bagaikan air bah yang hendak menerobos ke lereng wajah. Tetapi sekali lagi, sekuat tenaga aku berdiri, ataupun mendongakkan kepala agar ia tak keluar lalu melabelkan aku sebagai seorang yang lemah, perasa atau mungkin seorang penakut.
Tetapi, di satu dimensi, seolah ada hutang yang tak terbayar, ketika semua kejadian ini tak aku tuliskan. Dan tulisan ini, adalah yang ke sekian dari beberapa rangkai kata yang pada akhirnya aku hapus kembali.
Aku terhenyak. Diantara sedikitnya jamaah. Semakin hari semakin terasa gundah. Ucapan selamat datang bulan suci yang saya temukan adalah awal kegundahan semua ini, awal kegelisahan semua ini.
Masa itu akan tiba, akan tiba, akan tiba. Sebentar lagi tiba. Itulah yang terus berkecamuk, seolah kedatangannya sebagai sesuatu yang sangat menakutkan. Mungkin berlebihan, tetapi inilah keadaannya. Aku merasa sangat ketakutan akan kedatangan bulan yang ditunggu oleh banyak orang beriman. Sangat teringat jelas bahwa begitu indahnya amalan dan aktivitas di bulan tersebut, namun tak akan ada indahnya jika tak pernah siap untuk menyambutnya. Mushaf yang tak terbaca, Musnad yang tak terkaji hingga Sirah yang tak lagi menemani.
Dalam dimensi ini, dimensi yang memiliki durasi paling sedikit,
dimensi dimana saya menyempatkan mereview kehidupan-kehidupan sederhana dari
berbagai pribadi yang sangat mengagumkan. Pribadi yang tak pernah tertinggal takbiratul
ihram, pribadi yang selalu tersenyum saat perjumpaan, pribadi yang menundukkan
pandangnya ketika berjumpa wanita yang menggiurkan, pribadi yang lebih dulu mengulurkan
tangannya setelah mengucapkan salam, hingga pribadi yang terakhir kali melepaskan jabat
tangannya. Begitu banyak, begitu hebat, begitu cemburunya saya akan mereka. Tak
terlihat jubah megah di tubuhnya, tak terlihat tanda hitam di jidatnya, tak terlihat
tiga puluh tiga bulir tasbih di jarinya, tak terlihat sorban melintang di atas kepala
ataupun di bahunya. Mereka terlihat sangat biasa, terlihat sederhana dalam
tampilan menawan, bersih, wangi dan sangat rupawan. Ciri khas yang mereka
punya, adalah ayat-ayat suci yang terkadang mereka bawa dalam jilid lembaran, atau terkadang
mereka kemas dalam gadget dan juga hafalan. Mereka sangat sederhana, sangat
sederhana tetapi sangat luar biasa.
Kembali nafas dalam itu aku tarik. Kuhembuskan dan melanjutkan tulisan lebay ini. Teringat seorang teman sekamar yang sering mendapat pesan singkat dari seorang yang tak dikenal. Pesan singkat itu berisi 'sampai dimanakah bacaan qurannya?', atau 'dapat berapa ayatkah hari ini?', itulah beberapa pesan singkat dari seorang yang sahabat saya sendiri enggan melacak siapa pengirimnya. Tetapi yang bisa kami simpulkan, bahwa pesan singkat tersebut adalah penyemangat kami untuk terus berqiraah. (Sahabat saya ini memang mengisi waktu senggangnya dengan selalu membaca al quran). Saya hanya bisa mengingat, bahwa begitu indahnya komunikasi mereka, buka perbincangan yang saling mengenalkan diri dan menyakan diri, tetapi komunikasi mereka hanya bertanya sampai dimana bacaaan al quran mereka.
Di satu kejadian, di sebuah surau yang kecil, ketika shalat ashar
berjamaah tunai kami kerjakan, tinggal saya dan seorang polisi muda lengkap
dengan seragamnya. Ia mengulurkan tangannya lebih dahulu sembari memperkenalkan
diri. Seorang yang berasal dari tanah indah di Nusa Tenggara Barat ia berada.
Dan selama beberapa saat menjadi pertemanan via pesan singkat. Sesekali ia menanyakan
kabar, atau bahkan meminta saya untuk membangunkan ia saat shalat subuh akan
tiba. Tugasnya yang terkadang menyita tenaga, membuat ia sering ketiduran.
Pertemuan saya dengannya memang hanya sebentar, tetapi bertemu dengannya seolah
sebuah tamparan buat saya, bagaimana seorang polisi yang memiliki citra tak
baik di republik ini, masih bisa saya temui dalam sebuah shalat ashar
berjamaah, lalu dengan ramah menawarkan pertemanan dengan saya.
Di banyak kesempatan, tentu saya memiliki banyak kenangan
menakjubkan, namun saat ini cukuplah ini yang bisa saya bagikan, sebagai pelunas
'hutang', dari kegundahan yang melanda beberapa pekan. Tentu ketika saya berada
di sebuah dimensi lain, dimensi dengan durasi dominan dimana saya harus berhadapan
dengan lingkungan yang kembali membuat parit di dahi dan juga menyatukan alis saya.
Atau sebuah dimensi dimana saya kembali ketakutan untuk menuju dua pekan yang
akan -insyaAllah- saya 'dipertemukan', tetapi dengan kadar yang harus berbeda. Saya,
tak ingin masa itu, akan kembali menjadi masa-masa yang 'biasa', atau menjadi
lebih buruk dengan tanpa persiapan, tanpa impian atau juga tanpa target
pencapaian. Persiapannya adalah dengan terus muhasabah diri dan hati, agar
bulan suci tersebut bisa saya 'temukan' dalam keadaan yang suci hingga semua
amalan nantinya akan menjadi ibadah yang diijabah oleh-Nya. Impian, tentu saja
bisa mengisi segala aktivitas dengan ibadah yang bernilai, dan bisa
mensejajarkan saya dengan mereka-mereka yang begitu jauhnya berada di depan
saya. Dan terakhir adalah target pencapaian, adalah sederhana. Menjadi pribadi
yang sederhana dalam berucap, bertingkah laku dan berbuat, hingga Yang Maha Berkehendak menjadikan
pribadi sederhana itu ke dalam penghuni syurga-Nya di akhirat kelak, amiin.
Selamat Datang Bulan Suci Ramadhan
Bahkan Hingga Saatnya Kita Dipertemukan
Aku Tak Akan Pernah Siap Bertemu
Aku Tak Akan Mungkin Sejajar Dengan Para Penghafal Itu
Aku Tak Akan Bisa Bersama Dengan Para Penikmat Dhuha Itu
Hanya Seuntai Doa
Pertemukan Aku Denganmu, Ramadhan
Meski Dengan Sedikit Kesiapan
Bahkan Hingga Saatnya Kita Dipertemukan
Aku Tak Akan Pernah Siap Bertemu
Aku Tak Akan Mungkin Sejajar Dengan Para Penghafal Itu
Aku Tak Akan Bisa Bersama Dengan Para Penikmat Dhuha Itu
Hanya Seuntai Doa
Pertemukan Aku Denganmu, Ramadhan
Meski Dengan Sedikit Kesiapan
Artikel Terkait
Man, aku termasuk orang yang takut tidak siap menyambut bulan suci ini, teringat pagi tadi saya terhenyak begitu tau dari teman kantor bahwa bulan puasa tepat jatuh pada selasa pekan depan, hah? Secepat itu, selama ini saya larut dalam keduniawian sampai hampir lupa mempersiapkan diri menyambutnya, walaupun diantara rutinitas keduniawian itu ada sikap menolong tapi saya masih belum yakin dengan keikhlasan dan ketulusanku....
BalasHapusTeringat dsebuah artikel bhw Ramadhan layaknya dsambut dengan kesiapan hati dan hiasan2 layanya menyambut tamu terhormat....
Rasanya, kita tak akan pernah benar-benar siap menyambutnya. Rasanya, kualitas puasa kita mungkinn akan begitu-begitu saja. Sepertinya, kita harus berusaha keras mengejar ketertinggalan kita...Dari seberang laut sulawesi, doaku untukmu sobat (dan keluarga), semoga kita semua bisa siap menyambutnya. Amiin.
Hapus