Senyum itu
Begitu indah
Mengalahkan indahnya
Bunga-bunga di Puncak Sindara
Bunga-bunga di Puncak Sindara
Dari bumi
kalimantan pendakian ini aku mulai. Menuju Kota Purwakarta terlebih dahulu
untuk bertemu seorang teman yang selanjutnya menggunakan kereta api jurusan
Kota Purwakerto – Jawa Tengah. Pendakian kali ini, aku bergabung dengan
Komunitas Narkopian, satu komunitas dengan ciri khas ritual ngopi untuk merekatkan pertemanan.
Meet up di stasiun kereta,
perjalanan selanjutnya menuju Kota Wonosobo dan beristirahat sejenak di sebuah
desa dataran tinggi dengan udara yang sejuk. Pagi harinya, sebelum memulai
pendakian, kami berbelanja kebutuhan terlebih dahulu di pasar tradisional yang
tak jauh dari rumah Mas Sinyo, tempat kami menginap.
Matahari
setinggi galah, kami menumpang kendaraan jenis pick up untuk memulai pendakian. Jumlah pendaki kali ini adalah 12
orang. Tak butuh waktu lama untuk mengakrabkan diri dengan komunitas ini,
terutama sang komandan Kang Ay, sangat friendly
dan pandai mencairkan suasana.
Gunung Sindoro |
Gunung Sindara,
atau biasa dikenal dengan nama Sindoro adalah gunung berapi tipe strato yang
berada di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 3.136 mdpl
ini memiliki puncak gunung yang luas, sehingga mendirikan tenda di puncak ini
masih menjadi pilihan, selama tidak terlalu dekat dengan bibir kawah yang
menyebarkan aroma belerang pekat.
Ada dua jalur
pendakian untuk mencapai puncak sindara. Jalur Kledung adalah jalur yang paling
sering dipilih pendaki, sementara Jalur Tambi, biasanya digunakan sebagai jalur
turun karena medannya yang lebih curam. Kami, memilih Jalur Tambi sebagai jalur
pendakian kala itu.
Hamparan luas
kebun teh tambi laksana greencarpet
menyambut para selebritas menuju pentas. Dari awal pendakian, garis akhir
perjalanan terlihat jelas menantang. Gunung ini tak memiliki vegetasi yang
rindang. Jalur menanjak sangat curam dengan badan jalan selebar bahu yang
bidang. Tanaman sepinggang dengan bebatuan yang tak tertanam, mengharuskan kami
terus memperhatikan gerak langkah agar tak terjatuh oleh medan yang rapuh.
Berjalan beriringan, tanpa ada yang tertinggal dan terpisah dari rombongan.
Dari awal, Fara
terlihat kurang prima di pendakian kali ini. Kurangnya persiapan, aktivitas
perkantoran yang tak renggang, membuat badan seakan tak siap untuk memanggul
beban. Fara berjalan pelan dengan selalu didampingi beberapa teman. Pendaki
yang berjalan di depan, mengatur ritme dengan duduk bersantai menunggu jarak
kembali mendekat.
Fara terlihat
lelah, sementara senja mulai memerah. Sang leader
menyarankan pendaki yang membawa tenda agar mempercepat langkah, sedangkan Fara
masih didampingi oleh pendaki pria lainnya.
Jingga berganti
pekat, tubuh terasa penat, tapi puncak tak juga mendekat. Kami terus merangkak,
dengan sedikit asa tersisa. Headlamp
telah menyala, suara penyemangat tak hentinya berucap.
Aku tiba
terlebih dahulu dengan beberapa pendaki lainnya. Mencari lokasi mendirikan
tenda dan menyiapkan kebutuhan lainnya. Lima pintu tenda telah terbuka,
sebagiannya mulai memasak. Aku ke dalam tenda, mengusap debu mengganti wudhu.
Membentangkan tapak membentuk sedekap.
Ketika tujuh
kulit bersamaan menyentuh bumi, terdengar gaduh dari luar tenda. Mereka
mengabarkan bahwa kondisi Fara memburuk. Pendaki pria segera beranjak,
sementara aku meneruskan rakaat.
Fara tak
sadarkan diri ketika sampai di dalam tenda. Kecemasan menyelimuti kesemua
pendaki. Kang Ay dan Mas Sinyo berupaya agar tak terlihat gelisah. Mereka
berusaha membuat suasana terkendali tanpa histeria yang hanya sia-sia. Aku bisa
menatap wajah mereka meramu kalimat yang terucap adalah sebuah harap. Sementara
dari dalam tenda, para pendaki wanita terus memanggil nama Fara agar tak
tertidur dan tetap terjaga.
Ini kali pertama
aku mendapati kondisi mencekam. Suara pendaki wanita tak hentinya memberikan
bantuan. Suara mereka penuh doa dan kalimat laksana pejuang.
“Fara, bangun
mba…”
“Fara, ayo
bangun. Katanya mau buat masakan mba…”
“Mba Fara,
jangan tidur…mba..”
Mba Indri,
Erika, Yau dan Dian tak henti-hentinya menyemangati. Kang Ay dan Mas Sinyo
terus memantau perkembangan. Sementara selainnya bersiap di luar tenda memenuhi
apa yang dibutuhkan.
Aku hanya membatu
Terpuruk karena tak bisa membantu
Entah apa yang bisa kuperbuat
Selain untai ucap penuh harap
Aku bukan Al Kahfi
Yang menukar kesalihan dengan
mukjizat Tuhan
Aku hanya seorang pendaki
Yang terusir dari sebuah definisi
Hypothermia.
Adalah salah satu gejala penyakit yang kerap menyerang pendaki saat berada di
ketinggian. Hypo bisa melanda pendaki saat suhu udara menurun sementara pendaki
kekurangan pasokan oksigen ke tubuh, dehidrasi atau kekurangan cairan. Kondisi
pakaian yang basah oleh keringat juga bisa mempercepat terjadinya gejala ini.
Hypothermia, aku memang tidak mau memvonis inilah yang melanda Fara. Semua
kemungkinan buruk aku tepis dengan doa. Aku juga percaya, semua sahabat
selainku melafazkan asma meminta pada yang kuasa.
Selamat malam Sindara
Ijinkan kami kembali tanpa sesal
di hati
Selamat tidur wahai Sindara
Biarkan kami mengerti hikmah
pendakian kali ini
***
Subuh seakan
menabuh. Satu persatu pendaki bersiap menyambut mentari. Kami bergegas untuk
mengabadikan pagi di tanah tertinggi. Tak semuanya pergi, sebagian tetap di
tenda menjaga Fara yang mulai pulih keadaannya.
Puncak Gunung
Sindara memiliki luas setara tujuh lapangan sepak bola. Di puncak ini, terdapat
kawah aktif di sisi barat laut menghadap ke selatan. Dari puncak, terlihat
dengan gagah Gunung Sumbing yang dipercayai masyarakat setempat sebagai gunung
kembaran sindara. Di tanah tertinggi, terlihat banyak pendaki lainnya meski
saat mendaki kemarin, kami tak melihat mereka. Ya, karena kebanyakan para
pendaki, memilih jalur yang berbeda dari jalur yang kami tempuh untuk ke puncak
gunung ini.
Sesi photo
dilakoni, semua pose diikuti. Komunitas ini begitu solid terlihat dari
keceriaan mereka yang tampak sangat akrab. Kawah sindara memiliki margin yang
lebar, sehingga berjalan memutarinya tak kuatir terjatuh ke dalamnya. Menikmati
puncak, mensyukuri nikmat. Seperti inilah agenda yang biasa diperbuat para
pendaki.
Lama kami
menghabiskan waktu bersama di puncak ini. Dirasakan telah cukup kamipun kembali
ke tenda untuk menyiapkan makan pagi dan aktivitas lainnya. Perjalanan kembali
ke tenda masih melewati hamparan bunga-bunga yang indah. Dan sebagian tak
menyia-nyiakan moment indah untuk berphoto lagi sejenak.
Sesampainya di
tenda, ada pemandangan yang melegakan. Fara yang berjuang semalam, kini sudah
tersenyum riang sambil memasak menyiapkan sarapan. Fara telah kembali dengan
candanya yang menghibur hati. Semua sayuran yang kami siapkan sebelumnya,
diolah menjadi menu pagi yang istimewa.
Selamat pagi Fara. Fara sudah tersenyum dan bisa beraktivitas seperti
semula. Setelah menikmati sarapan pagi, kami berkemas untuk kembali menuju awal
pendakian sebelumnya.
Senyum itu
Begitu indah
Mengalahkan indahnya
Bunga-bunga di Puncak Sindara
Bunga-bunga di Puncak Sindara
Terima kasih Ya Illah
Pinta itu Engkau Ijabah
***
- masyarakat yang berada di lereng gunung ini mayoritas adalah pekerja ladang, ketika waktu ashar mereka masih berada di ladang perkebunan sehingga untuk berjamaah mereka mengakhirkannya dengan mengumandangkan lagi adzan ashar untuk yang kedua kalinya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar