Dua memang bukan
berarti satu, bukan berarti tak bisa tiga, delapan atau dua belas. Dua adalah
angka dimana aku dan dia seperti satu, seperti tiga atau dua belas.
Dua itu
bilangan yang berjanji di depan altar nan suci, bilangan yang mendiami atala
pertama kali, bilangan yang akan mempertahankan eksistensi.
Dua itu adalah kami
saat melangkah pelan dan tertatih, saat diam menikmati air langit membaca
tasbih, saat dua iftirosy bergantian menyimpuh bumi.
Kami hanya berdua saat
menjenguk lawu. Meski berdua tapi kami hanya memiliki satu rasa. Meski tak ada
orang ketiga tapi kami mampu memutuskan perbedaan menjadi sama. Meski hanya
berdua pendakian ini sama serunya saat aku mendaki bersama delapan atau dua
belas kepala.
***
Penerbangan ke
Bandar Udara Sultan Kasim Riau ditutup dalam rentang waktu yang tidak
ditentukan. Skedul perjalanan yang sudah disusun harus mengacu pada Plan-B. Aku
sudah berada di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, segera aku menghubungi beberapa
teman untuk mengajak mereka mendaki gunung. Di antara semua teman yang aku
hubungi, Danang bersiap untuk menemaniku mendaki gunung yang berada tak jauh
dari kediamannya di Sragen, Jawa Tengah. Gunung yang akan kami daki adalah
Gunung Lawu yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kami bertemu di
Bandara Adi Soemarmo Solo. Separuh siang, kami memilih untuk berkeliling Kota
Solo sebelum menuju gerbang pendakian. Beberapa lokasi yang kami singgahi
antara lain Balai Kota, Keraton Surakarta, Pasar Klewer hingga warung soto ayam
Gading Wetan.
Besoknya, dari
Losmen Djayakarta –seberang jalan Stasiun Balapan Solo- kami memulai perjalanan
menuju Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar sebagai jalur pendakian.
Ada tiga jalur pendakian untuk menuju puncak lawu, yaitu jalur Cemoro Sewu,
Cemoro Kandang dan Serambang. Kebanyaknya pendaki memilih jalur Cemoro Sewu
sebagai jalur mendaki dan memilih Cemoro Kandang sebagai jalur turun. Sementara
Danang memilihkan aku jalur Cemoro Kandang sebagai jalur pendakian kami.
Ketika sampai
di Pasar Wisata Tawangmangu, kami jeda beberapa saat. Di Pasar tradisional itu
terdapat mesin ATM dan juga Toko SAYA yang menyediakan perlengkapan pendakian.
Warung nasi juga mudah ditemukan di sepanjang jalan area pasar ini.
Sepeda motor
kami simpan di tempat penitipan motor yang berada di jalan antara gerbang
pendakian Cemoro Sewu dengan Cemoro Kandang. Kedua jalur ini berdekatan. Jarak
antara kedua gerbang pendakian adalah 200 meter. Cukup berjalan kaki saja,
sambil menikmati keindahan kebun-kebun strawberry yang luas, membuat aku merasa
betah berlama-lama di jalan ini. Di jalan inipun terdapat penginapan dan warung makan
dengan menu Sate Kelinci.
Penginapan di Jalan Raya Cemoro Sewu |
Kami memulai
pendakian dengan melapor terlebih dahulu di Basecamp Cemoro Kandang. Di
basecamp ini, terdapat beberapa plang pemberitahuan yang penting untuk dibaca
sebelum mendaki. Berdoa kemudian memeriksa kembali perlengkapan kami lakukan
agar tidak menemukan kendala serius saat pendakian.
Basecamp Cemoro Kandang Gunung Lawu |
Basecamp Cemoro
Kandang berada di ketinggian 1.830 mdpl. Untuk mencapai puncak kita akan
melalui 5 shelter/pos, dimana di setiap shelter akan ditemukan Plang Petunjuk
yang terbuat dari plat dan tiang besi. Di setiap shelter juga terdapat pondok yang membantu pendaki
untuk berteduh ketika hujan. Jarak lapang dari Basecamp hingga ke puncak sejauh
delapan kilometer dengan waktu tempuh berkisar 8-9 jam perjalanan. Ruas jalur
pendakian terbilang bersih dan jelas, dengan tekstur tanah yang keras dengan
sedikit bebatuan di beberapa bagian. Meski mengetahui sumber air ada di Pos
III, kami memilih menyiapkan stok air minum dengan membawa dari awal pendakian
untuk dua hari ke depan.
Pos I Cemoro Kandang |
Perjalanan kami
saat mendaki kala itu ditemani hujan dengan intensitas rendah dan berkabut
tipis. Sepanjang perjalanan seekor burung senantiasa terlihat mengikuti seakan
menjadi penunjuk arah. Hingga di Pos IV jenis tanaman sepanjang jalur Cemoro
Kandang didominasi Lamtoro dan Pinus, sementara ketika berada di Pos IV ke
atas, medan terlihat terbuka dengan beberapa tanaman perdu.
Pos IV Cemoro Kandang |
Gunung Lawu
memiliki tiga puncak yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang
terakhir itu adalah puncak tertinggi dan terdapat tugu triangulasi, sedangkan
Hargo Dalem merupakan lokasi favorit kebanyakan pendaki karena di lokasi ini
terdapat pondok penjual musiman. Pondok makanan yang melegenda di kalangan
pendaki itu bernama “Warung Mbok Yem”, dengan menu khasnya yaitu Nasi Pecel.
Nama Mbok Yem sangat melekat, dan sayang untuk tidak menjumpainya ketika berada
di puncak gunung tertinggi ke-5 di Pulau Jawa ini.
Warung Mbok Yem Gunung Lawu |
Besoknya, dari
Hargo Dalem kami memulai untuk menuju puncak Gunung Lawu Hargo Dumilah. Tak
banyak pendaki yang terlihat, cakrawala berwarna pekat mencoba melukiskan rasi
tanpa sekat. Suhu udara terasa bersahabat, kabut tebal tak lagi mendekat.
Berdua kami merangkak, perlahan menggapai puncak. Membiarkan kaki kapal di
jalan tak beraspal. Terkadang sesal mencoba usik kalimat juang. Untuk apa
mencari lelah di medan yang susah. Untuk apa mencari peluh jika hanya akan
berkeluh. Untuk apa menggapai puncak tetapi masih berteman dengan congkak.
Puncak Gunung Lawu |
Tigapuluh menit
berjalan kami sudah sampai di puncak. Seperti biasa ada keharuan yang tiba-tiba
melesat. Ada puji-pujian runtuhkan keangkuhan sesaat. Yang terlihat hanya
sebuah mahakarya tanpa cacat, hanya kekerdilan yang selalu khilaf, hanya azzam
yang semakin menguat.
Aku di puncak. Membiarkan
mata mencari rasa. Bercengkerama tanpa aksara. Tanpa suara aku menyapa, “Kaifa
haluk ya Jalak.”
Dua Lawu Satu Rasa |
Mentari mulai
meninggi, kami meninggalkan puncak dan kembali ke Hargo Dalem untuk selanjut
berkemas lalu bersiap pulang. Jalur turun yang kami pilih saat itu adalah Jalur
Cemoro Sewo. Di jalur ini badan jalan lebih rapi karena telah dibenamkan
bebatuan hampir di keseluruhan. Perlahan kami menikmati perjalanan hingga mengantarkan
kami di gerbang pendakian saat petang. Saat itu kami tidak langsung kembali ke
Kota Solo, tetapi bermalam dulu di sebuah penginapan. Sekali lagi, aku
menikmati pendakian untuk yang ke sekian kalinya. Selalu ada hikmah dan cerita
indah yang terkenang di dalamnya. Dan berharap akan selalu ada ibrah di setiap
kisahnya.
Iman Rabinata (kiri), Danang AY (kanan) |
***
Artikel Terkait
Cerita pendakian memang tak pernah membosankan. Lawu ini gak begitu jauh dari rumah, tapi belum sempat kudaki. Mungkin suatu saat nanti kalau lagi pulang kampung :)
BalasHapusTerima kasih mas Adie, wah senang sekali lapak ane dikunjungi penulis beneran.
HapusLawu emang ngangenin ya bang
BalasHapusLawu emang ngangenin ya bang
BalasHapus