Minggu, 29 Oktober 2017

Dua Cerita Dua Doa




Danau Gunung Tujuh - Jambi


Kebun teh Kayu Aro. Pagi. Aku berdiri diantara pagar tanaman sejajar, dan bunga merah merekah yang terlihat sangat padu. Rangkai pegunungan di sisi timur, letak danau indah yang akan aku tuju hari ini. Danau  di ketinggian 1.950 mdpl ini, bukan danau yang mudah dijumpai. Ia berdiam cantik di sana, jarang ada yang menyentuh sendirinya. Danau yang berdiam di dalam hutan, dan membutuhkan tenaga untuk mencapainya. Ia bukan Toba dengan segala keramaiannya, iapun bukan Batur yang dapat kau saksikan dari kursi mobil yang kau parkirkan. Ia menantangmu mendaki untuk buktikan kesungguhanmu menyentuh sejuk bening airnya.





Daypack Eiger Tosca telah terisi beberapa keperluan yang akan kubawa menuju danau hari itu. Raincoat, wafer cokelat, air mineral dan beberapa gadget telah terbungkus lengkap dengan raincovernya. Mobil carry L-300 membawa kami melaju menuju Desa Pelompek dengan landscape hijau dan gagahnya pegunungan. Segera kuraih smartphone bercasing orange, sekadar memberi kabar padanya. “saya sedang menuju danau, saya sehat selalu disini, semoga hari ini indah untukku, untukmu juga”.




***


Pesan itu aku buka. Syukurlah ia baik-baik saja disana. Ia seorang pendaki. Ia seorang pria sejati. Tentu saja doa ini terus mengalir untuknya. Ia baik-baik saja setelah tiga hari ia mendaki Gunung Kerinci di sana. Mendaki di saat curah hujan sedang tinggi-tingginya, tentu saja membuat khawatir aku disini. Pagi ini cuaca cerah. Aktivitas perkantoran seperti biasa aku jalani. Beberapa lembar pengajuan cost kegiatan lapangan aku validasi untuk selanjutnya menyetorkan semua berkas ini ke kantor pusat. Aktivitas rutin, berada di ruang kecil dengan tirai cokelat disisi lemari brangkas dan meja kerja. Dari sini hanya terlihat ribuan pohon akasia yang ditanam menjadi hutan buatan. Saat seperti ini memang terasa meneduhkan. Namun jika musim panen kayu telah tiba, semua berubah menjadi gersang, panas dan terang. Perusahaan perkebunan tanaman industri memang menanam satu jenis kayu di lahan luas yang dulunya adalah hutan alam.

Dari sini terlihat sungai kecil yang sering menjadi sahabat ketika ia hadir berwajah bening. Ada pohon-pohon madu berdiri di seberang sana. Suku Bulusu menyebutnya pohon madu, karena hanya di
pohon itulah lebah-lebah menyimpan sari bunga setiap harinya. Pohon madu itupun selalu terlihat besar
dan indah, karena memang dilindungi untuk tidak dimanfaatkan batang pohonnya.


Aku membalas pesan singkat darinya, “sayapun baik-baik saja disini, semoga petualangannya berkesan, selalu menunggu cerita indahmu disini. Indahmu, indahku juga”.




***


Mobil mengantarkan kami di depan gerbang bertuliskan lokasi wisata Danau Gunung Tujuh - Jambi. Mataku dimanjakan oleh kebun penduduk yang tampak subur. Kami berjalan beriringan. Jalan setapak, dengan rumput-rumput semata kaki, beberapa bagian tampak becek dan berlumpur. Udara segar pegunungan, seekor kerbau diantara kebun kacang, sungai mengalir deras menciptakan bunyi riak yang menghentak, dan rimbun pepohonan di depan mata siap menerima hadirku bersama teman-teman sesaat lagi


Aku masih baik-baik saja saat itu. Meski baru turun Gunung Kerinci semalam, tubuhku masih bugar dan sehat. Kembali saya menjejaki setapak demi setapak jalan mendaki diantara rimbun hutan belantara. Aku bersemangat, namun entah ada yang tak genap dalam otak. Ada sesuatu yang akupun tak tahu apakah itu. Aku membuang perasaan tak menentu itu. Tetap melaju bersama sahabat pendaki lainnya. Ada apa denganku. Ada apa dengannya, disana. Semoga ia baik-baik saja.




***


Telepon itu aku angkat. Suara ibu di seberang sana. Tak biasanya ibu memintaku segera pulang. Sementara jam kerja masih membentang. Ibu memaksa segera tinggalkan. Aku meminta ijin meninggalkan kerja ke bagian personalia. Hati sedikit gundah dengan seribu tanya.

Aku melaju dengan kecepatan sedang. Menerobos jalanan yang berbukit dengan aspal yang telah berlubang. Tak beberapa lama aku sampai. Ada yang berbeda di halaman rumah. Aku semakin bertanya tanpa jawab. Tujuh unit kendaraan minibus berbaris di halaman rumah. Siapakah?. Ada apakah. Ada apa denganku. Ada apa dengannya, disana. Semoga ia baik-baik saja.




***


Aku telah berada di atas puncak. Hanya hutan. Sempat bimbang kemana arah selanjutnya. Guide lokal masih berada di barisan belakang. Ada jalan kecil menuruni lereng. Tak terlalu terjal. Terdengar suara riuh air. Seperti air terjun. Kemanakah kita. Benarkah jalur yang kita lalui. Bersama dua sahabat lainnya, kami memutuskan melalui jalan menurun ini. semakin jauh, semakin terdengar deras suara itu. Suara air terjun. Apakah danau indah itu berada di dekat air terjun. Aku semakin mempercepat langkah. Menuju sumber suara berharap bertemu indahnya.




***


Ada adikku di sana. Ada keluarga menyambutku di sana. Aku dijemput. Terlihat beberapa tamu telah hadir. Beberapa dari mereka aku kenal. Sebagian besar, tidak. Aku hanya digiring menuju ruang tidur. Aku dibiarkan di dalam kamar. Sendiri. Dan dikunci dari luar.




***

Aku tertegun. Serpihan surga di depan mata. Danau itu. Kini dihadapanku. Aku telah sampai. Sebuah cekungan dalam yang tenang. Kabut menutupi tepinya. Semakin tebal semakin membuatku terpesona. Hening. Tak ada sesiapa. Danau indah. Yang dikelilingi pepohonan yang tak kalah indah. Airnya yang jernih. Sebongkah batu besar berada di tepinya. Semakin menambah indah pesonanya. Aku tertegun. Terdiam. Terhenti. Ada apa denganku. Ada apa dengan hati ini. ada apa dengan dia disana.




***


Aku hanya bisa berkomunikasi via pesan singkat dengan adik perempuanku di ruang tamu. Aku mencerca ribuan tanya padanya. Siapakah mereka. Apa maunya. Mengapa aku diisolasi sendiri disini.

Pesan singkat itu tiba. Ada gemuruh dalam dada. Mereka adalah tamu dari seberang sana. Mereka datang menentukan hari pernikahanku kelak. Aku tertegun. Terdiam. Terhenti. Ada apa denganku. Ada apa dengan hati ini. ada apa dengan dia disana.




***


Hujan mengguyur deras. Aku berdiam di tepi danau. Perasaan semakin berkecamuk tanpa alasan. Aku masih membereskan raincoat yang aku pakai sebagai tikar sembahyang. Hujan membasahi sebagian wajahku. Air langit ini membantuku menyembunyikan tangis kecilku. Ada apa ini. ada apa dengan hatiku. Ada apa dengannya disana.




***


Pria itu rekan kerja ibu berbisnis. Pria yang pernah gagal dalam mahligai rumah tangga. Keputusan ibu jauh lebih kuat dari titah baginda Raja Sriwijaya. Meski bukan jaman Siti Nurbaya, tapi kehendak ibu tak mengenal tanda koma. Aku masih dikunci di kamar ini. Adat negeri memang memberlakukan demikian. Ketika mempelai pria datang menentukan mahar dan hari pernikaahan, mempelai wanita tak boleh unjuk diri apalagi memberikan argumentasi. Semua menjadi urusan keluarga. Sementara aku bagaikan serdadu atau mungkin domba. Hanya ada sebuah jendela. Inginku berlari keluar sana. Tapi cinta pada bunda bertarung dengan itu semua. Hanya berdiam. Teringat akan dia yang sedang berada di tepi danau di hutan belantara. Adakah ia rasakan yang aku rasakan juga. Ada apa ini. ada apa dengan hatiku. Ada apa dengannya disana.




***


Kami kembali menuju pulang. Kembali melewati jalan mendaki lalu turunan. Rapat pepohonan dan rintik hujan. Membuatku terus mencari sebab hati yang sedang dilanda galau. Dua jam perjalanan, aku berada di kendaraan. Segera kuraih smartphone dari dalam daypack. Menuliskan pesan untuknya di sana. “saya dalam perjalanan pulang. Saya sehat selalu. Danaunya sungguh indah. Akan lebih indah bila bersamamu.
Ada yang tak genap di kepalaku. Ada apa denganmu disana. Apa kau baik-baik saja. Aku akan merasa gundah jika kaupun gundah.”




***


Tujuh unit minibus berlalu. Tamu telah pergi. Pintu kamar kini tak terkunci. Aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Aku menjadi titik temu semua pandang. Aku seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan. Ibu angkat bicara. Hari pernikahan ditentukan. Tak ada alasan untuk menggagalkannya. Aku tertunduk lesu. Aku hanya diam. Aku tahu apa yang harus aku perbuat. Aku hanya mengangguk. Lalu kembali ke kamar menenangkan diri. Ponsel silverku berbunyi. Ada pesan singkat dari pendakiku disana. Kubaca dengan seksama. Aku balas dengan penuh ketegaran jiwa. “syukurlah jika kau baik-baik saja disana. Sayapun sehat selalu disini. Danaunya sungguh indah ya?, tanpa saya, danau itupun akan tetap indah. Ada apa denganmu disana. Aku baik-baik saja disini. Indahmu, indahku juga disini.”




***

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar