Selasa, 31 Oktober 2017

Ikrimah, Awan dan Kulit Kacang



Ikrimah, Awan dan Kulit Kacang


Tak harus menjadi kacang untuk sekadar lupa pada kulitnya. Tak harus juga menjadi musang untuk bisa berbulu domba. Kau memang hitam, tapi bukan kambing. Jadi jangan menyalahkan sesiapa atas apa yang menimpamu, apalagi masalalu.
 


Akui saja hidup ini pahit kawan. Jadi tak perlu juga kau manis-maniskan wajahmu itu. Ikhlas bukanlah seni menipu diri. Yang harusnya kau marah, tapi kau redam. Yang harusnya kau jengah, tapi kau sembunyikan. Kapan kau angkat kembali ranselmu? Kapan kembali kau reguk kebebasanmu. Mengapa harus membelenggu seakan kau tak punya tenaga. Jangan memelihara sesal dan kecewa terlalu dalam. Dia hanya secuil drama yang dihentikan Tuhan tanpa harus kau lemparkan kalimat tanya.


Harusnya engkau ingkari, bahwa seluas dan seindah apapun lautan, nahkoda selalu mencari daratan. Engkau menantinya di ujung pelabuhan, ia mendatangi selainmu di lain pulau. Engkau berdoa sampai menggila, selainmu pun meminta sepenuh jiwa. Engkau mengiba, ia bermanja. Tanpa ia sengaja engkau terluka. Tidak kah kau belajar ketegaran dari seorang simpanan. Ia bersabar. Ia sendiri. Ia menanti, tanpa harus mengungkapkan jati diri. Satu hal yang harus engkau sadari, bukan hanya nahkoda yang sering lupa daratan, tapi juga pekerja swasta, buruh, guru, pengusaha ataupun tuna wisma. Siapa saja, termasuk aku, engkau, biawak ataupun buaya muara.


Tak engkau makan, bunda telah tiada. Engkau makan, ayahpun juga tiada. Bertanyalah pada buah simalakama, siapa lagi orang yang kau cinta akan direnggutnya. Belajarlah dari seorang tua yang berjalan bersama anak lelakinya dan seekor keledai. Sepanjang perjalanan, nasehat sudah berubah rasa. Meski kau ubah, nyinyir tak akan berhenti. Jika engkau berhenti, mereka akan tetap bernyanyi. Meski begitu percayalah pada satu hal, bahwa gonggongan anjing hanya akan membuat kafilah terus berlalu, tapi tidak sampai mengganggu tingginya awan.


Apakah engkau merasa setinggi awan, ataukah hanya kulit kacang. Sadarilah, sebiru-birunya darah yang mengalir di putih kulitmu, tetap merahnya tanah yang jadi peristirahatan terakhirmu.


Jika engkau menganggap kebaikanmu laksana rintik hujan dari kebaikan sang awan, maka mengharap tetes air itu kembali adalah kesalahan. Jika engkau merasa kekecewaanmu laksana serpihan kulit kacang yang selalu dibuang, maka mengharap maaf darinya juga kekeliruan.


Berbuatlah tanpa berharap. Muhasabahlah tanpa harus menyatakan sesal. Belajarlah dari Ikrimah, bagaimana ia menukar rasa hausnya dengan napas terakhirnya.



Iman Rabinata, 2017



Artikel Terkait
Comments
1 Comments

1 komentar: