Selasa, 07 Agustus 2018

Empal Gentong


Empal Gentong
-Pendakian Gunung Ceremai III-

Berangkat dari rest area. Perjalanan menuju Kabupaten Cirebon dilanjutkan. Kali ini Bang Togi yang menyetir. Sepanjang jalan kami bercerita, bernostalgia. Tiga tahun lalu, saat perjalanan dari Bandung menuju Desa Bambangan, desa di kaki Gunung Slamet – Jawa Tengah, hanya mas Rudy yang menyetir kendaraan, pergi pulang. Namun kali ini, Bang Togi sudah bisa nyetir sendiri, bahkan beberapa waktu lalu sudah menjajal tanah Sumatera hingga ke Sumatera Utara.


Jalan tol, adalah jalan berbayar yang bebas hambatan. Jalannya mulus, ruasnya lebih banyak dan tak ada orang yang menyebrang, apalagi hewan ternak. Di Kalimantan belum ada jalan seperti itu. Saat ini jalan tol semakin giat pembangunannya di tanah Jawa, rencananya memang rute Jakarta ke Surabaya sudah bisa melalui tol tanpa henti. Bagus, dan keren. Kamipun rasakan itu manfaatnya. Hingga ke Kabupaten Cirebon, kami hanya lewat tol. Jalanan lurus, pemandangan bagus di kiri dan kanan jalan. Jalan tol inilah yang jadi bahan perdebatan netizen pendukung pemerintah dan pengkritik pemerintah saat mudik lebaran kemarin. Dinamika, demokrasi, aspirasi semoga bukan karena tak suka, iri apalagi benci.

Berbicara tentang jalan tol, saya ingat pengalaman saat menjajal tol di Pulau Bali. Saat akan mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali, dari arah Surabaya kita akan melihat jembatan jalan tol yang membentang di laut dekat dengan Bandara. Terlihat indah dan gagah. Teman perjalananku saat landing bertanya penasaran, Aku menjelaskan lalu berjanji mengajaknya melalui jembatan jalan tol itu. Maka jadilah kami bertiga, dengan dua motor rental mencoba masuk jalan tol itu. Buat kami yang memang di daerah belum ada jalan tol, tentu saja sedikit parno saat di pintu tol. Bagaimana tidak, kami tidak punya voucher untuk masuk. Akhirnya aku pinjam dari pengendara lain, lalu mengganti dengan uang tunai.

Begitupun saat di persimpangan di tol, lucu saja kami salah jalan. Kembali lagi, mutar lagi. Sempat berhenti di persimpangan, dan diklakson pengendara lain karena kami menghambat perjalanan mereka. Norak, tapi memang begitu lah adanya. Aku menyebutnya sebagai pengalaman.

Keren saja, jika tol juga bisa dilalui sepeda motor. Begitu juga dengan jembatan Suramadu yang juga disediakan lajur untuk roda dua, meski bukan tol.

Balik lagi di perjalanan kami menuju Cirebon. Cirebon itu ada dua, yang satu kotamadya, yang satu kabupaten. Kalau Kabupaten Cirebon itu kota kabupatennya adalah Sumber. Tujuan kami adalah Sumber.

Tujuan akhir sebetulnya adalah Argapura, kecamatan yang paling dekat dengan pintu gerbang pendakian kami melalui jalur Apuy. Akan tetapi, karena bawa kendaraan sendiri, jadi masih bisa mampir-mampir dulu. Di Sumber menemui teman dari Bang Togi.

Saat keluar tol, komunikasi intens dilakukan untuk ketemuan dengan Budi, temannya Bang Togi. Janjiannya adalah di rumah makan yang sering dikunjungi dan recommended. Bertemulah kami di rumah makan Haji Tasiyah di jalan Ir. H. Juanda/Jalan Raya Battembat No. 54 Plered – Cirebon. Menu yang disarankan adalah Empal Gentong. Menurut cerita tetua, empal gentong ini asalnya dari Desa Battembat.


Sebetulnya mau mampir ke rumah makan H. Apud, yang katanya lebih masyhur, tetapi sudah tutup saat itu. Rumah makan Empal Gentong Hj. Tasiyah juga bagus, lantai berkeramik, bersih. Ada musholanya juga dan kamar mandi bersih. Memang pas kalau dari perjalanan istirahat sejenak di tempat makan. Tak beberapa lama pesanan kami datang. Empal gentong. Aku kaget. Aku pikir empal gentong itu camilan, aku pikir seperti empal, atau perkedel atau gorengan. Ternyata empal itu makan besar. Seperti soto. Kaget, kaget gembira. Sangat pas, makan yang panas-panas berkuah saat itu.

Jadi empal itu ternyata artinya daging sapi yang direbus, kemudian dipukul-pukul lalu digoreng, kemudian dimasukkan ke dalam gentong. Tragis sekali nasibnya. Gentong itu tempat masak si empal yang terbuat dari tanah liat. Entahlah saya tidak terlalu pandai mereview kulineran. Yang pasti kudapan kali ini memang enak. Mirip-mirip Coto Makassar mungkin, ada daging sapi plus jeroan dan berkuah dengan bumbu rempah yang kuat. Selain empal gentong, ada juga empal asem, ceritanya si empal satunya akan kami lahap setelah selesai pendakian, tetapi tidak sempat. Dapatnya si Ayam Geprek Bensu saja waktu itu.

Kenyang, kami melanjutkan ke rumah Budi. Melewati sedikit tanjakan, yang di situ banyak monyet di jalan. Katanya di situ tempat orang-orang ziarah atau semacam tempat ritual.

Kami sampai di rumah Budi di Desa Matangaji, Kecamatan Sumber – Cirebon. Sekitar jam 11 malam. Saat itu listrik padam, sudah sunyi saja. Ada beberapa warga yang masih nongkrong. Kami akhirnya menginap di rumah Budi. Aku mandi terlebih dahulu kemudian tidur.

Sekitar jam 2.30 pagi. Aku dibangunkan. Kata Bang Togi, kita berangkat sekarang karena rombongan dari Bandung sudah sampai di desa terdekat gerbang pendakian. Aku berberes sejenak, lalu pergi lagi membelah keheningan Kabupaten Cirebon.

Jalanan yang lengang. Hanya kendaraan kami yang sepertinya yang melintas. Kendaraan melaju kencang bebas hambatan. Terasa jalanan sudah menanjak tajam. Sisi jalanan gelap tak terlihat, sepertinya hampar perkebunan. Sepi, hingga di satu jalan di mana kiri kanan adalah hutan bambu yang rindang. Badan jalan tak lagi lebar, harus berhati-hati. Dengan dibantu aplikasi map, kami mencari lokasi tujuan. Kami mulai memasuki daerah Raja Galuh. Terlihat beberapa pondok yang sudah ditinggal penjualnya. Ada tulisan Durian Raja Galuh, itu artinya di daerah ini banyak durian. Hanya saja sayang, kami melintasi daerah ini sudah larut dini hari.

Saat subuh, kami sudah sampai di rumah Kang Didik, yang akan mengantar kami nantinya ke gerbang pendakian. Jalur yang kami lalui saat itu adalah jalur Apuy, di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka. Kang Didik, orangnya sangat ramah dan murah senyum. Santun menurut saya. Di rumah Kang Didik lah kami nantinya membereskan barang-barang pendakian. Di rumah Kang Didik sudah ada teman-teman dari Bandung, yaitu Mas Rudy, Vicky, Dewi dan Asaka. Berenam kami akan mendaki Gunung Ciremai dengan ketinggian 3.078 mdpl.

Selanjutnya di cerita Pendakian Gunung Ceremai, insyaAllah.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar