Rabu, 08 Agustus 2018

Menuju Puncak Gunung Ceremai


Menuju Puncak Gunung Ceremai
-Pendakian Gunung Ceremai IV_




Pagi di Desa Argalingga. Di lereng Gunung Ceremai. Kami di rumah Kang Didik, driver yang akan mengantar kami hingga ke pintu pendakian jalur Apuy. Saat subuh tadi aku dan Bang Togi sudah meramaikan rumah ini. Hanya Vicky yang saat itu menyambut. Selainnya masih meneruskan istirahat mereka. Hingga pagi menjelang, satu persatu kami saling mengenalkan diri.

Mba Dewi dan Asaka adalah nama baru, tapi bukan pemain baru. Mereka sudah berpengalaman hingga ke luar Indonesia. Mas Rudy, untuk kesekian kalinya kami mendaki bersama. Di rumah Kang Didik, kami bereskan perlengkapan. Tidak ada yang harus kami diskusikan lebih detail karena mengerti apa yang harus dipersiapkan masing-masing.


Aku tentu saja berkeliling sejenak di sekitar rumah Kang Didik. Ada kebun kentang, ada suara air sungai yang deras di bagian belakang rumah, dan beberapa tanaman lainnya yang tak aku tau namanya, semacam labu putih, tumbuhan merayap dan diberi ajir. Terlihat juga bawang merah yang baru dipanen.


Kami mulai berangkat. Menumpang kendaraan jenis pick up, atau colt bak yang aku dengar dari mereka. Kalau di tempatku kami biasa sebut kendaraan jenis Hi-Line, Hi-Lux atau Ranger. Aku tak terlalu tahu detail beda dan jenisnya.


Seperti gunung-gunung lainnya di negeri ini, jalan sangat curam. Badan jalan hanya untuk satu kendaraan. Jadi jika berpaspasan di jalan, salah satu kendaraan harus menepi terlebih dulu.


Bonus yang harus diambil pagi itu tentu saja hamparan luas perkebunan. Terlihat kebun kentang, tanaman bawang daun, pisang, cabe hijau, kol dan lainnya. Sungguh indah. Sejuk, hijau dan asri. Asaka, yang adalah mahasiswa dari Jepang, menuturkan sangat senang dengan pesona Indonesia. Di negeranya juga ada perkebunan seperti halnya di Indonesia, tetapi pengelolaannya sudah tersentuh oleh alat-alat pertanian berteknologi.


Kami sampai di gerbang pendakian. Ramai, tapi tak membludak. Setiap pos masih punya ruang cukup untuk mendirikan tenda. Kondisi di gerbang pendakian juga cukup baik. Entahlah apa memang sekarang minat mendaki semakin besar, membuat setiap daerah lebih giat memperbaiki sarana pendukungnya. Di jalur Apuy ini juga demikian. Sudah ada tempat parkir yang beratap, atau lahan lain yang luas jika tempat parkir sudah penuh. Ada mushola, dan ada warung. Untuk memulai pendakian, melewati gapura dan harus melaporkan kedatangan serta mengikuti proses pemeriksaan kelengkapan pendakian.


Simaksi yang dibayarkan adalah lima puluh ribu rupiah. Angka itu memang terlihat lebih besar dibanding dengan tempat lain, tetapi jika pelayanannya baik, tentu tak masalah. Biaya segitu sudah termasuk untuk makan di salah satu warung, dan mendapatkan kantong sampah yang harus dibawa kembali saat turun pendakian. Oya lupa, saat kembali setiap pendaki mendapatkan satu lembar sertifikat.


Semua proses kami ikuti, kami makan pagi terlebih dahulu. Tentu saja dengan swaphoto dari berbagai macam gaya.


Sekitar jam 10 pagi kami mulai pendakian ini. Seperti biasa saya tak merekam setiap detail perjalanan ini. Tak ada yang berbeda. Medan dan juga jenis tanaman yang ditemukan seperti halnya gunung lainnya. Akupun mungkin sudah tak lagi begitu exciting seperti dulu. Sudah lebih nyantai, lebih menikmati perjalanan ini. Dari basecamp hingga ke setiap pos pendakian sudah dilengkapi dengan papan informasi yang cukup. Bahkan setengah dari perjalanan juga sudah dipasang papan petunjuk bahwa kita sudah menyelesaikan separuh perjalanan.


Secara keseluruhan jalur Apuy masih bersih. Jalur juga jelas. Rindang pepohonan membuat kita tak tersengat matahari. Hanya saja memang tidak ada sumber air, jadi harus membawa keperluan selama camping.


Kami sampai di Pos V di jam 4 sore. Pos V adalah pos terakhir yang disarankan untuk mendirikan tenda. Tadinya Aku pikir kami akan camping di Pos Goa Walet, yang secara jarak sudah sangat dekat dengan puncak. Akan tetapi memang lebih tepat jika mendirikan tenda di Pos V, karena medan dari Pos V ke Puncak yang akan melewati Pos Goa Walet lebih curam. Akan sangat kelelahan jika harus membawa keril dan perlengkapannya.


Jarak pendakian kali ini memang lebih pendek. Ini berbeda dengan dua jalur pendakian yang lebih dulu sering dilalui pendaki, yaitu jalur Palutungan dan Linggarjati. Jalur Apuy lebih cepat sampai. Meski begitu aku tetap saja kelelahan. Begitu sampai dan mendirikan tenda, teman-teman masih berada di luaran tenda untuk membuat camilan. Aku sudah ingin tidur saja sebetulnya, tetapi kalau harus tidur lebih awal akan lebih malas untuk membuat makan malam nantinya. Benar juga.


Yang berbeda di pendakian kali ini adalah bahaya babi hutan yang bisa menyerang mencari makanan. Dari literasi itu, akhirnya kami harus menggantung semua logistik dan bahan makanan di luar tenda dan digantung. Bahkan tempat-tempat makanan yang dirasa masih ada bau makanan yang menempel juga kami gantung di luar tenda. Agak ribet, tapi demi kebaikan dan antisipasi, memang harus demikian.


Makanan malam mulai digarap. Buatnya sore hari. Menunya, sop sayur. Luar biasa komplitnya. Lengkap. Ada brokoli, jamur, sosis, daun sop, sawi, wortel dan lainnya. Aku bawa bawang goreng sebetulnya dari rumah, tapi pas dibutuhkan si bawang goreng nyelip entah dimana. Ketemunya pas makanannya sudah habis.


Selesai makan malam. Beres-beres. Masuk tenda. Aku setenda lagi dengan Bang Togi, membantunya untuk latihan vocal untuk kejuaraan suara tenor di Italia.

Becanda.


Tentu saja waktu yang kami miliki sangat panjang. Sesekali aku terbangun memperbaiki posisi tidur. Juga terbangun karena ramainya suara pendaki yang baru sampai. Bang Togi di sampingku begitu nyenyaknya.


Pagi buta, kami mulai bersiap untuk summit. Menuju puncak Gunung Ceremai. Mba Dewi menyiapkan makanan lagi. Aku menyeduh teh panas saja saat itu. Perutku mulai tak bersahabat sepertinya. Ritual buang air yang rutin, aku tahan-tahan. Karena terus terang kadang aku jijik sendiri dengan kotoran sendiri. Karena kalau buang air di kloset itu aroma kotoran itu bisa langsung tertahan oleh air, tapi kalau buang airnya di tempat terbuka, atau di alam bebas, maka aroma kotoran tercium langsung oleh si empunya. Mau bagaimana lagi, namanya hajat memang harus disalurkan, jika tidak akan menyiksa badan. Filosofinya mungkin sama seperti aib. Aib itu kotoran. Masing-masing kita punya aib. Kita sendiri ogah dengan aib sendiri. Meski kadang kita begitu rinci membahas aib orang lain. Aib itu juga seperti kotoran buang air besar. Waktu mau masuk kloset yang jorok, terkadang jijik sambil menutup hidung. Akan tetapi jika kita sudah berada di dalamnya, berbaur dengan kotoran dan aromanya, kita bisa betah berlama-lama. Bahkan bisa membuat orang lain kesal menunggu gilirannya.


Lanjut ke cerita pendakian. Kali ini hanya bawa daypack. Lebih ringan. Aku membawa beberapa snack, kurma, dan roti sobek. Terakhir snack yang aku bawa disukai oleh Asaka. Mereka tanya apakah snack yang aku bawa memang dari Tarakan atau minimart Jakarta, aku lupa memang, jadi aku bilang belinya memang di minimart Jakarta atau sekitarnya. Karena memang sebelum pendakian aku sempat mampir di minimart. Setelah kembali di Tarakan, dan aku belanja beberapa keperluan barulah aku lihat si snack yang dimaksud. Snack rasa bawang dari Makassar itu aku belinya di minimart di Tarakan.


Kami mulai mendaki. Begitu juga pendaki dari regu lainnya. Kali ini hanya berlima. Mas Rudy hanya di tenda. Secara, Mas Rudy juga sudah pernah ke puncak gunung ini.


Jalur menuju puncak memang lebih terjal. Topografinya mengingatkanku saat ke Gunung Sindoro. Lelah, tapi kami sadar memang harus dijalani. Perlahan, hingga sampai di tujuan.


Puncak Gunung Ceremai luas. Di tengahnya terbentang kawah yang tak kalah luas. Terlihat kepulan asap membumbung kecil menandakan aktivitas kegunungannya. Di satu sisi sudah dibangun pagar besi. Puncak ini terbilang aman jika dibanding puncak gunung lainnya. Tekstur tanahnya keras. Berbatu. Dari sini kita bisa memandang jauh ke depan. Ke segala arah. Pendakian kami kali itu dilengkapi dengan cuaca yang sangat bersahabat. Cerah, tetapi tidak terik. Angin kencang memang sudah menjadi kekhasan di ketinggian. Akan tetapi masih ada tempat yang bisa dijadikan untuk berlindung dari tiupan angin.


Kami berucap syukur. Mengitari puncak di tepi kawah. Terlihat beberapa pendaki lainnya yang datang dari berbagai jalur pendakian. Ramai tapi tak sampai membludak. Kami masih bebas berphoto berbagai gaya dengan plakat dan beragam banner saat di puncak. Tanpa harus antre dengan pendaki lainnya.


Sekian dulu ya sobat pembaca kisah pendakian kali ini. Masih akan dilanjutkan proses turunnya. Terima kasih sudah membaca tulisan saya.


Wassallam


Imanrabinata
082159816748







Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar