Rabu, 11 Oktober 2017

Aaasin



Empat orang anak saling berhadapan. Laki-laki dan perempuan. Empat anak berjaga di garisnya masing-masing. Empat anak lainnya berusaha untuk menerobos tanpa harus tersentuh oleh penjaga. Ini kerja tim, bukan individu. Jadi kemenangan menerobos pertahanan tak dinilai berdasarkan keberhasilan perorangan. Jika tiga anak saja yang berhasil menerobos tapi satu anak tertahan makan permainan tidak dianggap sukses, tidak disebut sebagai pemenang.


Garis dibuat di tanah berpasir. Masih berair bekas hujan semalam. Anak-anak tak memakai sandal, orang tua yang melihat tak melarang mereka bercampur dengan ‘kotoran’. Sesekali mereka bersorak. Sesekali mereka saling memberi semangat. Sesekali mereka tertawa, terjatuh kemudian bangkit kembali. Mereka berlari, mereka tertangkap. Mereka terus mengatur strategi agar bisa menembus garis akhir. Mereka selalu memulainya dengan meneriakkan satu kata.

‘Aaasin!.’


Asin, adalah jenis permaianan tradisional. Bukan di meme media sosial, bukan juga di kenangan kaum hampir tua. Buat sebagian warganet, kenangan permainan tradisional masih sering diangkat kembali. Masa dimana kini permainan itu telah berganti menjadi serba digital. Namun tidak di lingkunganku hingga kini. Permainan tradisional masih sering dimainkan oleh anak-anak di tempatku. Tidak jarang, kami para tetua yang selalu bahagia ini ikut meramaikan bersama mereka.


Asin, di tempat lain disebut permainan gobak sodor. Selain permainan Asin, permainan lain yang sering dimainkan adalah banga, cabang, yeye, lempar sendal, batu betor, rendes  atau pajak lari. Banyak bukan?, yak masih lestari di sini.

Salah satu permainan yang kadang diikuti orang dewasa kalau anak-anak sedang bermain yaitu permainan banga. Banga adalah salah satu jenis permainan kelereng. Dulu, ada yang namanya main tukun, main serambang atau main lobang. Tapi anak-anak sekarang jenis permainannya adalah main banga. Kelereng diletakkan beberapa bulir di dalam sebuah lingkaran besar. Para pemain melemparkan kelereng senjatanya atau yang disebut kobat dari garis tertentu. Kelereng yang paling jauh dari garis lingkaran berhak untuk menembakkan kelerengnya dengan cara diketek menuju kumpulan kelereng yang berada di dalam lingkaran. Kelereng yang berhasil keluar dari lingkaran akan menjadi miliknya.

Lempar sendal juga unik. Modalnya hanya sendal para pemainnya. Akhirnya anak-anak berlari tanpa sendal. Sendal dibuat berdiri seperti tumpukkan kayu api unggun. Satu sendal digunakan sebagai kobat. Satu tim pemain penyerang dipersilakan melempar tumpukkan sendal hingga berantakan. Sementara tim penjaga bersiap untuk membalas penyerangan. Tim akan menjadi pemenang jika berhasil meruntuhkan tumpukkan sendal dan membangunnya kembali tanpa harus terkena lemparan sendal dari tim penjaga.

Untuk permaian lompat tali, sama seperti di daerah lainnya. Bedanya lagu yang mereka nyanyikan selalu saja baru dan membuat yang mendengarnya tersenyum atau malah tertawa. Senang saja, karena bait demi bait yang mereka nyanyikan terkadang sulit diartikan. Terserah mereka saja bagaimana mereka mengekspresikan kesenangannya. Selama itu baik, tentu saja ada manfaatnya.

Satu lagi yang seru buat anak-anak di tempat ini. Mereka bersuka ria kalau hujan datang dengan derasnya. Mereka biasa bermain sambil berlari-lari. Mencari genangan air lalu mencipratkan ke temannya.

Hujan
Tak hanya menyisakan genangan
Tapi juga kenangan


Buat anak-anak di tempat ini, bermain di alam bebas adalah kebiasaan. Mereka tetap bersekolah seperti biasa. Melanjutkan belajar membaca al quran di siang harinya. Mereka juga terlihat belajar bersama saat malam di mess pekerja atau saat mahasiswa PKL datang di tempat ini. Namun jangan disangka mereka anak pedesaan yang sering dibilang tertinggal oleh sebagian orang. Merekapun bukan tak kenal instagram atau sekedar videocall-an. Punya, hanya saja mereka dibiasakan untuk tidak mendewakan kotak berlistrik tersebut. Orang tua mereka aku perhatikan masih bisa memberikan jatah waktu kapan saatnya mengenal teknologi kapan juga harus bersosialiasi secara nyata.

Permainan tradisional sejatinya mengajarkan kita tentang banyak hal. Ketangkasan, keterampilan, kecepatan ataupun strategi. Permainan tradisional secara tim juga demikian. Mengesampingkan ego menjadi pemenang tunggal dengan mendahulukan kemenangan bersama adalah filosofi yang ditawarkan. Kejujuran juga diperlukan dalam sebuah permainan. Dan satu hal lagi yang bisa diambil manfaat dari permainan tradisional adalah bergerak berolah jiwa dan raga. Lebih sehat, lebih peka dengan sesama. Diharapkan nantinya mereka yang tumbuh dari masa kecil yang kenyang dengan permainan tradisional akan menjadi pribadi yang tangguh, sehat dan kuat. Mereka juga kelak diharapkan tetap bisa bersosialisasi dan mudah membantu sesama. Setidaknya mereka yang sudah tumbuh dari bagian permainan tradisional, tak akan pernah mengenal apa itu kecurangan, apa itu kebohongan, apa itu pengkhiatanan. Mereka tak akan terbiasa untuk memainkan janji yang pernah diikrarkan, tak akan bisa memainkan hati dan perasaan, tak akan mungkin meragukan sebuah keyakinan yang pernah kau azamkan, tak akan terpikirkan untuk meruntuhkan cita-cita, asa atau pun mimpi yang ingin kau bangun bersama. Tak akan pernah.

Sudah.



ooOoo



Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar