Pampers baby dry, HP
titut under 300K, pasta gigi khusus yang sering ngilu, aki motor, wortel 2 Kg,
Sosis kiloan, sirup obat batuk untuk anak yang 200ml rasa anggur, grip raket,
terakhir powerbank yang murah tapi bagus yang tahan lama yang minimalis
bentuknya. Done. Semuanya udah aku belikan. Tinggal pesanan sate ayam aja yang
belinya pas nungguin speedboat mau berangkat saja. Jangan lupa, lontongnya
dipisah trus jangan terlalu pedas.
Hari ini aku harus
kembali ke basecamp. Lokasinya di luar pulau Tarakan. Sekitar 2 jam kalau laut
tenang udah nyampe. Tarakan adalah kodya di provinsi termuda yang merupakan
sentral buat belanja kebutuhan sehari-hari. Barang yang dijual udah bercampur
antara barang lokal dengan barang dari negeri jiran. Beberapa produk dari
negeri sebelah kami kenal lebih baik dan murah. Bukan ga cinta produk dalam
negeri, tapi cinta saja kalau harus mengeluarkan biaya berlebih, apa iya. Toh
yang di negeri jiran sejatinya orang indonesia juga yang udah beranak pinak di
sana dan sukses. Itu sebabnya kadang budaya yang mereka tampilkan seolah akan
diklaim jadi milik mereka, padahal ga sepanas itu juga kali atmosfernya. Ya
udahlah, ngga usah detail bahas politiknya, ntar dibully lagi secara militan
dan brutal.
Balik ke cerita di
atas. Jadi, kalau lagi pas ke Tarakan, baik itu tugas atau offday teman-teman
lain biasanya nitip buat belanja. Belanja keperluan sehari-hari yang ga ada di
tempat kami. Kalau pun ada harganya biasanya jauh lebih mahal. Seperti daftar
belanja tadi udah semua aku belikan. Mirip emak-emak memang, tapi ya biasa aja.
Hari itu pas hari
jumat. Sholat jumatnya aku tunaikan di dekat Pasar Dayak saja. Pasar Dayak
adalah salah satu ‘stand’ dari pasar tradisional beringin. Pasar Dayak adanya
di hari senin dan kamis saja. Awalnya masih banyak warga dari pedalaman yang
duduk menjajakan hasil kebunnya, namun belakangan udah berganti dengan warga
pendatang yang langsung memborong hasil kebun mereka dan menggantikan berjualan
di pasar itu. Tetap rame memang, karena varian dagangan yang dijajakan sangat
beragam. Buah-buahan yang tidak populer seperti kelincauan juga ada dijual di
pasar tanpa atap itu. Di samping pasar dayak ada masjid yang baru renovasi,
dapat menampung para pedagang pasar dan masyarakat sekitar. Pasar ini berada di
tepi laut. Sebagian pasar juga berada di kios yang dibangun di atas laut,
menjorok ke laut mirip pelabuhan. Di bagian ujung, biasanya penjual BBM yang
biasa dibutuhkan para motoris dan nelayan. Selain itu, usaha penampung udang dan
kepiting juga bertempat dibagian ujung pasar.
Lah, kalau mau nyari
speedboat jurusan desa-desa tertentu, ngetemnya di pasar ini, pasar beringin.
Ada kloningannya gitu, jadi ada yang namanya beringin I, II dan III. Berdeketan
sebenarnya, tapi terpisah oleh laut.
Seperti aku dan engkau
Terpisah
Bukan hanya laut
Tapi kedustaan
Abis sholat jumat,
aku kembali ke tempat ngetemnya speedboat. Dirasa udah cukup penumpangnya, kami
diminta segera ke speedboat. Eh, lupa. Titipan satenya dulu dibelikan. Hampir
saja.
Speedboat kecil,
muatnya bisa 6 orang dewasa. Kalau motorisnya ketiban banyak rezeki biasa
diover-overin penumpangnya. Sampe kadang speedboatnya ga bisa melaju kencang,
sarat muatan. Beresiko memang, ngga ada petugas setau aku (atau jarang).
Jangankan untuk yang kapasitas kecil begini, di pelabuhan yang lebih besar aja
kadang petugasnya juga ga begitu action. Bukan nyalahin petugas yak, kadang
kita juga yang ga tertib, kadang yang punya armada juga ga patuh. Jadinya ya,
tinggal baca yasin aja kalau udah kejadian, wassallam.
Barang-barang
belanjaan udah disimpan di bagian depan dan belakang speedboat. Ga kayak mobil
ya yang ada bagasinya. Ada ruang kosong aja di speedboat udah bisa buat naroh
barang. Pinter-pinter motoris aja ngatur barangnya agar tetap seimbang. Tidak
jarang barang-barang gede seperti sepeda motor juga bisa diangkut. Yang
akhirnya penumpang yang harus nekuk lutut karena jadi sempit. Tapi ya biasa
aja, kadang ada juga yang bawa hewan ternak, rak piring, gerobak satu roda,
kulkas sama pesawat terbang mainan. Dinikmati saja, beginilah hidup. Akan
menjadi berkah jika disyukuri. Ya kan.
Aku udah di
speedboat. Duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja. Eh malah nyanyi. Bukan, aku duduk di bagian belakang. Ada empat penumpang di bagian belakang
saat itu. Dan satu penumpang di samping motorisnya. Semuanya laki. Sepertinya
mereka para pekerja tambang emas ilegal yang lokasinya searah denganku.
Terlihat dari rambutnya, jaketnya dan warna kulitnya. Bukan ngejudge loh ya,
nebak aja.
Sementara yang duduk
tepat di depanku, seorang bapak paruh baya. Bapak tua. Khas warga kalimantan
seri original. Dari bapak inilah aku cuplikkan kisahnya buat kita semua.
Seperti biasa kalau
di sebuah angkutan umum, entah itu di kereta, bus, pesawat atau angkot, kita
terbiasa untuk hanya bercerita dengan hape semata. Tidak dengan orang yang
berada di sebelah kita. Entahlah, mengapa kita bisa menjadi ramah dengan orang
yang jauh saja. Nulis status sedang dimana, selfi, tagline, capture sampe doa
ketika angkutan mulai berangkat. Semua kita lakukan dengan segenggam elektronik
yang sudah memangkas keramahan kita sebagai manusia yang dikenal santun
(dulunya). Entah kenapa, amat jarang kita berkenalan, bertegur sapa dengan
penumpang di sebelah kita. Apakah prinsip don’t talk with stranger yang berlaku
buat warga sono udah mulai kita pakai juga. Bukannya kita udah sering ucapin
salam ke kanan dan ke kiri sehari paling nggak lima kali sebagai sebuah ajaran
bahwa kita harusnya lebih sering menebarkan salam, kasih sayang dengan orang
yang berada disamping kita. Tapi ya udahlah, keramahan kadang hanya sering
dipraktikan oleh mereka yang punya niat terselubung jika berada di
tempat-tempat keramaian seperti itu. Seperti calo misalnya, mereka ramah tapi
berbayar.
Bapak tua di depanku,
sepertinya sedang berbelanja di kota. Terlihat banyak sekali barang bawaannya.
Praktik hidup cinta lingkungan sudah ia tunjukkan dengan keranjang rotan
bawaannya. Tidak sepertiku yang masih saja menggunakan plastik hitam belanjaan
khas supermarket. Gurat di wajahnya seakan menunjukkan letihnya hidup di daerah
perkampungan. Namun tidak dengan senyum yang kadang ia perlihatkan. Ia sesosok
pria yang menerima setiap apa yang ditakdirkan oleh Tuhan untuknya.
Bajunya tak disetrika,
terlihat dari bagian lengannya yang tergulung. Celana panjangnya terlihat
berdebu. Begitupun rambutnya yang terlihat dari topi kusamnya. Satu hal yang
aku sukai darinya adalah keranjang-keranjang bawaannya. Semua terlihat natural
dan epic. Anjat namanya. Warga kalimantan terbiasa menggunakan keranjang
tersebut. Bisa memuat sayuran, kayu bakar ataupun binatang buruan. Bentuk dan
modelnya juga beragam. Ada yang seperti tabung, ada juga yang seperti rak.
Tergantung penggunaannya. Semua didesign untuk dipanggul di belakang. Backpack.
Motoris mulai
melepaskan ikatan talinya dari dermaga. Menuju ke bagian belakang untuk
menghidupkan mesin. Laut tak begitu tenang saat itu. Ada riak namun tak begitu
besar. Meski begitu cukup membuat kami duduk bergoyang dan menjaga barang
bawaan masing-masing. Pria yang berada di sebelahku hanya duduk tenang. Tak
terlihat barang bawaannya selain ransel di sisinya. Ia mulai menyumpal kedua
lubang telinganya dengan kabel putih yang disambungkan ke benda elektronik di
tangannya. Sesaat ia berdiam dan menikmati dunianya.
Sementara pria tua di
depanku, terlihat begitu sibuk dengan barang bawaannya. Hentakkan air laut yang
membuatnya tak bisa duduk dengan tenang, menjadikannya seperti kesulitan untuk
mengamankan barang bawaannya yang terkumpul di satu keranjang rotan tadi. Aku
masih diam saja memperhatikan. Belum bereaksi. Aku pikir ia masih bisa
mengatasinya.
Speedboat sudah
mulai ke tengah lautan. Gelombang masih belum tenang. Kembali bapak tua
tersebut menarik dan menahan barang bawaannya. Kali ini ia berusaha untuk
mengikatkan plastik hitam yang berada di keranjangnya. Aku melihatnya, masih
belum membantunya. Ia aku perhatikan berusaha untuk menjaga sate ayam di anjatnya.
Terlihat dari tusukan sate yang keluar dari plastiknya. Sama sepertiku
ternyata. Iapun belanja kudapan itu untuk oleh-oleh keluarganya. Namun tidak
sepertiku, aku sudah mengemas barang belanjaanku sedemikian rupa sehingga tak
kuatir jika nantinya terkena guncangan gelombang selama di perjalanan.
Ikatan plastik
pembungkus sate ayam miliknya terlepas. Terlihat ia begitu berusaha untuk
mengikatnya. Tapi gelombang laut selalu menggangu tenang duduknya. Ikatan itu
tak berhasil. Ia mencoba lagi. Tapi setiap akan berhasil mengikatkan kedua
ujung plastik itu, gelombang laut kembali mengguncangnya. Dan tak berhasil
lagi. Entah kenapa aku seperti masih belum bereaksi. Aku pikir itu terlalu
mudah. Meski ia tak juga berhasil mengikatnya.
Laut masih belum
tenang. Iapun terlihat kembali menjaga barang bawaannya. Konsentrasiku masih
pada bungkusan sate ayam miliknya. Masih terlihat terbuka dan rentan terhambur
ke luar jika terkena guncangan gelombang. Bapak tua atau lebih baik aku panggil
aki itu kembali berusaha mengikatkan kedua ujung plastik bawaannya. Masih belum
berhasil. Kali ini aku bereaksi. Sebentar saja. Aku mencondongkan sedikit
badanku ke depan. Tanpa permisi, aku raih kedua ujung plastik itu dan
mengikatnya. Selesai.
Aku kembali
membetulkan posisi dudukku. Kali ini aku menatapnya sembari tersenyum ramah. Si
bapak tua terlihat suka dan seperti ingin ucapkan sesuatu tetapi diurungkan
karena memang kalau di speedboat suara mesin begitu keras. Jadi terkadang
komunikasi hanya dengan isyarat saja.
Satu jam berlalu,
kami tiba di satu kampung tepi laut. Perkampungan suku bajau dan juga tidung.
Tak banyak penghuninya memang, aku taksir tak sampai dua puluh rumah di kampung
itu. Kampung tepi laut di mana penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan.
Kami mampir di
kampung tersebut. Batu Pasu namanya. Aku pikir ada penumpang yang akan keluar
dari speedboat. Tetapi ternyata tidak. Motoris hanya mampir dan mengantarkan
barang pesanan salah satu warga di kampung tersebut.
Saat speedboat
diparkirkan. Bapak tua di depanku berusaha menyapa. Terlihat dari bahasa
tubuhnya yang ingin berkata. Kembali aku melemparkan senyum untuknya. Iapun
demikian. Entah mungkin keramahan diantara kita sudah mulai punah. Sehingga
sebuah interaksi sederhana bagai sebuah harta tanpa harga.
Seperti aku
Atau juga engkau
Mengapa tak berkata
Mengapa betah menyimpan rasa
Motoris kembali lagi. Speedboat
dijalankan. Kembali kami memperbaiki posisi duduk kami. Kali ini laut sudah
mulai tenang. Bukan laut, mungkin sudah muara. Karena sebentar lagi kami akan
mulai memasuki daerah aliran sungai.
Beberapa saat mulai terlihat Pulau
Srilaki. Sebuah pulau tak berpenghuni yang bentuknya seperti puncak gunung yang
tertanam. Pulau itu berada di tengah laut. Di dekatnya ada sebuah perusahaan
tambang batu yang tepat berada di tepi Pulau Kalimantan. Setengah jam kemudian
kami tiba di dermaga perusahaan tersebut. Ternyata ada penumpang yang akan
keluar speedboat dan segera naik di dermaga.
Saat speedboat dilabuhkan. Bapak
tua di depanku menyapa.
“Turun di sini?”
“Tidak”, jawabku singkat.
Si bapak tua tersenyum ramah di
depanku. Entahlah, sebuah keramahan yang sangat jarang aku temukan untuk hal
seperti ini. Speedboat kembali bergerak. Suara mesin kembali mengganggu
keheningan.
Kali ini arah speedboat berbelok
ke sungai lain. Bukan arah sungai menuju kediamanku. Sepertinya ada penumpang
lain yang harus diantar di tempat lain. Dan benar seperti dugaanku. Seorang
penumpang yang ternyata pekerja tambak yang harus diantar di lokasi
pertambakkan.
Saat speedboat ditambatkan, dan
suara mesin dipelankan. Si bapak tua kembali berusaha menyapaku. Dan bertanya
apakah aku yang diantar di tempat ini. Aku kembali mengatakan tidak dan hanya
tersenyum.
Speedboat kembali memutar untuk
menuju arah pulang. View laut perlahan mulai berubah. Sudah banyak terlihat
pepohonan bakau di tepi pulau. Air sudah mulai berubah payau. Tak jarang
terlihat bekantan bermain di dahan. Tak jarang pula beberapa burung pencari
ikan terlihat bermain mencari menu makan siang. Menikmati tenangnya air.
Membiarkan mataku mencerna hijau dan birunya landscape. Desir angin menderu di
telinga. Atau sesekali suara gesekan daun yang begitu pelan tapi terdengar oleh
jiwa. Membuatku seakan berada di sebuah dimensi dimana imajinasilah yang
menciptakan ketenangan itu semua.
Tak sepertimu
Yang tega merusak semuanya
Dimanakah janji
Disitulah ingkar menyertai
Beberapa saat terasa lebar air
mulai menyempit. Artinya kami sudah mulai memasuki sungai. Terlihat di kedua
sisi daratan dipenuhi tumbuhan nipah. Berdiri rapi dan sejajar. Seperti tanaman
pagar di halaman rumah. Tak jarang jika air sedang surut, beberapa buaya
berjemur di tepinya. Atau kawanan kera yang bermain di dahannya.
Perjalanan semakin mendekati arah
tujuanku. Namun sebelumnya speedboat kembali merapat ke sebuah dermaga lagi.
Kali ini sebuah logyard perusahaan kayu perkebunan. Terlihat beberapa kapal
tongkang ditambatkan. Alat-alat berat semisal crane dan wheelloader juga
terlihat beroperasi. Satu penumpang keluar dari speedboad dan membayar empat
lembar rupiah. Kembali si bapak tua seperti hendak bersiap diri dan menyapaku.
Masih dengan pertanyaan yang sama apakah aku yang akan keluar speedboat dan
tinggal di areal perusahaan itu. Akupun kembali menggeleng dan si bapak kulihat
kembali ke posisi duduknya seraya melemparkan senyum khasnya.
Entah mengapa si bapak menjadi
ramah. Apa karena ikatan plastik sate ayam miliknya yang aku bantu tadi.
Bukankah itu hanya hal yang sederhana. Aku bahkan bisa membantu lebih dari itu.
Aku tak mau terlalu lebar memikirkannya. Menemukan warga asli dengan keramahan
seperti itu memang bukanlah hal yang mudah. benar. Untuk itulah hal ini yang
menjadi ceritaku. Warga asli, atau di beberapa sub suku dayak kalimantan yang
masih jauh dari lembar pendidikan formal terlihat seperti menjaga jarak dengan
beberapa penduduk pendatang atau karyawan-karyawan perusahaan. Entah apakah ini
tentang kesetaraan, kesenjangan atau mungkin kecemburuan. Tapi tak bisa
dipungkiri memang, pendidikan bisa menjadi alasan kesemuanya itu.
Warga pendatang atau karyawan
perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di daerah pedalaman kalimantan bisa
dirasakan tak ubahnya kolonialisme dengan bendera yang sama. Tak jarang konflik
sosial terjadi begitu saja untuk hal-hal yang sederhana. Aku memang bisa
merasakannya. Karena saat aku mendapat kesempatan untuk menjadi penulis yang
mendengar langsung cerita warga yang hidup di lingkungan perusahaan di sebuah
desa di Propinsi Riau, warga seakan diintimidasi oleh kekuatan perusahaan.
Perusahaan memiliki cara dengan mengenyangkan beberapa warga tertentu sehingga
perusahaan terlihat baik dan ramah. Padahal secara keselurahan warga di sekitar
areal perusahaan tidak dapat menikmatinya.
Kembali ke kisah di atas.
Speedboat kembali menuju hulu. Tak beberapa lama mulai terlihat basecamp
tempatku bekerja. Bekerja atau hidup lebih tepatnya karena begitu lamanya aku
tinggal di tempat itu. Motoris sudah hapal dengan alamat masing-masing
penumpang, jadi tak perlu aku pastikan kembali agar merapat ke dermaga
basecampku.
Mesin mulai melambat. Speedboat
kembali merapat. Kali ini si bapak tua kembali bertanya bersemangat. Dan kali ini
jawabanku adalah mengiyakan pertanyaannya.
Si bapak tua dengan kesusahan
berdiri dari tempat duduknya. Tak sepenuhnya berdiri karena terhalang oleh
tenda speedboat. Ia kuperhatikan akan segera keluar dari speedboat. Dengan
tubuh yang tak lagi tegak ia melewati besi penyangga tenda speedboat. Ia keluar
speedboat dan berdiri di dermaga.
Aku hanya sedikit bertanya tanpa
suara. Apakah si bapak tua juga di daerah ini. Aku memeriksa barang bawaannku
dan mengangkatnya keluar. Si bapak tua yang sudah berada di dermaga ternyata
dengan sigap dan antusias berusaha menyambut barang-barang bawaanku. Tak
terlalu banyak sebetulnya, dan akupun masih bisa mengerjakannya sendiri. Tapi
karena niat baik si bapak tua, aku iyakan saja barang-barangku disambutnya dan
diletakkan di beberapa sudut dermaga.
Si bapak tua masih di dermaga dan
sambil memperhatikanku. Seakan ia ingin berkata apalagi yang bisa saya bawakan.
Aku keluar dari speedboat dan membayar ongkos ke motoris. Setelah aku di
dermaga ternyata si bapak kembali masuk ke speedboat dan melihatku dengan
senyumannya. Jadi, si bapak tua hanya keluar untuk membantu barang bawaanku
saja. Padahal dengan kondisi yang seperti itu, untuk harus keluar dan masuk
speedboat buatnya sudah tidak mudah lagi. Badannya yang membungkuk, kakinya
yang tak kokoh atau kondisinya yang memang sudah tak kuat lagi tetapi masih
berusaha untuk membantu orang lain.
Speedboat kulihat mulai bergerak.
Kulihat si bapak tua duduk kembali menjaga anjat dan bungkusan satenya.
Speedboat menuju hulu sungai, mengantar penumpang hingga di kampung halaman.
Sahabat. Kisah ini sebenarnya
simple. Murah buat orang tertentu. Namun aku mendapatkan pesan moral yang
begitu membekas hingga kini. Bahwa untuk melakukan kebaikan memang tak perlu
mengenal orangnya. Bahwa untuk membalas kebaikan tak perlu menunggu kapan waktunya.
Si bapak tua sebenarnya telah mengajarkanku begitu banyak hal. Keramahannya.
Senyumannya. Juga niat kuatnya untuk membalas sebuah kebaikan dengan harga yang
begitu mahalnya.
Aku
Apa sudah bisa seperti itu
Masih belum
Masih sulit rasanya untuk tak
memilih
Masih pedih rasanya jika tak
pamrih
Tapi senyum itu
Seakan lukisan yang tak terbeli
Seperti didikan seorang kiayi
Bahwa saat menerima kebaikan
Dengan segera balaslah yang
setimpal
ooOoo
Artikel Terkait
Selalu suka dengan semua tulisan mu sahabat ...
BalasHapusMakasih ya
BalasHapusKeren. Selalu suka gaya bahasamum. Tulisan kali ini dalam sekali pesannya. Teruslah menulis.
BalasHapusKeren. Selalu suka gaya bahasamum. Tulisan kali ini dalam sekali pesannya. Teruslah menulis.
BalasHapus