Senin, 09 Oktober 2017

Pesan Moral Sebungkus Sate Ayam



Pampers baby dry, HP titut under 300K, pasta gigi khusus yang sering ngilu, aki motor, wortel 2 Kg, Sosis kiloan, sirup obat batuk untuk anak yang 200ml rasa anggur, grip raket, terakhir powerbank yang murah tapi bagus yang tahan lama yang minimalis bentuknya. Done. Semuanya udah aku belikan. Tinggal pesanan sate ayam aja yang belinya pas nungguin speedboat mau berangkat saja. Jangan lupa, lontongnya dipisah trus jangan terlalu pedas.





Hari ini aku harus kembali ke basecamp. Lokasinya di luar pulau Tarakan. Sekitar 2 jam kalau laut tenang udah nyampe. Tarakan adalah kodya di provinsi termuda yang merupakan sentral buat belanja kebutuhan sehari-hari. Barang yang dijual udah bercampur antara barang lokal dengan barang dari negeri jiran. Beberapa produk dari negeri sebelah kami kenal lebih baik dan murah. Bukan ga cinta produk dalam negeri, tapi cinta saja kalau harus mengeluarkan biaya berlebih, apa iya. Toh yang di negeri jiran sejatinya orang indonesia juga yang udah beranak pinak di sana dan sukses. Itu sebabnya kadang budaya yang mereka tampilkan seolah akan diklaim jadi milik mereka, padahal ga sepanas itu juga kali atmosfernya. Ya udahlah, ngga usah detail bahas politiknya, ntar dibully lagi secara militan dan brutal.


Balik ke cerita di atas. Jadi, kalau lagi pas ke Tarakan, baik itu tugas atau offday teman-teman lain biasanya nitip buat belanja. Belanja keperluan sehari-hari yang ga ada di tempat kami. Kalau pun ada harganya biasanya jauh lebih mahal. Seperti daftar belanja tadi udah semua aku belikan. Mirip emak-emak memang, tapi ya biasa aja.


Hari itu pas hari jumat. Sholat jumatnya aku tunaikan di dekat Pasar Dayak saja. Pasar Dayak adalah salah satu ‘stand’ dari pasar tradisional beringin. Pasar Dayak adanya di hari senin dan kamis saja. Awalnya masih banyak warga dari pedalaman yang duduk menjajakan hasil kebunnya, namun belakangan udah berganti dengan warga pendatang yang langsung memborong hasil kebun mereka dan menggantikan berjualan di pasar itu. Tetap rame memang, karena varian dagangan yang dijajakan sangat beragam. Buah-buahan yang tidak populer seperti kelincauan juga ada dijual di pasar tanpa atap itu. Di samping pasar dayak ada masjid yang baru renovasi, dapat menampung para pedagang pasar dan masyarakat sekitar. Pasar ini berada di tepi laut. Sebagian pasar juga berada di kios yang dibangun di atas laut, menjorok ke laut mirip pelabuhan. Di bagian ujung, biasanya penjual BBM yang biasa dibutuhkan para motoris dan nelayan. Selain itu, usaha penampung udang dan kepiting juga bertempat dibagian ujung pasar.


Lah, kalau mau nyari speedboat jurusan desa-desa tertentu, ngetemnya di pasar ini, pasar beringin. Ada kloningannya gitu, jadi ada yang namanya beringin I, II dan III. Berdeketan sebenarnya, tapi terpisah oleh laut.

Seperti aku dan engkau
Terpisah
Bukan hanya laut
Tapi kedustaan

Abis sholat jumat, aku kembali ke tempat ngetemnya speedboat. Dirasa udah cukup penumpangnya, kami diminta segera ke speedboat. Eh, lupa. Titipan satenya dulu dibelikan. Hampir saja.


Speedboat kecil, muatnya bisa 6 orang dewasa. Kalau motorisnya ketiban banyak rezeki biasa diover-overin penumpangnya. Sampe kadang speedboatnya ga bisa melaju kencang, sarat muatan. Beresiko memang, ngga ada petugas setau aku (atau jarang). Jangankan untuk yang kapasitas kecil begini, di pelabuhan yang lebih besar aja kadang petugasnya juga ga begitu action. Bukan nyalahin petugas yak, kadang kita juga yang ga tertib, kadang yang punya armada juga ga patuh. Jadinya ya, tinggal baca yasin aja kalau udah kejadian, wassallam.


Barang-barang belanjaan udah disimpan di bagian depan dan belakang speedboat. Ga kayak mobil ya yang ada bagasinya. Ada ruang kosong aja di speedboat udah bisa buat naroh barang. Pinter-pinter motoris aja ngatur barangnya agar tetap seimbang. Tidak jarang barang-barang gede seperti sepeda motor juga bisa diangkut. Yang akhirnya penumpang yang harus nekuk lutut karena jadi sempit. Tapi ya biasa aja, kadang ada juga yang bawa hewan ternak, rak piring, gerobak satu roda, kulkas sama pesawat terbang mainan. Dinikmati saja, beginilah hidup. Akan menjadi berkah jika disyukuri. Ya kan.


Aku udah di speedboat. Duduk disamping pak kusir yang sedang bekerja. Eh malah nyanyi. Bukan, aku duduk di bagian belakang. Ada empat penumpang di bagian belakang saat itu. Dan satu penumpang di samping motorisnya. Semuanya laki. Sepertinya mereka para pekerja tambang emas ilegal yang lokasinya searah denganku. Terlihat dari rambutnya, jaketnya dan warna kulitnya. Bukan ngejudge loh ya, nebak aja.


Sementara yang duduk tepat di depanku, seorang bapak paruh baya. Bapak tua. Khas warga kalimantan seri original. Dari bapak inilah aku cuplikkan kisahnya buat kita semua.


Seperti biasa kalau di sebuah angkutan umum, entah itu di kereta, bus, pesawat atau angkot, kita terbiasa untuk hanya bercerita dengan hape semata. Tidak dengan orang yang berada di sebelah kita. Entahlah, mengapa kita bisa menjadi ramah dengan orang yang jauh saja. Nulis status sedang dimana, selfi, tagline, capture sampe doa ketika angkutan mulai berangkat. Semua kita lakukan dengan segenggam elektronik yang sudah memangkas keramahan kita sebagai manusia yang dikenal santun (dulunya). Entah kenapa, amat jarang kita berkenalan, bertegur sapa dengan penumpang di sebelah kita. Apakah prinsip don’t talk with stranger yang berlaku buat warga sono udah mulai kita pakai juga. Bukannya kita udah sering ucapin salam ke kanan dan ke kiri sehari paling nggak lima kali sebagai sebuah ajaran bahwa kita harusnya lebih sering menebarkan salam, kasih sayang dengan orang yang berada disamping kita. Tapi ya udahlah, keramahan kadang hanya sering dipraktikan oleh mereka yang punya niat terselubung jika berada di tempat-tempat keramaian seperti itu. Seperti calo misalnya, mereka ramah tapi berbayar.


Bapak tua di depanku, sepertinya sedang berbelanja di kota. Terlihat banyak sekali barang bawaannya. Praktik hidup cinta lingkungan sudah ia tunjukkan dengan keranjang rotan bawaannya. Tidak sepertiku yang masih saja menggunakan plastik hitam belanjaan khas supermarket. Gurat di wajahnya seakan menunjukkan letihnya hidup di daerah perkampungan. Namun tidak dengan senyum yang kadang ia perlihatkan. Ia sesosok pria yang menerima setiap apa yang ditakdirkan oleh Tuhan untuknya.


Bajunya tak disetrika, terlihat dari bagian lengannya yang tergulung. Celana panjangnya terlihat berdebu. Begitupun rambutnya yang terlihat dari topi kusamnya. Satu hal yang aku sukai darinya adalah keranjang-keranjang bawaannya. Semua terlihat natural dan epic. Anjat namanya. Warga kalimantan terbiasa menggunakan keranjang tersebut. Bisa memuat sayuran, kayu bakar ataupun binatang buruan. Bentuk dan modelnya juga beragam. Ada yang seperti tabung, ada juga yang seperti rak. Tergantung penggunaannya. Semua didesign untuk dipanggul di belakang. Backpack.


Motoris mulai melepaskan ikatan talinya dari dermaga. Menuju ke bagian belakang untuk menghidupkan mesin. Laut tak begitu tenang saat itu. Ada riak namun tak begitu besar. Meski begitu cukup membuat kami duduk bergoyang dan menjaga barang bawaan masing-masing. Pria yang berada di sebelahku hanya duduk tenang. Tak terlihat barang bawaannya selain ransel di sisinya. Ia mulai menyumpal kedua lubang telinganya dengan kabel putih yang disambungkan ke benda elektronik di tangannya. Sesaat ia berdiam dan menikmati dunianya.


Sementara pria tua di depanku, terlihat begitu sibuk dengan barang bawaannya. Hentakkan air laut yang membuatnya tak bisa duduk dengan tenang, menjadikannya seperti kesulitan untuk mengamankan barang bawaannya yang terkumpul di satu keranjang rotan tadi. Aku masih diam saja memperhatikan. Belum bereaksi. Aku pikir ia masih bisa mengatasinya.


Speedboat sudah mulai ke tengah lautan. Gelombang masih belum tenang. Kembali bapak tua tersebut menarik dan menahan barang bawaannya. Kali ini ia berusaha untuk mengikatkan plastik hitam yang berada di keranjangnya. Aku melihatnya, masih belum membantunya. Ia aku perhatikan berusaha untuk menjaga sate ayam di anjatnya. Terlihat dari tusukan sate yang keluar dari plastiknya. Sama sepertiku ternyata. Iapun belanja kudapan itu untuk oleh-oleh keluarganya. Namun tidak sepertiku, aku sudah mengemas barang belanjaanku sedemikian rupa sehingga tak kuatir jika nantinya terkena guncangan gelombang selama di perjalanan.


Ikatan plastik pembungkus sate ayam miliknya terlepas. Terlihat ia begitu berusaha untuk mengikatnya. Tapi gelombang laut selalu menggangu tenang duduknya. Ikatan itu tak berhasil. Ia mencoba lagi. Tapi setiap akan berhasil mengikatkan kedua ujung plastik itu, gelombang laut kembali mengguncangnya. Dan tak berhasil lagi. Entah kenapa aku seperti masih belum bereaksi. Aku pikir itu terlalu mudah. Meski ia tak juga berhasil mengikatnya.


Laut masih belum tenang. Iapun terlihat kembali menjaga barang bawaannya. Konsentrasiku masih pada bungkusan sate ayam miliknya. Masih terlihat terbuka dan rentan terhambur ke luar jika terkena guncangan gelombang. Bapak tua atau lebih baik aku panggil aki itu kembali berusaha mengikatkan kedua ujung plastik bawaannya. Masih belum berhasil. Kali ini aku bereaksi. Sebentar saja. Aku mencondongkan sedikit badanku ke depan. Tanpa permisi, aku raih kedua ujung plastik itu dan mengikatnya. Selesai.


Aku kembali membetulkan posisi dudukku. Kali ini aku menatapnya sembari tersenyum ramah. Si bapak tua terlihat suka dan seperti ingin ucapkan sesuatu tetapi diurungkan karena memang kalau di speedboat suara mesin begitu keras. Jadi terkadang komunikasi hanya dengan isyarat saja.


Satu jam berlalu, kami tiba di satu kampung tepi laut. Perkampungan suku bajau dan juga tidung. Tak banyak penghuninya memang, aku taksir tak sampai dua puluh rumah di kampung itu. Kampung tepi laut di mana penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan.


Kami mampir di kampung tersebut. Batu Pasu namanya. Aku pikir ada penumpang yang akan keluar dari speedboat. Tetapi ternyata tidak. Motoris hanya mampir dan mengantarkan barang pesanan salah satu warga di kampung tersebut.


Saat speedboat diparkirkan. Bapak tua di depanku berusaha menyapa. Terlihat dari bahasa tubuhnya yang ingin berkata. Kembali aku melemparkan senyum untuknya. Iapun demikian. Entah mungkin keramahan diantara kita sudah mulai punah. Sehingga sebuah interaksi sederhana bagai sebuah harta tanpa harga.

Seperti aku
Atau juga engkau
Mengapa tak berkata
Mengapa betah menyimpan rasa

Motoris kembali lagi. Speedboat dijalankan. Kembali kami memperbaiki posisi duduk kami. Kali ini laut sudah mulai tenang. Bukan laut, mungkin sudah muara. Karena sebentar lagi kami akan mulai memasuki daerah aliran sungai.


Beberapa saat mulai terlihat Pulau Srilaki. Sebuah pulau tak berpenghuni yang bentuknya seperti puncak gunung yang tertanam. Pulau itu berada di tengah laut. Di dekatnya ada sebuah perusahaan tambang batu yang tepat berada di tepi Pulau Kalimantan. Setengah jam kemudian kami tiba di dermaga perusahaan tersebut. Ternyata ada penumpang yang akan keluar speedboat dan segera naik di dermaga.


Saat speedboat dilabuhkan. Bapak tua di depanku menyapa.
“Turun di sini?”
“Tidak”, jawabku singkat.
Si bapak tua tersenyum ramah di depanku. Entahlah, sebuah keramahan yang sangat jarang aku temukan untuk hal seperti ini. Speedboat kembali bergerak. Suara mesin kembali mengganggu keheningan.


Kali ini arah speedboat berbelok ke sungai lain. Bukan arah sungai menuju kediamanku. Sepertinya ada penumpang lain yang harus diantar di tempat lain. Dan benar seperti dugaanku. Seorang penumpang yang ternyata pekerja tambak yang harus diantar di lokasi pertambakkan.

Saat speedboat ditambatkan, dan suara mesin dipelankan. Si bapak tua kembali berusaha menyapaku. Dan bertanya apakah aku yang diantar di tempat ini. Aku kembali mengatakan tidak dan hanya tersenyum.

Speedboat kembali memutar untuk menuju arah pulang. View laut perlahan mulai berubah. Sudah banyak terlihat pepohonan bakau di tepi pulau. Air sudah mulai berubah payau. Tak jarang terlihat bekantan bermain di dahan. Tak jarang pula beberapa burung pencari ikan terlihat bermain mencari menu makan siang. Menikmati tenangnya air. Membiarkan mataku mencerna hijau dan birunya landscape. Desir angin menderu di telinga. Atau sesekali suara gesekan daun yang begitu pelan tapi terdengar oleh jiwa. Membuatku seakan berada di sebuah dimensi dimana imajinasilah yang menciptakan ketenangan itu semua.

Tak sepertimu
Yang tega merusak semuanya
Dimanakah janji
Disitulah ingkar menyertai


Beberapa saat terasa lebar air mulai menyempit. Artinya kami sudah mulai memasuki sungai. Terlihat di kedua sisi daratan dipenuhi tumbuhan nipah. Berdiri rapi dan sejajar. Seperti tanaman pagar di halaman rumah. Tak jarang jika air sedang surut, beberapa buaya berjemur di tepinya. Atau kawanan kera yang bermain di dahannya.

Perjalanan semakin mendekati arah tujuanku. Namun sebelumnya speedboat kembali merapat ke sebuah dermaga lagi. Kali ini sebuah logyard perusahaan kayu perkebunan. Terlihat beberapa kapal tongkang ditambatkan. Alat-alat berat semisal crane dan wheelloader juga terlihat beroperasi. Satu penumpang keluar dari speedboad dan membayar empat lembar rupiah. Kembali si bapak tua seperti hendak bersiap diri dan menyapaku. Masih dengan pertanyaan yang sama apakah aku yang akan keluar speedboat dan tinggal di areal perusahaan itu. Akupun kembali menggeleng dan si bapak kulihat kembali ke posisi duduknya seraya melemparkan senyum khasnya.

Entah mengapa si bapak menjadi ramah. Apa karena ikatan plastik sate ayam miliknya yang aku bantu tadi. Bukankah itu hanya hal yang sederhana. Aku bahkan bisa membantu lebih dari itu. Aku tak mau terlalu lebar memikirkannya. Menemukan warga asli dengan keramahan seperti itu memang bukanlah hal yang mudah. benar. Untuk itulah hal ini yang menjadi ceritaku. Warga asli, atau di beberapa sub suku dayak kalimantan yang masih jauh dari lembar pendidikan formal terlihat seperti menjaga jarak dengan beberapa penduduk pendatang atau karyawan-karyawan perusahaan. Entah apakah ini tentang kesetaraan, kesenjangan atau mungkin kecemburuan. Tapi tak bisa dipungkiri memang, pendidikan bisa menjadi alasan kesemuanya itu.

Warga pendatang atau karyawan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di daerah pedalaman kalimantan bisa dirasakan tak ubahnya kolonialisme dengan bendera yang sama. Tak jarang konflik sosial terjadi begitu saja untuk hal-hal yang sederhana. Aku memang bisa merasakannya. Karena saat aku mendapat kesempatan untuk menjadi penulis yang mendengar langsung cerita warga yang hidup di lingkungan perusahaan di sebuah desa di Propinsi Riau, warga seakan diintimidasi oleh kekuatan perusahaan. Perusahaan memiliki cara dengan mengenyangkan beberapa warga tertentu sehingga perusahaan terlihat baik dan ramah. Padahal secara keselurahan warga di sekitar areal perusahaan tidak dapat menikmatinya.

Kembali ke kisah di atas. Speedboat kembali menuju hulu. Tak beberapa lama mulai terlihat basecamp tempatku bekerja. Bekerja atau hidup lebih tepatnya karena begitu lamanya aku tinggal di tempat itu. Motoris sudah hapal dengan alamat masing-masing penumpang, jadi tak perlu aku pastikan kembali agar merapat ke dermaga basecampku.

Mesin mulai melambat. Speedboat kembali merapat. Kali ini si bapak tua kembali bertanya bersemangat. Dan kali ini jawabanku adalah mengiyakan pertanyaannya.

Si bapak tua dengan kesusahan berdiri dari tempat duduknya. Tak sepenuhnya berdiri karena terhalang oleh tenda speedboat. Ia kuperhatikan akan segera keluar dari speedboat. Dengan tubuh yang tak lagi tegak ia melewati besi penyangga tenda speedboat. Ia keluar speedboat dan berdiri di dermaga.

Aku hanya sedikit bertanya tanpa suara. Apakah si bapak tua juga di daerah ini. Aku memeriksa barang bawaannku dan mengangkatnya keluar. Si bapak tua yang sudah berada di dermaga ternyata dengan sigap dan antusias berusaha menyambut barang-barang bawaanku. Tak terlalu banyak sebetulnya, dan akupun masih bisa mengerjakannya sendiri. Tapi karena niat baik si bapak tua, aku iyakan saja barang-barangku disambutnya dan diletakkan di beberapa sudut dermaga.

Si bapak tua masih di dermaga dan sambil memperhatikanku. Seakan ia ingin berkata apalagi yang bisa saya bawakan. Aku keluar dari speedboat dan membayar ongkos ke motoris. Setelah aku di dermaga ternyata si bapak kembali masuk ke speedboat dan melihatku dengan senyumannya. Jadi, si bapak tua hanya keluar untuk membantu barang bawaanku saja. Padahal dengan kondisi yang seperti itu, untuk harus keluar dan masuk speedboat buatnya sudah tidak mudah lagi. Badannya yang membungkuk, kakinya yang tak kokoh atau kondisinya yang memang sudah tak kuat lagi tetapi masih berusaha untuk membantu orang lain.

Speedboat kulihat mulai bergerak. Kulihat si bapak tua duduk kembali menjaga anjat dan bungkusan satenya. Speedboat menuju hulu sungai, mengantar penumpang hingga di kampung halaman.

Sahabat. Kisah ini sebenarnya simple. Murah buat orang tertentu. Namun aku mendapatkan pesan moral yang begitu membekas hingga kini. Bahwa untuk melakukan kebaikan memang tak perlu mengenal orangnya. Bahwa untuk membalas kebaikan tak perlu menunggu kapan waktunya. Si bapak tua sebenarnya telah mengajarkanku begitu banyak hal. Keramahannya. Senyumannya. Juga niat kuatnya untuk membalas sebuah kebaikan dengan harga yang begitu mahalnya.

Aku
Apa sudah bisa seperti itu
Masih belum
Masih sulit rasanya untuk tak memilih
Masih pedih rasanya jika tak pamrih

Tapi senyum itu
Seakan lukisan yang tak terbeli
Seperti didikan seorang kiayi
Bahwa saat menerima kebaikan
Dengan segera balaslah yang setimpal


ooOoo






Artikel Terkait
Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. Selalu suka dengan semua tulisan mu sahabat ...

    BalasHapus
  2. Keren. Selalu suka gaya bahasamum. Tulisan kali ini dalam sekali pesannya. Teruslah menulis.

    BalasHapus
  3. Keren. Selalu suka gaya bahasamum. Tulisan kali ini dalam sekali pesannya. Teruslah menulis.

    BalasHapus