Jumat, 10 Desember 2010

Lodaya, Kereta Petikkan Rindu

Alunan rancak ‘Intuition’ milik Jewel semakin terdengar nyaring berbarengan dengan vibrating alert membuat ponsel sony ericsson walkmanku berputar dan memaksaku harus segera bangkit dari empuknya peristirahatan malam. ‘Fajar’, batinku, pertanda kehidupan baru dimulai. Kusebut namaNya mengazamkan niat akan warna diary hidupku berharap ridhoNya senantiasa menyertai. Ba’da subuhan di bilik hotel, aku lebih memilih mencari sarapan di sekitar terminal bus Leuwi Panjang, murah dan banyak pilihan. Hiruk pikuk keramaian terminal bus memberikan sinergi tersendiri untukku hingga energi yang sudah mulai droup seolah tercharge dengan arus yang stabil dan konstan. Aku harus segera check out dari hotel kelas melati yang bersih dan nyaman  ini, melanjutkan perjalanan menuju kota budaya Jogja. Kereta akan memberangkatkanku pukul delapan pagi ini, setidaknya tigapuluh menit sebelumnya aku sudah harus sampai di stasiun kota.

 
Lodaya Express telah stand by pada line satu, segera ku percepat langkah mencari gerbong dan kursi sesuai dengan tiket yang aku pegang, setelah meletekkan backpack Eiger hitam andalanku kurebahkan tubuh tambunku pada kursi yang telah dibersihkan pekerja cleaning service kereta yang akan melaju ke arah timur pulau Jawa ini. Bandung, selamat tinggal....menghabiskan sore dipelataran masjid agung yang berpagarkan gedung gedung mall di empat sudut alun alun, menciptakan keteduhan tersendiri ditengah ramai dan bergeliatnya kota. Ditemani sebotol air mineral dan hidangan khas Kupat Tahu, melengkapi kenyamanan taman kota yang saling berlomba merengkuh materi. Lamunku terhenyak seiring bergemuruhnya mesin kereta yang membawaku meninggalkan riuhnya kota ini.



Matahari bertasbih tertangkap olehku saat membantu daun daun hijau berfotosintesa di sepanjang sisi sisi rel yang kokoh, hamparan luas palawija seakan mengajarkanku sebuah filosofi tentang ilmu yang semestinya membumi, sesekali terlihat pemukiman penduduk berpagarkan pohon asam dan berhiaskan tali jemuran, seolah menyampaikan pesan bahwa negeri ini tak tersentuh pola hidup yang materialistis hedonistis. Dua penumpang di depanku terlihat asyik menikmati perjalanan dengan mengutak-atik notebook Toshiba 14 inch berwarna hitam metalik, sesekali ia connectkan card reader pada port USBnya, mentransfer hingga mengcopy paste data ter-update. Sementara di bagian belakang tampak belasan turis asing berpose dalam gerbong mengabadikan rangkaian tournya di negeri bekas jajahan nenek moyangnya. Dan penumpang yang ada disampingku adalah seorang bapak tua tetapi masih tampak segar dan gagah meski garis usia di wajahnya tak mampu menutupi separuh abad perjalanan hidupnya. Dan darinyalah aku dapati kualitas diri dalam sebuah kegetiran.

Raharjo Gunawan, ia mengenalkan dirinya. Seperti kebanyakan warga Tionghoa lainnya , mereka memang terbiasa mengggunakan nama lain selain nama aslinya. Agar terdengar pribumi mungkin atau apalah aku tak tahu pasti, tetapi buatku siapapun dia aku akan selalu welcome untuk berteman selama tak arogan dan bau badan. Percakapanku dengannya mulai mencair setelah ku tahu ia masih aktif bermain tennis lapangan, sedikit pengetahuanku tentang peta kekuatan pemain dunia membuatnya tertarik untuk tak menganggapku sekedar penumpang biasa. Apalagi ternyata kita sama sama menyukai service keras Rafael Nadal dan backhand smash milik Serena Williams, meski kita tak sependapat tentang si kuda hitam Novak Djokovic yang selalu membuat kejutan dalam berbagai turnamen grand slam terakhir ini.

Darinya pun akhirnya aku tahu bahwa ia seorang pengusaha lokal yang memiliki dua ratusan karyawan, kini ia lebih menghabiskan masa tuanya dengan beranjangsana ke beberapa daerah untuk menengok anak dan cucunya. Ia mensyukuri hidupnya yang dianugerahi empat orang anak dan tujuh orang cucu yang berbakti padanya, hari harinya kini lebih banyak dihabiskan dengan bermanja dengan buah cintanya yang berbeda tabiat dan karakter. Sebuah balasan atas pengabdiannya membesarkan dan mendidik anak anaknya hingga sukses seperti saat ini. Ia terlihat bersemangat saat dia melihatku merespon aktif ceritanya, sesekali tawa khasnya menyeringai seolah dia hadir dalam cerita lamanya, ia pamerkan kebahagiannya seolah mengajakku untuk hadir dalam alur kisah indahnya. Iapun berpesan untukku, ”Bahagiakanlah orang tuamu nak, karena itulah satu satunya harta yang dimiliki orang orang berusia lanjut sepertiku. Jangan buat ia menanti kabar dari anaknya, mesti semenit kau menghubunginya lewat udara. Ia tak perlu kau hadirkan Avanza Silver di halaman rumahnya, iapun tak berharap kau terbangkan ia ke negeri para nabi, ia hanya akan sangat berterimakasih saat kau kecup lembut jemari tangannya hingga engkau berkata, ’Ayah, jaga baik-baik kesehatanmu’.”.
Ia terdiam sesaat, aku tersenyum haru memahami betapa berartinya keluarga baginya, matanya terlihat berkaca, seolah ia berpetuah pada anaknya sendiri. Sembari memegang pundakku ia bertanya padaku, ”Bagaimana denganmu nak?, apa yang telah kau berikan untuk ibumu?”.
”Ibu telah wafat”, Jawabku.
”Saat saya masih di bangku sekolah.” jelasku mencoba tegar.
”Maaf, saya tidak bermaksud...”.
”Nda apa pak, saya tidak mengkultuskan sebuah kematian adalah sebuah kesedihan, bagi saya kematian hanyalah sebuah episod kecil dari rangkaian teledrama yang saya lakoni”, potongku membesarkan hati.
”Ayahmu?”,
”Ayah menyusul ibu beberapa tahun kemudian”.
Ia menatapku lekat seakan tak punya kosakata tepat untuk saat itu, ia tersenyum  kecil membiarkanku mencari sendiri arti air wajah yang ia percikkan.

Percakapanku terhenti saat Kereta menurunkan penumpang di salah satu stasiun kota, aku tak tahu di kota mana saat itu. Berada dalam kelas eksekutif memang lebih nyaman dan aman meski kadang terasa terisolir karena inklusifitas yang memang ditanggalkan pada gerbong ini. Bayangan mentari terlihat melewati tombak di luaran, pertanda waktu dzuhur telah menyapa, kutunaikan identitas keyakinanku dengan menjama taqdimkan shalat dalam kondisi duduk di kereta yang dilengkapi AC dan bertirai tetoron biru muda. Kuhembus nafas panjang saat tunai sudah ibadah ini, kuingat Dia atas betapa hebat ciptaanNya, tak hentinya aku bersyukur telah mengenal bahwa Dia bukan hanya Illah tapi juga Rabb, Dia bukan hanya Tuhan untuk para tauhidan, tapi Tuhan sekalian alam, dualisme pemahaman yang sederhana namun berujung pengingkaran jika ’akal’ turut campur menafsirkannya. Memang harus berjuang keras dalam memahami konsep hidup hingga tak terperangkap dalam labirin pluralisme keyakinan yang menyebabkan manusia salah memilih Tuhan.

Nadi berdenyut membesarkan asmaNya, jiwa terendam dalam salju cintaNya, kubiarkan pandangku melempar jauh pada goyang bunga padi yang bersalawat pada rasulNya, dan sesekali cakrawala terlihat mengintip malu dan merayu.....merayuku hingga akhirnya kutemukan kalimat tentang ’apa yang telah kau berikan pada ibumu’. 

Ibu, andai saja engkau masih ada saat ini, ku tak pernah ijinkan kau menyeka peluh di dahi itu hingga akulah kain lembut peneduh penat dan letihmu.
Ibu, andai saja engkau masih tersenyum saat ini, ku tak pernah biarkan senyum itu pudar hingga sisa hidupmu adalah kebahagian yang mutlak kau punyai.
Ibu, andai saja engkau masih menungguku saat ini, aku letakkan pengabdian tak berbatas untukmu.

Puisi itu, entah darimana mengalir, ku tak mau lanjutkan hingga hanyut dalam kenangan indah tentang wanita yang telah melahirkanku. Kuraih headset merah di sampingku, kupilih instrumen musik melengkapi sendiriku dan gesekan biola Idris Sardi menyayat kenang dan rinduku. Tak terasa ada genangan di bola mataku, kubendung sekeras jiwa agar tak tumpah di lereng wajah. Airmata, meski kutahu ia adalah bukti rahmat yang diletakkan pada hambaNya tetapi mengalirkannya seolah mensejajarkanku pada makhluk lemah. Aku hanya merasa belum berbuat apa apa untuk membalas pengabdiannya, membayar ketulusannya, melunasi perjuangannya. Aku hanya amanah yang merengkuh kesabarannya, merampas bahagianya, mengusik tidur malamnya. Akulah tangis yang selalu diredakannya, akulah sakit yang disembuhkannya, akulah peminta yang dikabulkannya. Hingga kepergiannya ku tak pahami sebagai sebuah ketiadaan.

Sahabat pembaca, aku tak ingin mengajakmu larut dalam laut kesedihan. Tulisan ini, sekedar berbagi bahwa Ibu...Ayah... adalah manusia terindah yang pernah ada dalam hidup kita, siapapun dan apapun kondisinya. Ada kalanya memang kita berseberangan keinginan dengannya, ada waktunya memang kala kita tak mengerti petuahnya, ada saatnya memang kita berontak melanggar nasihatnya. Bahkan tak sedikit dari kita menghambur sampah pada wajahnya, melempar benci pada hatinya dan menikam amarah pada jiwanya. Tahukah sahabat, rindu itu ada saat ia tak ada, cinta itu menyiksa kala jiwa terpisah. Kepergian semua cita cita dan cinta yang kita perjuangkan belumlah seberapa jika berbanding dengan kepergiannya, orang tua kita. Maka jika saat ini dirimu berada jauh darinya, jika dirimupun pernah berseberangan dengan dirinya, kirimlah kalimat cinta untuknya dan katakan bahwa kau mencintainya. Sederhana tetapi kau akan merasa ini sangat berharga saat ia telah tiada.

Kereta Lodaya perlahan menurunkan lajunya, terlihat beberapa penumpang tengah berkemas menyambut hentinya. Jogjakarta, sebentar lagi tiba, alunan gamelan dan renyah keripik salak menyeruak dalam benak, menggantikan syahdunya petikkan rindu buat ibu. Kereta berhenti, akupun beranjak pergi, meninggalkan kereta dengan sedikit pelajaran hati, tentang sebuah pemaknaan dan pengabdian pada orang orang terkasih. Namun rinduku pada ibu, tak akan terhenti hingga bumi tak lagi berotasi.

 diary iman rabinata, desember 2009

--oo0O0oo--

Artikel Terkait
Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. "rindu itu ada saat ia tak ada, cinta itu menyiksa kala jiwa terpisah. Kepergian semua cita cita dan cinta yang kita perjuangkan belumlah seberapa jika berbanding dengan kepergiannya, orang tua kita. "

    suka dg kalimat ini,, dengan keseluruhan tulisanny,,

    yah aq merasakan ap yg mas tulis,,

    kehilangan ayah d saat aq sedang tdk d rumah, ketika br menginjakan kaki d jakarta, tw kl beliau menunggu ias kluar dr kalimantan sblm akhirny betul2 pergi (beliau anfal 2 hr) tdk ingin anakny panik ktika msh d camp,, yg bs d ingat hanya kalimat trakhir ktika aq pamit akan k camp, "hati-hati" hanya itu yg beliau ucapkan,,,

    jadi sedih hiks T.T

    BalasHapus
  2. tulisan ini bernyawa... :)
    we have almost same story :

    BalasHapus