Dear Cikuray
Apa kabarmu sahabat, masihkah awan-awan kinton itu menemanimu
di pagi cerah, masihkah cahaya ungu dan biru menjadi bingkai senjamu, masihkah
kabut-kabut tipis menemani dingin pagimu, dan masihkah kau ingat saat keningku
menyentuhmu?
Aku sudah sampai di kediamanku di tanah Borneo, malam di
sisi hutan dan air sungai yang membasahi bakau, ada suara binatang keriang dan alunan
ayat suci dari kecilnya surau. Ini janjiku untukmu, jika telah sampai, aku akan
menuliskan surat untukmu, sehingga pertemanan kita akan terus terbaca dan terhubung
selamanya. Aku dan engkau, seorang Borneo dan Cikuray.
Mas Rudy San di puncak Cikuray - Garut Jawa Barat |
Cikuray yang tenang, pukul empat sore, aku baru sampai,
setelah melewati laut Kalimantan dan juga anak sungai. Aku landing di kota
Tarakan pukul setengah satu siang tadi, dengan menumpang pesawat Lion Air,
transit di kota Balikpapan cukup lama dari waktu check in di kota Jakarta pukul
tiga dini hari. Di kota Bandung, sempat menikmati makan malam dengan latar
Gedung Sate yang bersejarah itu, setelah sebelumnya terjebak macet saat mulai
meninggalkan desa Dayeuhmanggung, Cilawu Garut menuju kota Bandung. Itu cerita
kepulanganku hingga aku bisa kembali dengan selamat, sementara cerita
keberangkatanku juga dengan rute yang sama, aku berangkat hari jumat pagi,
tanggal 08 Maret 2013, menuju Tarakan, dan tiba di ibukota pukul sepuluh malam,
setelah itu aku lanjutkan menuju Bandung dengan menumpang bus Primajasa hingga
sampai di kawasan perumahan Batununggal. Di seberang jalan sudah ada travelmateku
untuk mendakimu, namanya mas Rudy San, warga bandung yang sangat saya hormati.
Dini hari, aku dan mas Rudy memulai perjalanan ini berdua menuju kota Garut.
Perjalanan kami cukup tersita ketika mencari jalan menuju perkebunan teh desa
Dayeuhmanggung. Sebelum adzan subuh berkumandang, kami telah sampai dan
beristirahat sejenak di desa tersebut.
Oh ya Cikuray, waktu aku sholat subuh berjamaah di masjid
Istiqomah desa Dayeuhmanggung tersebut, aku mendapat sambutan yang sangat
hangat dari jamaah dan juga warga desa. Setelah sholat subuh berjamaah dengan
mereka, aku mengikuti pengajian terjemah al quran dengan bahasa pengantar
menggunakan bahasa lokal setempat. Ada Pak Nana, Pak Uwoh, Bu Dede, dan yang
lainnya, mereka adalah warga yang sangat ramah. di Pengajian pagi, aku juga
dijamu segelas teh manis dan kuliner khas setempat. Mereka juga menanyakan mas
Rudy mengapa tidak ikutan untuk mengaji bersama, aku katakan kalau teman saya
tidak seakidah denganku, dan beliau menunggu saya beribadah sembari berisitirahat
di dalam kendaraan. Reaksi mereka sangat datar, tetapi disini aku meyakinkan
bahwa pertemanan kami adalah pertemanan tanpa sekat apapun, apalagi tujuan kami
adalah untuk menemuimu Cikuray, tentu kami harus mendahulukan toleransi dan
juga kebersamaan diantara sedikit perbedaan terebut.
Perkebunan Teh Jalur Gunung Cikuray |
Sekitar pukul delapan pagi, kami meninggalkan desa. Sesuai
saran para penduduk setempat, kendaraan kami titipkan di depan rumah pak Uwoh,
sementara untuk menuju gerbang pendakian di pemancar stasiun relay tv, kami
menggunakan jasa ojek. Pagi itu sangat cerah, begitu banyak pendaki lain yang
bersiap untuk mendaki. Kami memulai pendakian dengan melalui jalan menanjak
diantara luasnya kebun teh yang hijau membentang. Di awal perjalanan kita sudah
bikin sensasi diantara ramainya pendaki lain. Kita berdua melewati mereka dan
berjalan seraya tebar pesona, sesekali menyapa ramah hingga di akhir pendaki,
mas Rudy menyapa sambil bertanya, apakah benar jalur mendaki arah ini?,
kemudian dengan tenangnya pendaki tersebut menjawab bukan, anda harus berbalik
arah kembali ke jalan dimana anda berada sebelumnya. Jleebb, serasa ingin
ditelan bumi, kita berbalik arah seratus delapan puluh derajat untuk melewati
jalan yang mereka tunjukkan, dan kita kembali melalui pendaki-pendaki lainnya.
Pintu pendakian dimulai dari melalui tanjakan diantara kebun
teh yang luas, perlahan kami melangkahkan kaki, suara napas terdengar dengan
cepatnya, entahlah apakah karena factor usia yang membuat saya kelelahan,
ataukah lingkar perut yang semakin membulat, atau karena memang belum istirahat
sedari perjalanan atau memang tanjakannya yang aduhai, apapun itu aku tetap
menikmati perjalanan ini, dengan satu tujuan, menemuimu wahai Cikuray dengan
rasa aman.
Tiga puluh menit berlalu, trek memasuki kawasan hutan, jalur
mendaki jelas dengan dibantu papan petunjuk hingga ke puncak. Meski hanya
berdua dan belum pernah mendaki gunung ini, kami hanya mengandalkan referensi
dan keyakinan akan banyaknya pendaki lain yang melakukan aktivitas pendakian di
akhir pekan ini. dan benar saja, sepanjang pendakian, kami berganti rombongan
yang bertemu selama pendakian. Saling bertegur sapa, saling memberi semangat,
sehingga kebersamaan semakin terasa kental dan begitu bersahabat.
Cikuray, untuk menujumu ternyata butuh kekuatan ekstra,
nyaris tak ada medan bonus untuk menuju puncakmu. Persediaan air juga harus
diatur sedemikian rapi pemakaiannya, karena tak ada sumber air sepanjang jalur
pendakian. Di beberapa pos, kami selalu merehatkan badan, sementara mas Rudy
sempat tertidur beberapa menit. Aku membiarkan saja beliau hingga beliau
terbangun sendiri, maklum saja, beliau memang belum tertidur dari semalam sejak
menunggu kedatanganku, hingga menyetir kendaraan sampai pagi menjelang.
Tiba di pos empat, kami beristirahat sambil mengeluarkan
nasi bungkus yang memang telah kami persiapkan. Sementara pendaki lain
mengeluarkan peralatan memasaknya untuk menyantap makan siang juga. Kami
kembali melanjutkan perjalanan, gerimis datang kami mengeluarkan jas hujan.
Terus melangkah hingga ke pos enam atau yang disebut juga sebagai puncak
bayangan. Dari puncak bayangan aku sempat kecewa, aku menyangka, dari situ
puncak sesungguhnya akan terlihat jelas, tetapi sama sekali tidak, puncak
Cikuray selalu terhalang lebatnya pepohonan. Hujan semakin deras, lelah semakin
terasa, aku berjalan lambat, beban terasa berat, aku berbisik pekat, aku harus
kuat, puncak tak pernah terlihat, aku membisu seperti sekarat, hanya seuntai
kalimat menyemat, puncak itu akan aku dapat, menyambutku, memanggilku, seolah
engkau datang memberiku semangat.
Pukul empat sore, aku sampai di puncak. Telah berdiri
beberapa tenda disana, kami memilih mendirikan tenda ke bagian bawah sehingga
terlindung dari kencangnya tiupan angin. Mendirikan tenda, lalu memasak air dan
membuat makanan instant. Setelah itu, kami beristirahat, hingga fajar
tenggelam.
Semburat jingga, pecahan nila hingga bias ungu violet
berpendar dalam sebenar kanvas. Sungguh sebuah pertunjukan langit yang indah.
Saat angin meniup wajah, menatap dedauan bergerak searah, perlahan hitam
menggantikan seluruh warna. Seketika berganti. Lampu-lampu kota terlihat bagai
bintang di permukaan bumi, sementara bintang terlihat seperti menyusun sebuah nama yang indah.
Kita kembali ke tenda, bersama pendaki lain saling bercerita
hingga menyalakan api unggun bersama. Lelah, kami memilih beristirahat sambil
menunggu mentari pagi esoknya.
Pukul empat pagi, kami terbangun. Menyiapkan segala sesuatu
untuk menyambut fajar. Membawa matras, trangia, logistik dan tentu saja kamera.
Di puncak sungguh ramai dengan pendaki lain, meski sebagian masih banyak yang
tertidur pulas. Perlahan sinar kemerahan terlihat dari ufuk timur, tak terlalu
jelas karena awan pekat menutupi sebagian. Lampu-lampu kota masih terlihat
benderang, sementara Papandayan mulai terlihat perlahan. Aku mensucikan badan,
menghampar pintalan benang sebagai tempat benamkan wajah. Berdiri, bersimpuh
dan bersujud untuk bercerita dengan sang pencipta, Tuhanku dan Tuhanmu juga. Kubiarkan
angin membelai lembut, kuucapkan lirih kagumku akan lukisNya, kupinta berikan
aku paham atas niat sebuah pendakian, hingga penatku bukanlah sebuah
kesombongan mengangkat sebuah beban.
Kabut berlalu, langit benderang, awan-awan putih beriringan,
bertemu bagai lautan di ketinggian. Aku tepekur, berputar badan sebentuk
lingkaran. Tak ada yang tak indah dipandang mata. Sungguh sebuah pesona tanpa
kasta. aku tepekur, berdiam menatap biru yang tak retak, mencari tiang dari
lebarnya atap, sungguh sebuah maha bagi seorang pecinta, membuat detak menahan
ucap.
Terimakasih Cikuray, kau biarkan aku sanggup berlama-lama
bersamamu, kau sambut aku dengan ramahmu, kau buat aku tuk jatuh cinta pada ketinggianmu.
Engkau tahu Cikuray, saat itu adalah sarapan terindah dalam diaryku, menikmati
secangkir cokelat panas dan selembar roti kacang, bersama seorang sahabat yang
sarat pengalaman, kami duduk menggelar alas menatap awan, berdampingan dengan
sedikit bunga-bunga pegunungan, lumut-lumut dahan menjadi bingkai, sementara
puncak papandayan menggoda dari kejauhan.
Pukul sepuluh pagi, kami bergegas, merapikan tenda,
meninggalkan puncak Cikuray. Perjalanan pulang memberikan satu lagi ragamnya
sebuah pengalaman, hujan deras menemani lereng yang curam, kami berjalan
perlahan dan selalu beriringan. Pukul empat sore, kami tiba di desa terdekat,
pamit dengan warga yang telah memberikan kesan indah selama perjumpaan dengan
mereka. Sungguh sebuah Indonesia yang sebenar, Indonesia yang dikenalkan
berpenduduk ramah, sama sepertimu wahai Cikuray, yang ramah ketika aku datang
menjamah.
Dari Kalimantan kutulis surat ini untukmu, sampaikan salamku
buat teman-temanmu juga wahai Cikuray, semoga satu saat nanti akupun dapat
menjumpai mereka.
Sahabatmu,
Iman Rabinata
Artikel Terkait
Jempolll dech mas,,,
BalasHapusEhhh,,,cm brDua tho mendakinya?! Kereeennn,,,ku pikir brame-rame,,,good job,,,
Salutt dech,,
Skrg mas iman dah pendaki ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ ,,,
Terimakasih mba Novia atas kunjungannya.
Hapusmas iman ...gk kbr kbri mau ke pulau jawa...apalagi cikuray....gk ajak ajak...sombongnya,but goodjob,hiking duet nih ma mas rudy jd inget ciremai...mau cikuraynya :( kl ke pulau jawa kbrilah...sapa tau ak bisa ikut tripnya ha..xx surat buat aku mana???? he..xx
HapusHehe bukan sombong, ga enak aja ajak-ajak, lha saya sama mas rudy sama2 belum pernah ke cikuray, jadi modal referensi saja kesana. Lha kalau ajak2 ntar repot jelasinnya. Kemaren emang niat banget, di sela2 kerja, kontak via pesen singkat, kita deal, ya udah berangkat dah. kapan2 deh, saya kontak2 kalau ke tanah sunda lagi, atau daerah jawa tengah juga pengen banget ke sana *sumbing-sindoro dll.
HapusMakasih ya udah berkunjung ^ ^
suratnya juga terbaca dari Jakarta :)
BalasHapusasiik...diedarkan saja suratnya, surat terbuka koq hehe.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuswaaahhh keren mas :) , kangen cikuray . dulu sempat kesana upacara kemerdekaan di puncak hehhehe..
BalasHapuskangen mendaki, tp udah gak bisa skrng hiiksss..
iya. Cikuray punya hamparan awan yang sangat indah. Saya beruntung bisa menikmati keramahan cikuray.
Hapuswah coba mas, selusuri lagi gunung yang ada di jabar, g. ciremai, papandayan, salak sama gede pangrango tak kalah menariknya lho hehhe
Hapustulisan y bang iman emang bikin klepek-klepek...untung q masih normal...klo gak mungkin udah jatuh cinta ma si abang...hahahahhaha
BalasHapuswuakakakakak, buka email pagi, dapat rayuan gombal *tahansenyumbosadadidepan
Hapuswkkwkwkwkw keren bahasanya... :)
BalasHapuswkwkwkwkw keren komentarnya..hehe
HapusHmmm... Suka deh sama tulisan bang iman yg ini, rasanya gurih gurih gimana gitu heheheheee.... ^o^
BalasHapusHehe, terima kasih.
Hapus